Notes:
Harap diperhatikan sebelumnya, cerita "Di Ujung Pelangi" ini bukan murni kisah yang saya buat. Kisah ini adalah kisah KOLABORASI yang dibuat bersama-sama bersama 12 rekan saya yang lainnya di kemudian.com. Saya post ini di wattpad, sesuai dengan permintaan IreneFaye sebagai salah satu peserta kolaborasi dan telah meminta ijin sebelumnya dengan peserta-peserta kolaborasi lainnya. Setiap part dari cerita ini, akan saya sematkan siapa yang menuliskannya. Atas perhatiannya, saya ucapkan terima kasih. Selamat membaca.
'***********************************************************************************************************
Di Ujung Pelangi (Bagian 3)
Ditulis oleh: Lavender
Namun Joanna sadar sepenuhnya, dia tidak mempunyai seseorang yang bisa diandalkan. Dia bahkan tidak mempunyai nama-nama orang yang disetel untuk speed-dial di ponselnya. Joanna tahu tidak akan ada hasil meski dia mencari-cari nama dari phone book, urut abjad sekalipun, A hingga Y, nama terakhir di ponselnya. Pilihan terakhir Joanna hanya satu. Menghubungi 108 dan menanyakan nomor telepon bengkel terdekat. Diliriknya sekilas harta paling berharga dalam hidupnya yang masih terlelap.
“Everything will be fine, just you and me...”
*-*-*-*
Joanna mengetuk-ngetukkan jemari tangan di atas pangkuannya. Beberapa kali dia merasakan ponselnya bergetar dari dalam tas yang disandangnya di bahu. Joanna sama sekali tidak mampu berkonsentrasi dalam pertemuan orang tua di playgroup Nathan siang itu.
“Pasti Koh David lagi. Masa sih dia sudah sampai di restoran? Aduh, lama sekali sih meeting-nya,” batin Joanna cemas. Waktu menunjukkan sepuluh menit menuju jam tepat janji temu.
“... jadi anak-anak akan berperan serta dalam malam pagelaran Sunshine School tersebut minggu depan. Kita akan membuat drama musikal sederhana, bergabung dengan anak-anak TK Sun Flower. Untuk anak-anak playgroup Strawberry tentu saja mendapat peran-peran yang mudah ya bapak ibu sekalian, seperti menjadi lebah, kupu-kupu, pohon, bunga, semacam itu...” Tristan yang tengah menjelaskan mengenai rencana kegiatan festival penggalangan dana untuk anak-anak tidak mampu, menangkap kegelisahan yang terlihat dari diri Mama Nathan. Apa yang dibaca Tristan adalah wanita pujaannya tersebut tampak terburu-buru karena tak henti-hentinya melirik ke jam dinding berbentuk strawberry di dalam kelas itu.
“Koh David sudah setuju mengundur janji temunya satu jam, tapi bukan berarti Koh David mau menunggu lagi untuk lima menit sekalipun...” pikir Joanna makin cemas, semakin tidak fokus pada apa yang diucapkan Tristan yang tengah membacakan susunan panitia kepengurusan dan menanyakan kesediaan masing-masing orang tua.
“... Mama Nathan?” Tristan memanggil Joanna.
Mama Dhana yang duduk di samping Joanna mencolek lengan Joanna membuatnya terkejut.
“Ditanya Teacher tuh, Mama Nathan,” ucap Mama Dhana.
“Eh, maaf, ada apa, Teacher?”
“Saya tadi bertanya, apakah Mama Nathan bersedia menjadi koordinator konsumsi?” Tristan tersenyum.
“Ya, apa sajalah, Teacher. Saya bersedia jadi apa saja.”
“Menjadi kekasihku apa bersedia juga?” batin Tristan spontan, kemudian sadar dan membodohkan dirinya sendiri. Melihat Joanna tidak tenang dan tampak ingin segera keluar dari kelas, Tristan pun mempercepat kata-katanya, mencoba mempersingkat dan segera mengakhiri parent meeting. Ketika para orang tua beranjak meninggalkan kelas, Tristan memberanikan diri mendekati Joanna, berharap bisa sekedar basa-basi sebentar sebelum wanita pujaannya itu buru-buru pulang.
“Mama Nathan tampaknya buru-buru?”
“Iya, Teacher. Saya ada janji bertemu klien kerja penting. Dan saya sudah terlambat lima menit. Belum lagi mengantar Nathan pulang. Tidak mungkin bawa Nathan ketemu Koh David dan... ah maaf, bagaimana, ada yang perlu saya ketahui lagi tentang acara minggu depan?” Joanna panik dan mulai meracau tidak karuan.
“Kalau Mama Nathan buru-buru, Nathan biar di sini saja dulu, jadi Mama Nathan tidak perlu mengantar Nathan pulang, bisa langsung menemui klien. Setelah selesai, baru menjemput Nathan di sini,” Tristan spontan mengusulkan.
“Tapi, bukankah para asisten guru sudah akan pulang?”
“Saya yang akan menjaga Nathan di sini. Umm... kalau boleh... jika Mama Nathan tidak keberatan,” Tristan mulai salah tingkah.
Joanna melihat tawaran itu sebagai harapan penolong satu-satunya. Dia langsung menyetujuinya.
“Teacher tidak keberatan? Terima kasih sekali! Tolong sampaikan pada Nathan, mamanya akan segera kembali. Sekitar satu jam saja. Ah, saya yakin Nathan akan senang bersama Teacher Tristan. Permisi,” Joanna segera melesat keluar dari kelas dan menelepon Koh David.
Tristan tersenyum menatap Joanna berlalu. Hatinya senang bisa mendapat kesempatan menjaga anak dari wanita yang dimimpikannya hampir tiap malam dan masih bisa bertemu lagi dengan wanita itu hari ini. Tristan bahkan sudah mulai merancang sebuah obrolan saat Joanna menjemput Nathan nanti.
*-*-*-*
Baltimore, Maryland, USA
Seorang lelaki yang mengenakan jas putih panjang meluari kemeja hijau muda dan celana panjang hitam tampak berjalan keluar dari area patologi dan menyusuri koridor Johns Hopkins Hospital. Lelaki itu tengah menjalani masa internshipnya setelah mendapat gelar M.D. Tidak ada yang meragukan kemampuan lelaki itu. Tidak ada yang bisa memungkiri kapasitas otaknya sejak dia diterima di The Johns Hopkins University School of Medicine, sebuah universitas kedokteran yang tergolong paling bagus di Amerika.
Lelaki itu bernama Adam.
Pikiran Adam kurang fokus sejak kemarin, setelah dia membantu menangani proses persalinan. Pembicaraan singkat dengan seorang ibu yang baru saja melahirkan tiga hari lalu, membuat Adam terus memikirkannya.
“Selamat, Ma’am, bayi Anda cantik sekali...” ucap Adam tulus, “... jadi siapa nama anak cantik ini?”
Wanita itu tampak berpikir sejenak sebelum menjawab, “Joanne. Ya... saya akan memberinya nama Joanne, artinya kasih sayang Tuhan.”
Adam teringat pada Joanne-nya. Atau lebih tepatnya Joanna. Wanita yang dulu sangat dicintainya, yang kemudian ditinggalkan hanya karena ketidakdewasaannya. Karena ketakutannya pada satu kata sakral, yaitu komitmen. Membuatnya melarikan diri dan bersembunyi di balik ambisi masa depan.
Adam menghampiri coffee machine, menuangkan kopi hangat ke dalam cangkir yang kemudian langsung diminumnya. Sudah sekitar 30 jam dia terjaga, selain karena kesibukannya, juga karena bayangan Joanna yang membuatnya tidak mampu memejamkan matanya sejenak.
Adam beranjak untuk pulang, membawa mobilnya keluar dari area Johns Hopkins.Dia kembali menyusuri Jalan E Fayette, rute yang selalu dilaluinya tiap kali pulang-pergi kerja. Pikirannya masih tertuju pada Joanna, membuatnya mengarahkan mobil ke South Street, menuju ke Uncle Lee’s Harbor Restaurant. Sebuah restoran chinese food yang berjarak sekitar 1,5 mil dari rumah sakit.
Adam memesan makanan khas restoran itu, bebek peking. Adam ingat Joanna sangat menyukai bebek peking. Pikiran Adam melayang pada masa-masa dia dan Joanna masih bersama. Sesekali selama di Amerika, Adam memang masih teringat pada Joanna. Namun bayi kecil yang baru lahir tiga hari lalu, entah kenapa membuat Adam sangat kacau. Mimpi melihat Joanna menggandeng seorang anak mulai menghantui lagi.
Ya, memang tidak ada yang meragukan kesuksesan Adam meraih ambisinya. Namun saat ini, Adam sendiri meragukan dirinya, meragukan di mana hati nuraninya, yang telah tega mengingkari buah cintanya bersama wanita terhebat yang pernah tinggal lama di hatinya. Atau sebenarnya bukan pernah tinggal di hatinya, tapi masih.
Dan Adam akhirnya meraih ponselnya.
“Hai Ndre, ini Adam... ya, aku masih di Maryland... listen, kau masih kerja di agen perjalanan di New York?... great, aku butuh tiket ke Indonesia untuk minggu depan dari JFK airport...”
*-*-*-*
(to be continued)