Di Ujung Pelangi (7)

1K 12 3
                                    

Notes:

Harap diperhatikan sebelumnya, cerita "Di Ujung Pelangi" ini bukan murni kisah yang saya buat. Kisah ini adalah kisah KOLABORASI yang dibuat bersama-sama bersama 12 rekan saya yang lainnya di kemudian.com. Saya post ini di wattpad, sesuai dengan permintaan IreneFaye sebagai salah satu peserta kolaborasi dan telah meminta ijin sebelumnya dengan peserta-peserta kolaborasi lainnya. Setiap part dari cerita ini, akan saya sematkan siapa yang menuliskannya. Atas perhatiannya, saya ucapkan terima kasih. Selamat membaca.

'***********************************************************************************************************

                                                           Di Ujung Pelangi (Bagian 7) 

                                                           Ditulis oleh: AuThorities_Ly

Joanna sudah siap dengan berliter makian sampai suara yang terlalu dikenal menyetakkannya. Ia terpaku. Bisu dan serasa membatu. Seorang pria yang memiliki figur yang sama persis seperti mimpinya. Tetap setampan dan semenawan dahulu, saat cinta masih menjalin kasih. Pria yang diam-diam dirindukan dalam derai tangisnya sesekali. Dan seorang ayah bagi buah hati yang dengan sampai hati ditinggalkannya. ADAM.

Mulutnya menganga dan tidak sempat menutupnya, matanya telah memburam. Ada buncah rindu dan keinginan untuk bersandar dipelukannya, namun langkah mengenggankan.

“Anna…,” bisiknya kembali, haru menguasai hatinya.

“Dam…,” Joanna masih tidak bisa berkata-kata.

Joanna berbalik menghindari Adam meskipun terlambat karena telah tertahan oleh tangan kokoh itu.

“Jangan pergi,” pintanya lirih.

“MAU APA LAGI, DAM?” bentaknya pedih, ada seberkas marah yang masih mendera rasanya. Kecewa dikhianati. Marah dicampakkan. Dan sedih karena masih tersisa cinta itu.

“Anna, biarkan aku berbicara denganmu!”

“TIDAK!” jerit Joanna membalikkan tubuh dan memandangnya nanar.

“JANGAN GANGGU AKU LAGI!” sambungnya seraya menghempaskan pegangan Adam.

===

“Nathan…” panggil Joanna perlahan menghampiri anaknya yang tergolek lesu.

“Mah… “ serunya manja.

Tristan memandang Joanna dengan heran, ada bekas jejak air di parasnya yang masih cantik serta mata indah yang sembab. Ia menyadari betapa berarti Nathan bagi Joanna. Meskipun Tristan keliru.

“Sabar yah mama Nathan…,” hiburnya ragu ingin menguatkan dengan memegang pundak ibu muda itu atau mengenyahkan keinginannya. Di saat sedih begini, selalu saja Tristan ingin berada dekat dengan Joanna, wanita pujaannya.

Belum cukup saat ingin menghiburnya, ponselnya elah berdering.

“Halo, Bang Adam? Ohh… saya kebetulan lagi di klinik dekat sekolah, ada siswa yang sedang sakit. Bagaimana kalau menyusul ke sini ajah? Ok?”

Sesaat Joanna kaget ketika mendengar nama Adam disebut. Ia tidak mungkin lagi menghindari pertemuan ini. Tetapi bagaimanakah ia harus bersikap? Pura-pura tidak mengenalkah? Ia bingung. Sekarang, Adam akan bertemu langsun dengan Nathan, anak yang tidak pernah diinginkannya.

Tidak sampai setengah jam, Adam telah tiba. Tristan menyambutnya dengan hangat, sebuah tali persaudaraan yang tidak mungkin terputus meski harus melewati waktu yang seringkali memudarkan sebuah hubungan.

Adam terbelalak mendapati Joanna tengah berada di ruangan tersebut bersama Tristan. Terbayang kembali kejadian yang baru saja berlalu, dan akhirnya ia tahu alasan dibalik Joanna yang bahkan tidak memberinya kesempatan untuk berbicara. Alasan yang masuk akal untuk ibu yang mencemaskan keadaan anaknya.

“Ehmm..,” ia mengumam seraya memadang Tristan, meminta penjelasan.

“Oh.. ini Joanna, Mama Nathan, siswaku yang lagi sakit.” Tristan menjelaskan sambil menujuk Nathan yang baru saja terlelap. Adam memandang seorang anak lelaki lucu dan menggemaskan itu, meneliti setiap inci tubuh saat kaki membawa langkahnya untuk tiba di samping Nathan. Joanna hanya terdiam, dia benar-benar bingung apa yang harus dilakukannya. Di satu sisi, Adam adalah ayah biologis Nathan dan di lain sisi, ia sangat mengharamkan kedatangan ayah bagi Nathan. Adam tidak pantas menemui anaknya, ia telah mencampakkan mereka. Dirinya dan Nathan.

“Bang…,” seru Tristan mengernyit. Ia jelas merasa aneh dengan tingkah abangnya yang baru pulang dari Amerika. Tiba-tiba saja ia tertarik dengan seorang anak kecil yang baru saja ditemuinya.

Joanna menangis dan hal ini semakin membuat kernyit Tristan semakin dalam. Ada apa dengan mereka? Adam yang tiba-tiba terbengong-bengong menghampiri Nathan. Yah, tidak bisa dipungkiri bahwa Nathan sangat menggemaskan dan sedang lucu-lucunya. Dan si wanita pujaan, Joanna menangis sesegukan saat melihat Adam mendekati anaknya. Apa yang terjadi?

“Lho, mama Nathan? Kenapa?” tanya Tristan menghampirinya. Joanna menggeleng. Ia ingin membantah kecurigaan yang terpancar di wajah Tristan, tapi mulutnya tidak sanggup terbuka.

Adam memandang lekat malaikat kecil itu dengan seksama. Tangannya telah terulur untuk membelainya namun mendengar gumam kecil, ia mengurungkan niat. Bibirnya mengulas senyum kecil saat memandang hero kecil itu tersenyum dalam tidurnya seraya bergumam, “Teacher tristan.” Ia tersentak kaget. Dalam benak kecilnya, tidak ada kamus yang berarti papa. Ia yang bersalah telah mencampakkan malaikat mungil itu. Rasa sesal, kesal, marah, dan berbagai kepedihan menjangkiti hatinya. Kepada dirinya sendiri, ia menyalahkan. Air mata hampir saja membuat jiwa prianya terlihat lemah, cepat-cepat disusutkannya.

Kemudian, ia melangkah pergi tanpa memedulikan tatapan kedua pasang mata itu.

===

“Bu, lihat Pak Tristan?” tanya Cherry cemas. Semenjak pagi ia tidak melihat guru itu.

“Oh, Pak Tristan terburu-buru tadi ngantar Nathan yang lagi sakit ke klinik.”

“Oh, makasih Bu.”

UH! Nathan lagi! Dumelnya dalam hati. Ia memang tidak menyukai kehadiran Nathan, tepatnya mama Nathan yang selalu diperhatikan oleh Tristan. Bukannya Cherry tidak menyadari, namun ia selalu berpura-pura tidak mengetahui perhatian Tristan yang terlalu berlebih kepada Nathan, terutama mamanya.

Cemburu sudah menjadi makanan sehari-harinya. Selama bertahun-tahun Cherry mencintai Tristan tanpa diketahuinya atau pura-pura tidak tahu? Sekeras apapun usahanya, tidak pernah pandangan Tristan berpaling padanya. Seperti kisah Pohon, Daun, dan Angin. Akankah Cherry menjadi daun. ‘Daun terbang karena Angin bertiup atau karena Pohon tidak memintanya untuk tinggal?’

Dan Cherry sangat tidak berharap menjadi Daun dalam cerita itu. Sungguh menyedihkan jika demikian. Ia harus bersanding dengan yang lain sementara hatinya telah direbut oleh Tristan.

Dugaannya benar, Tristan tinggal untuk menjaga Nathan untuk kesekian kali karena mama Nathan. Sebelum memasuki klinik, ia bertabrakan dengan seorang pria tampan namun terisak tangis. Sungguh aneh!

Cherry mengendikkan bahunya dan berjalan menuju ruangan yang ditempati Nathan setelah bertanya di bagian informasi. Paras cantiknya memerah saat mendapati mama Nathan dan Tristan yang sedang duduk berdampingan. Mama Nathan terlihat sesegukan sambil dihibur oleh Tristan yang tengah mengambilkan minuman untuknya.

“Minum dulu, mama Nathan…” tutur Tristan lembut sembari menyodorkan gelas kepadanya.

“Pak Tristan!” seruan Cherry menyentakkan Tristan sehingga ia harus menggeser posisinya yang terlalu dekat dengan Joanna yang sudah tidak menyadari, sebab tenggelam dalam kesedihan yang tidak juga dimengerti oleh Tristan.

“Ada apa Bu Cherry?” tanyanya polos dan formal.

UGH! Sial! Masih gak sadar yah kalau aku cemburu! Dasar Tristan BODOH! Makinya dalam hati. Kesal!

===

(to be continued)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 28, 2011 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Di Ujung PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang