|| Prolog Untuk Tuan Kopi ||

47.2K 3.8K 285
                                    

Btw, check out the OST  di multimedia.

-;-;-;-;-;-;-;-

Serius. Pas lihat update-annya muncul di notifikasi, saya sampai menegang. Hahaha. Jujur, dari semua list cerita yang pernah saya baca, cuma di cerita ini saya kagum sama tokoh perempuan. Varsha. She's really really cool. Saya suka gaya bahasa yang benar-benar menampilkan kekhasan tersendiri bahwa ini adalah gaya kamu. Saya selalu suka cara pemaparannya, 'gado-gado'-nya, diksinya, keselarasannya, perunutannya ... seeemuanya. Saya ngga tahu ya, tapi setiap kali baca cerita ini, berulang-ulang, saya ngga pernah bosan untuk merasakan sebuah energi yang tiba-tiba menyelimuti udara di sekitaran saya, membentuk aura yang bikin saya ketagihan. Serious, ini bukan gombal. Sama sekali bukan.

irmahasan

-;-;-;-;-;-


|| Prolog Untuk Tuan Kopi ||




Dalam diam, aku memandanginya lekat-lekat.

Sudah beberapa kali aku melihatnya datang menjemput ponakannya di sekolah ini. Keponakannya bersekolah di SD yang sama dengan adikku. Biasanya pria itu datang dengan BMW-nya yang berlampu biru. Pria itu terlihat seperti kaum borjuis, tapi di sisi lain, juga terlihat biasa saja, tidak seperti kebanyakan kaum borjuis metropolitan yang dari mengobrol lima menit dengan mereka saja sudah ketahuan hedonisnya. Ia tidak dingin, masih mau bertegur sapa dengan beberapa orang tua murid yang kebetulan sekelas dengan keponakannya, tapi juga bukan yang tipe friendly dan gemar ramah-tamah, karena lama menunggui keponakannya tanpa bicara pun ia betah-betah saja.

Dulu, aku berkenalan dengannya pada kesempatan tak terduga, tepat saat pria itu datang untuk menjemput keponakannya, dan itu pertama kali kami mengobrol setelah sebelum-sebelum ini hanya tersenyum, mengangguk, dan berbasa-basi singkat. Letak SD adikku itu dekat dengan sebuah kedai makanan yang biasa dikunjungi para orangtua yang mau menjemput anak mereka. Singkatnya, pria itu datang, hendak mencari tempat duduk namun tak kunjung ditemukan karena sudah penuh. Lalu matanya tak sengaja melihat ke arah mejaku.

Ia berbasa-basi singkat, menanyakan pertanyaan klasik berhubung dulu aku masih anak SMA. Dan kemudian, out of the blue, ditambah kegalauanku melihat kondisi tanteku yang semakin 'sakit' tiap harinya, aku bertanya sesuatu hal yang mengganjal di otakku belakangan ini.

"Om, tahu nggak, gimana caranya menerobos cangkang baja yang nggak punya kunci?"

Kalimat itu terucap dengan lancar, dan tak ada penyesalan sedikit pun walau aku bertanya hal random pada orang asing yang bahkan belum pernah kusapa sebelumnya karena kuanggap ini hanya pertanyaan iseng. Ia tak langsung merespons. Mengaduk-aduk dahulu mi ayam pesanannya dan meneguk kopi dalam papercup, baru membalas, "Cangkang baja siapa yang kamu maksud?"

Sedotan yang kubuat mengaduki es kelapaku terhenti.

Bibirku membuka, terkejut. Karena sungguh, dari semua hal yang kuduga-duga, aku tak menyangka dia akan bertanya 'siapa' alih-alih 'apa'.

Apa dia pernah merasakannya juga?

"Itu... uhm, kerabat saya," jawabku pelan.

Ia menarik napas panjang. Memandangi mi ayamnya yang mengeluarkan uap putih untuk mengeluarkan kalor, lalu memandangi jalan raya di samping kami.

"Apa memang harus diterobos?"

Aku mengerjap. Berpikir sebentar. "Nggak tahu. Soalnya dari semua cara, cuma cara itu yang ada di pikiran saya."

Nona Teh dan Tuan Kopi [TERSEDIA DI TOKO BUKU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang