Pemuja Punggung

10.6K 320 91
                                    

Aku deg2an saat posting ini. Bukan jenis deg2an perasaan yg gak enak, tapi ngerasa bahagia karena ada peri baik hati mewujudkan khayalan liar tentang "kamu" yang sampe kemaren cuma mendem di otak aku kali ini bisa diwujudkan disini. Terima kasih untuk kak @sanarialasau yang mau2nya diriwehkan tentang aku dan bang jenggot ini, hahahahahha. Terima kasih juga untuk mami @KristinaYovita dan @SashieRahma yang mau bangeeettt daku repotin. Dan untuk kalian yang bersedia baca ini makasih yaaaaa(mudah2an ada yg baca), dan mudah2an cerita ini bisa menghadirkan sedikit senyum untuk kalian. Dan spesial pake telor 2 untuk penghuni grup Duil-duil yang isinya kaum sosialita kelurahan "selang" hahahaha i love you all!!!

**
Aku sudah beberapa kali lewat di depan wastafel dan melirik cermin yang ada di sana untuk memastikan wajahku terlihat segar dan rambutku yang dikuncir satu ke belakang mirip buntut kuda poni tampak rapi. Sekarang sudah hampir jam setengah enam sore, tapi itu bukan alasan untuk aku terlihat kuyu. Di saat seperti inilah, aku justru harus terlihat prima. Dalam penampilan terbaikku.

Aku bahkan sudah melatih senyum. Just in case, benar-benar berjaga, seandainya aku harus berhadapan langsung dengan seseorang yang menyebabkan aku harus kelihatan "norak" seperti ini. Senyum manis bersahabat, meski tidak tampak menggoda. Huufft, ini seperti berlatih untuk audisi sebuah peran di sinetron. Ternyata cukup sulit melakukannya. Tidak heran jika bayaran para artis untuk keluar dari diri mereka sendiri dan menjadi orang lain sesuai tuntutan peran diganjar dengan upah yang sangat besar.

Untuk apa diriku yang sudah melalui tahap remaja alay yang "galau meracau menggaruk tembok" harus bolak-balik mengecek penampilan, seperti baru terkena sindrom cinta monyet? Hmm... itu agak panjang ceritanya.

Versi singkatnya? Ya, benar, aku melakukan ini untuk menarik perhatian seseorang. Seseorang yang biasanya akan masuk ke dalam cafe-ku kurang dari sepuluh menit lagi. Setiap hari Kamis, orang itu selalu ada di sini setelah jam kerja. Dia bisa datang dua atau tiga kali seminggu di hari yang lain, tapi untuk hari Kamis, dia tidak pernah alpa. Nongkrong di cafe-ku ini pasti sudah ada dalam jadwalnya. Atau mungkin sudah tertanam dalam benaknya. Aseeekk... memikirkannya saja sudah membuatku senyum-senyum sendiri. Senyum yang tidak ingin kulihat karena pasti membuatku tampak menggelikan.

"Kau benar-benar butuh pertolongan. " Kunciranku ditarik dengan keras oleh seseorang. "Senyum-senyum sendiri macam orang nggak waras!"
Aku pasti melamun cukup lama sampai tidak melihat kedatangan Alia, sahabatku. Aku meringis menahan sakit di kepala. Buset, dia pasti menggunakan seluruh tenaga "kingkong"-nya untuk membuat rambutku berantakan. Sial, padahal aku tadi menghabiskan waktu beberapa menit hanya untuk membuat rambutku terkuncir manis. Usaha yang sia-sia. Aku terpaksa harus melepas ikatannya lagi. Rambut ekor kuda poniku pasti sudah terlihat seperti ekor kuda jantan dewasa yang bermasalah dengan hormon.

"Aku waras," jawabku malas. "Yang nggak waras itu adalah psikolog yang ngasih salam sama temannya dengan menarik rambut. Berapa umurmu?"
Alia hanya cengengesan. "Perempuan dewasa waras itu nggak meng-highlight rambutnya dengan warna ungu. Memangnya kau vokalis Band Punk Rock?"

Aku menatapnya sebal. "Aku kan nggak perlu jadi vokalis band untuk mengekspresikan diri." Aku tidak mengerti mengapa Alia dan beberapa anggota keluargaku yang lain selalu mempermasalahkan rambut yang kuwarnai dengan warna yang tidak lazim. Aku selalu suka ungu, dan memiliki sedikit warna ungu di kepala tidak membuatku terlihat buruk. Cermin tidak pernah mengkhianati mataku. Aku gadis ungu yang manis. Tapi aku tidak akan mengatakannya pada Alia. Dia pasti akan segera menampilkan ekspresi mual menahan muntah.

"Jadi dia udah datang?" Alia memutus percakapan tentang warna rambutku. Dia tahu aku akan sengit bila masuk ke topik yang-bagiku-sensitif itu.

Alia sudah tahu tentang obsesiku pada pria itu. Pria yang sudah menjadi pelanggan tetap cafe-ku selama beberapa bulan terakhir. Pria dengan tubuh tegap, berkulit cokelat, dan berbahu lebar. Wajahnya sangat "lelaki" dengan sedikit bulu halus yang dibiarkan tumbuh menghias rahang namun dicukur rapi. Ya, dia tampan. Tapi yang sangat menarik perhatianku adalah punggungnya. Ya Tuhan, itu punggung paling sandarable dan pelukable yang pernah kulihat seumur hidup. Oke, abaikan bahasa alay-ku. Tapi punggung itu benar-benar membuatku membayangkan, alangkah menyenangkan bila aku meletakkan sebelah pipiku di situ. Merasakan hangat yang tertebar di bagian belakang tubuh lelaki itu. Pasti nyaman.

"Kau benar-benar punya masalah kejiwaan." Alia menoyor kepalaku. "Menganga terus seperti ayam gagal bertelur."

"Kau yang gila." Aku mengusap kepala. "Suka banget sih menggunakan kekerasan. Asal tahu aja, aku masih butuh kepalaku sampai batas waktu yang belum ditentukan." Entah kenapa Alia suka sekali menggunakan telunjuk dan jempolnya untuk menoyor atau mencubitku. Aku memang chubby-chubby menggemaskan, tapi dia benar-benar harus melepaskan obsesinya menyakitiku. Dia harus mengendalikan diri dari mendapatkan kebahagiaan dengan cara membuat kulit lengan dan pinggangku lebam. Dia psikolog yang punya masalah kejiwaan.

"Bicara sama kau itu butuh gerakan tangan, Mae," ujarnya sambil meringis. "Karena komunikasi verbal nggak akan cukup menjaga fokusmu memerhatikanku. Terutama di hari Kamis seperti ini. Dosis bengongmu sudah sampai pada tahap mengkhawatirkan, tau!"

"Dia datang!" Aku buru-buru merapikan rambut. Tidak peduli lagi pada celoteh Alia. Aku bahkan tidak akan ambil pusing bila dia memborbardir pinggangku dengan cubitan.

Aku melihat pria itu mendorong pintu cafe, dan membiarkan seseorang yang datang bersamanya masuk lebih dulu. Such a gentlemen! Kapan dia akan membukakan pintu untukku, ya?

"Lihat punggungnya, Lia!" Aku meletakkan tangan di dada sebelah kiri, seolah-olah hendak menghalangi jantungku yang hendak melompat keluar. Aku menelan ludah. "Aku bisa bersandar di situ seharian."

"Percuma punggung lebar kalau perutnya nggak six pack," sanggah Alia. Dia benar-benar berniat merusak kebahagiaanku. "Dia pasti lebih suka makan daripada olahraga. Spring bed-mu lebih lebar dari punggungnya kalau hanya butuh tempat bersandar."

Lelaki itu memang tidak punya perut seperti roti manis yang berkotak-kotak. Tapi dia tidak gendut. Alia berlebihan. Dengan tubuh seperti itu, pria itu tampak manusiawi. Bukan pemuja otot yang hanya makan protein untuk menghindari timbunan lemak.

"Aku menyukainya, Lia," tegasku tanpa mengalihkan pandangan. "Dirinya. Ini bukan hanya tentang perutnya. Aku nggak butuh mencuci di atas perutnya. Ada papan penggilasan untuk pekerjaan itu. Atau mesin cuci. Ya, sudah ada teknologi seperti itu, kalau kau belum tahu," ejekku.

Alia tertawa."Ya ampun, kamu benar-benar menyukainya, ya?"

Aku mendesah. "Perlu ditanyakan lagi, ya?" Aku melepas pandangan dengan enggan dari punggung pria yang kini menuju meja di sudut, yang membelakangi kasir tempatku dan Alia ngobrol. "Aku bahkan mencari tahu tentang dia, padahal kami baru beberapa kali bertukar kata setelah berbulan-bulan dia mondar-mandir di sini."

"Kalau begitu, lakukan sesuatu untuk mendapatkannya. Kau nggak akan terus memandanginya dari balik meja kasir sampai rambut ungumu itu memutih, kan?" Alia ikut mengikuti pandanganku pada lelaki itu. "Kau harus menemukan keberanian mendekatinya sebelum osteoporosis menyerangmu dan kau harus bergantung pada sebatang tongkat untuk berjalan."

Aku menatap Alia sebal. Dia bicara seolah-olah tidak tahu, padahal dia tahu persis apa yang menghalangiku melakukan hal kecil seperti mengedipkan mata sambil menggoda, seperti yang selalu kulakukan pada pelanggan setiaku yang lain, hanya untuk bercanda.

"Dia sudah punya, kekasih, ingat?" tanyaku sambil memutar bola mata dengan nada sarkastik. "Wanita cantik yang datang bersamanya itu?"

Ya, lelaki dengan punggung pelukable itu sudah punya kekasih. Itu yang membuatku hanya bisa mengaguminya dari jauh. Wanita itu, Maria, lebih dulu menjadi pelanggan cafe-ku sebelum akhirnya membawa pacarnya untuk nongkrong di sini. Aku kenal Maria karena terkadang kami mengobrol bila dia meminta rekomendasi saat berdiri kebingungan di depan etalase kue cantik di dekat kasir. Atau ketika dia datang lebih dulu dari kekasihnya. Saat memesan latte, dia biasanya berlama-lama di depanku ketika tidak ada antrean di belakangnya. Kami bukan teman, hanya saling mengenal. Hubungan baik antara pemilik cafe dan pelanggan setianya.

Mengerikan, ya? Aku jatuh hati pada lelaki milik seorang wanita yang secara rutin memberi pemasukan pada laci kasirku. Aku tahu itu. Tapi mau bagaimana lagi, perasaan suka bukan seperti tombol on off televisi yang bisa ditekan sesuka hati saat kita menginginkannya.

Itulah yang membuat aku hanya bisa memandang pria itu dari jauh. Menjadi pengagum rahasianya.
**

Mungkin Suatu HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang