a a r o n

105 19 4
                                    

Aaron hanya tersenyum geli saat membaca balasan di buku yang ia tulis kemarin.

Dari Si Kelas Siang Untuk Si Kelas Pagi

Oke. Makasih.

Hanya ini?

Aaron terkekeh sambil menggelengkan kepalanya. Menarik.

"Kau seperti orang gila, R." Jack berdecak melihat sepupunya. "Apa yang kau baca sebenarnya?"

Aaron menatap Jack sebentar kemudian menyerahkan buku yang ia pegang.

"Ini."

Jack membolak-balikkan buku tersebut kemudian membacanya. Dahinya mengerut begitu saja.

"Hanya ini? Kau terlihat seperti orang gila hanya karena surat seperti ini?" Jack menampilkan raut tak percaya.

"Aku bahkan tidak tahu definisi 'gila' dalam kamusmu bagaimana, J. Tetapi kalau kau ingin mencoba memastikan, aku baik-baik saja. Sungguh baik-baik saja."

Jack menggeleng dengan mata menyipit. "Tidak, R. Aku memang mencoba memastikan, dan yang kudapat sekarang adalah kau mengidap penyakit gangguan mental. Aku serius."

Aaron tertawa lagi.

"Lihat itu! Lihat!" Jack menunjuk tepat ke wajah Aaron. "Sepupu yang kukenal tidak pernah tertawa. Bahkan aku pernah bertaruh bahwa kau tidak akan tertawa--bahkan tersenyum, sampai aku mengalami mimpi basah."

Aaron mengangkat alisnya. "Lalu?"

"Lalu? Kau bertanya lagi?" Jack mendengus tak percaya. "Tentu saja aku menang! Sadarkah kau bahwa dirimu ini tidak pernah menampilkan senyum sedikit pun? Bahkan kamu sudah memandangku sinis sejak lahir, Dude."

Aaron terbahak. "Kau bercanda!" Ia menggelengkan kepala.

"Tetapi siapa lawan taruhanmu? Apa yang kau dapat darinya?" Aaron bertanya lagi.

"Dengan Armenia, tentu saja." Jack tersenyum miring.

Tawa Aaron sontak berhenti. Wajahnya kembali datar dan tanpa sadar ia menendang kaki milik Jack.

"Aw!" Jack mengangkat sebelah kakinya. "Apa yang kau pikirkan, Bung?"

"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, Jack." Suara Aaron mulai mendingin. "Apa kau masih waras? Kau mengajarkan Armenia tentang 'mimpi basah'?" Matanya menajam. "Umur berapa kau membuat taruhan konyol itu?"

Jack mengangkat kedua tangannya. "Sudah sangat lama. Saat aku berusia err ... sembilan tahun, mungkin?"

Aaron menggeram. "Itu berarti umurnya masih enam tahun! Kau manusia macam apa sebenarnya?!"

Kepalan tangan Aaron hampir mengenai wajahnya jika ia tidak menghindar. "Calm down, R! Calm down!" Jack berseru cepat. "Aku sama sekali tidak menjelaskan detail tentang 'mimpi basah' yang dialami laki-laki! Ia hanya tahu bahwa mimpi basah berarti mengompol. Tidak lebih!"

Aaron berdiri dengan tegap di depannya. "Kau yakin?"

Jack mengangguk. "Kurasa sampai sekarang ia masih menganggapnya seperti itu." Mata Jack tiba-tiba menelusuri gerak-gerik Aaron. "Tetapi kenapa kau peduli? Apa hubunganmu dengan Armenia?"

Siapapun juga tahu apa jawabannya. Yeah, kecuali Jack sendiri, tentu.

"Memangnya salah kalau aku peduli?" Aaron mengangkat bahunya dan tersenyum miring, sangat berbeda dengan sikapnya yang kasar tadi.

Jack menyipitkan matanya.

"Kau selalu seperti ini, R. Aku mulai beranggapan kalau kau memiliki perasaan pada Armenia."

"Kalau iya, kenapa? Apa itu termasuk urusanmu juga?"

Jawaban yang diucapkan terlalu santai itu lantas membuat rahang Jack mengeras.

"Tentu saja itu urusanku! Armenia adalah pacarku!" tanpa sadar Jack memekik kepadanya.

Aaron memandang Jack dengan tatapan menilai.

"Tidak ada seorang pacar yang meninggalkan pacarnya untuk pergi ke tempat yang sangat jauh bahkan tanpa berpamitan sekalipun, R." Aaron maju selangkah. "Dan setelah kamu menyakitinya, kamu masih berharap dia mau memaafkanmu? Huh, aku sendiri merasa sangsi dia masih mengingatmu."

"Jaga bicaramu!" Jack mulai naik darah. "Tak peduli siapa dirimu, kakak sepupuku atau bukan, aku tidak akan berpikir dua kali lagi untuk menghajarmu jika kau berkata seperti itu lagi." Jack berdesis sambil mengepalkan tangan. "Ingat itu."

Dan setelah mengancam kakak sepupunya sendiri, Jack menggerakkan kakinya masuk ke dalam rumah besarnya. Ia memejamkan mata.

Apa benar Armenia telah melupakanku?

×=×=×

Aaron tersenyum tipis--senyum tipis Aaron berarti sangat tipis. Kalian tahu, dia sendiri mungkin baru tahu cara untuk tersenyum sejak mendapatkan jawaban singkat di buku harian itu--saat melihat punggung Jack yang semakin lama semakin tak terjangkau.

Armenia, kau beruntung.

Mengidikkan bahu, Aaron akhirnya menatap kembali Buku Merah yang sudah dikembalikan ke tangannya. Tanpa sadar senyumnya terukir kembali.

Baiklah. Apa yang harus ia jawab sekarang?

[ a/n ]

Sungguh dikit tapi nyataaaa ....

Regards,
Monsterday

Who's Write On My Red Book?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang