|| Prolog Untuk Nona Teh ||
Dalam diam, aku memerhatikannya terus-menerus.
Pancaran mata yang keluar dari wanita itu sungguh kuat. Suaranya dalam dan jernih, begitu penuh wibawa dan ketegasan. Bagai hujan, ia menyalurkan amarah dengan tenang, namun mampu membuat semua manusia tunduk padanya. Ia wanita kuat, dan semua orang yang mengenalnya tahu akan hal itu.
Sudah hampir satu jam kami berada di ruangan ini. Bersama dengan anggota keluarga yang lain, kami semua duduk melingkar untuk berdiskusi. Sebuah acara pernikahan akan digelar. Sang anak bungsu keluarga ini, sekaligus adik dari wanita yang kupandangi itu, akan menjadi mempelai wanitanya. Setelah semua usul dan saran ditampung, keputusan bulat pun diambil. Diskusi keluarga selesai. Kami akhirnya kembali kepada kesibukan masing-masing.
Objek perhatianku melenggang keluar dari ruangan itu lantas pindah ke kamarnya. Aku mengikuti dari belakang, kemudian duduk manis di tempat tidurnya ketika ia menggelar sajadah untuk sholat.
Usai itu, ia berdoa. Pura-pura aku tidur walau sebenarnya terus memerhatikan wajahnya, lalu mendesah saat mendapati mata itu yang ia tampilkan. Mata yang sama, yang selalu merefleksikan kesepian yang ditutup-tutupi.
Benteng pertahanan yang selalu ia jaga tetap saja tidak mampu membuatku menyerah untuk menembusnya. Begitu kokoh bentengnya sampai-sampai aku harus mengandalkan insting untuk bisa masuk ke dalamnya. Namun, setelah berhasil masuk ke benteng itu, aku justru menemukan ruang pekat penuh rasa sepi yang semakin menumpuk, semakin dalam, dan semakin kuat seiring usianya bertambah.
Ia sedang sakit, batinku berkata. Ia selalu terlihat kuat agar tidak disangka lemah. Kali ini si adik bungsu, tanteku yang termuda, melangkahinya menikah. Cibiran dan hinaan sudah pasti akan ia terima. Tapi, ia sudah terbiasa, karena ia selalu berpikir bahwa ini bukan tentang dirinya, melainkan tentang kebahagiaan keluarganya.
Kututupi wajahku dengan guling, namun masih mampu mengintip wajah wanita itu di baliknya.
Karirnya sukses, otaknya cemerlang, ibadahnya rajin.
Tapi, kenapa sampai sekarang, belum ada satu pun lelaki yang berani melamarnya?
Entah. Mungkin mereka semua terlalu pengecut untuk menghadapi wanita hebat ini.
Spontan aku mendengus kecil.
Tentu saja. Memang siapa sih, manusia yang berani melawan tanteku? Posisinya di kantor sangat strategis. Hidupnya sempurna dan ia bukan wanita yang kerjaannya hanya bergosip tak guna. Tidak, harga dirinya terlampau tinggi untuk melakukan hal rendahan semacam itu. Ia wanita hebat. Dan mungkin, saking hebatnya sampai-sampai tidak ada satu pun lelaki yang berani mendekatinya.
Sejak dulu, ketika aku memandanginya duduk sendiri di balkon kamar, memandang langit malam sambil ditemani teh Chamomile campur madunya, aku selalu bertanya-tanya tentang apa yang sedang ia pikirkan. Punggung tegar yang selalu dihadapkannya padaku, entah mengapa membuatku merasakan rasa sepi di balik itu. Dirinya laksana sebuah cangkang baja yang tak memiliki isi. Kosong, tapi kuat. Hal itu juga yang menyadarkanku bahwa ia tetaplah seorang manusia—mahkluk berperasa yang membutuhkan kasih sayang.
Tapi, masalahnya, tidak ada seorang pun yang bisa mengisi kekosongan itu.
Setidaknya, belum ada.
Bulan depan lengkaplah sudah semua saudaranya yang telah menikah. Tinggal ia sendiri yang masih single. Entah kapan status itu akan berubah, tidak ada yang tahu. Maka semenjak hari itu, aku terus berdoa dalam sujudku agar wanita hebat ini dipertemukan dengan jodohnya sesegera mungkin.
Namun, hingga setahun lamanya, doa itu masih belum tercapai.
Setahun lagi, status quo.
Satu tahun terselip lagi, tak ada perubahan.
Dan, aku pun menyerah, ketika hal ini masih juga belum tercapai hingga tiga tahun berikutnya.
[ ].
-;-;-;-
Status quo: dari bahasa Latin yang maknanya 'keadaan tetap sebagaimana keadaan sekarang atau sebagaimana keadaan sebelumnya'.
P.S. (not really important)
Saya mau tereak gegara revisi. Ucet dah, beberapa chapter saya tulis ulang, bukan revisi sekadar benerin EyD atau typo (kalo gitu aja mah seminggu kelar dari prolog sampai epilog). Emang sih, cuma beberapa chapter yang ditulis ulang, tapi, cuy, tetep makan waktu lebih banyak daripada sekadar edit typo lalalala. Masih ada dua atau tiga chapter yang harus saya re-write. Oleh karena itu revisinya lama dan Taklik terpaksa dipending. Trus ini... H-3 deadline revisi. Ha.. ha... ha....
![](https://img.wattpad.com/cover/8915402-288-k386231.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona Teh dan Tuan Kopi [TERSEDIA DI TOKO BUKU]
Romance[ isi konten telah dihapus kecuali prolog dan chapter 1-3 ]. Seperti teh, yang membuat tubuh rileks dalam memulai hari, ia tetap tampil anggun meski sejatinya terasa pahit. Nona Teh sesungguhnya adalah wanita karier berusia matang. Dianggap...