Aku bosan!
Aku mau pulang!
Rezvan menyebalkan!
Dasar penguntit cerewet tidak tahu diri!
Sekali lagi aku menghembuskan napasku kesal. Seharian ini, dia terus merengek padaku untuk menemaninya pergi ke pertemuan rutin klub Sinema. Sejujurnya aku sedang sangat malas dan ingin segera pulang. Namun, dia masih saja terus memaksaku. Sejak pagi dia sudah membuntutiku dan merengek. Dia memang benar-benar tidak tahu diri. Dia ini kan sudah besar. Laki-laki pula. Masa aku harus menemaninya seperti ini. Aku bukan ibunya.
Sementara aku masih kesal disini, Rezvan terlihat senang di sana. Dia sudah memperkenalkan diri sebelumnya. Dia juga sempat membicarakan tentang kamera pada Sam, laki-laki yang duduk di sampingnya. Sekarang mereka semua sedang terlibat diskusi untuk VIFA.
Berniat menghilangkan kebosananku, aku meraih salah satu tumpukan naskah yang ada di dalam rak. Satu naskah berhasil aku ambil secara acak. Sebuah naskah dengan judul 'Patahnya Sayap Kupu-Kupu' karya Ervina. Seingatku, dia adalah ketua Klub Drama tahun lalu. Tanpa permisi, aku langsung membacanya.
Pertemuan Klub Sinema itu berakhir lebih cepat dari yang aku duga. Sebelum menyelesaikan naskah itu, Rezvan sudah mengajaku keluar. Aku masih ingin membacanya hingga selesai. Tidak aku pungkiri kalau naskah miliknya sangat bagus. Aku menanyakan pada Ilman, ketua divisi sinema, apakah aku bisa meminjam naskah itu. Namun, dia menolak. Aset dan arsip tidak diperbolehkan dipinjam selain anggota divisi Sinema.
Dengan berat hati, aku menaruh kembali naskah itu sambil berdecak sebal. Saat keluar ruangan, aku melirik Ilman kesal dan mengancam kalau aku tidak akan berbaik hati meminjamkan naskah dari divisi teater untuk proyek film mereka kedepan.
Ilman tidak takut dengan ancamanku dan malah tertawa. Rezvan yang melihatku sedang kesal, terkekeh. Dia mengacak rambutku pelan lalu berkata, "Jangan ngambek! Ayo pulang!"
Aku menepis pelan tangannya dari puncak kepalaku. Aku sedang kesal. Dia malah seenaknya mengacak rambutku. Tidak aku hiraukan lagi dia dan langsung berjalan menuju gerbang sekolah meninggalkannya. Kekehannya masih terdengar jelas.
Dasar pegoceh tak tahu diri! Penguntit cerewet! Menyebalkan!
"Kenapa kamu jadi marah?" tanyanya saat dia sudah berhasil menyusulku. Kami sudah berdiri bersebelahan di depan gerbang sekolah.
Aku menjawab kalau aku tidak marah. Aku hanya kesal karena Ilman tidak mau meminjamkan naskah itu dan dia sama sekali tidak takut dengan ancamanku. Aku juga mengatakan padanya kalau aku juga kesal padanya karena ikut menertawaiku tadi dan tidak membelaku.
"Maaf, Shan. Aku tidak bermaksud seperti itu. I was thinking that you look cute. No scratch, kamu memang terlihat lucu kalau lagi ngambek dan manyun begitu. Menggemaskan."
Rezvan terenyum. Aku tersipu.
Tunggu!
Apa?
Kenapa aku tersipu dengan ucapannya? Aku menelan senyumku dan membuang wajahku menjauh darinya.
Sejenak aku tersadar, kenapa aku jadi salah tingkah? Kenapa aku kesusahan mengendalikan diri saat di dekatnya? Ini pasti karena dia terlalu aneh dan asbtrak sehingga tidak bisa ditebak apa yang akan ia katakan dan lakukan. Ya! Pasti karena itu.
"Udahan dong ngambeknya, Shan. Maafkan aku."
"Oke, aku maafiin kamu. Tapi, belikan aku es krim!"
Alis Rezvan naik kedua-duanya. "Kenapa pakai syarat?"
"Karena kamu minta aku nemenin kamu ikut kumpul Sinema, aku jadi ingin baca naskah itu sampai selesai. Tapi, Ilman melarangku dan sekarang aku jadi kesal. Lebih baik aku tadi nggak nurutin mau kamu dan pulang cepat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pemeran Utama
RomanceAku dan kamu, Hanyalah seorang aktor kehidupan. Saling bertemu dalam sebuah drama romantika. Sama-sama tidak tahu naskah apa yang kita mainkan. Aku dan kamu, Terlalu sibuk mencari-cari sang pemeran utama. Menjadi terlalu mudah untuk pergi dan menin...