Esoknya pada pukul tiga sore, tepat ketika jarum panjang berada di angka dua belas, keluarga Wilss datang. Mom membuka pintu masuk dan tersenyum, kemudian dia memeluk wanita yang sangat cantik di hadapannya itu. Aku menduga itu adalah Ibunya Theo, karena wanita itu memiliki mata yang besar sepertinya.
"Sudah lama sekali kita tidak berjumpa, aku sangat merindukanmu." ucap wanita itu sambil menggandeng tangan Mom. Suaranya terdengar bersemangat tapi tetap lembut. "Oh, halo Pak Kim!"
"Selamat datang, Miss Olivia." Pak Kim menjabat tangan wanita yang dipanggilnya Miss Olivia. Setelah berjabat tangan dengannya, Dad berjabat tangan dengan lelaki di samping Miss Olivia yang kuduga adalah Ayahnya Theo. Tapi lelaki itu tidak terlalu mirip dengan Theo. Hanya rambutnya yang berwarna cokelat gelap dan hidungnya yang kokoh yang mengingatkanku pada Theo.
"Maaf kami datang terlambat, Owen masih merasa tidak enak badan tadi." ujar Miss Olivia sambil meletakkan tangannya di atas pundak pemuda di sampingnya. Yang dia maksud terlambat adalah tidak datang sepuluh menit lebih awal dari perjanjian. Aku menyipitkan mataku dan terkejut dengan kekuatan imajinasiku karena pemuda itu sama persis dengan apa yang ada di bayanganku. Owen mengangguk dan poninya yang pirang dan lurus jatuh mengikuti gerakannya. Matanya sangat tajam dengan pupil berwarna biru muda terang, dan aku terkesima. Dia memiliki warna mata yang hampir sama denganku. Tapi ketika dia menoleh ke arahku, senyum di wajahnya menghilang sedetik dan aku bisa melihat mata kanannya berkedut. Tapi setelah itu dia memalingkan wajahnya dariku.
"Selamat sore, Pak Kim. Nama saya Owen Wilss." Owen mengulurkan tangannya pada Dad dan mereka berdua berjabat tangan. Aku mendengar Mom tertawa kecil dan kubayangkan dia menutup mulutnya dengan tangan kanan, walau sekarang posisiku menghadap ke ruang tamu.
"Owen, kau sudah besar sekali. Sepertinya baru kemarin aku menggendongmu ketika kau masih bayi."
"Dia akan selalu menjadi bayi besar untuk kami." ucap Miss Olivia dengan nada penuh kasih sayang. Aku ingin tertawa ngakak. Bayi besar berusia dua puluh lima tahun, bah!
"Oh, dan Theo... kau juga sudah besar sekali."
Dadaku berdebar mendengar nama Theo. Apakah dia juga datang? Tapi aku terlalu gengsi untuk kembali menengok ke arah mereka. Karena itu aku hanya memainkan ujung gaunku yang mulai lecek karena sedari tadi kuremas-remas. Tapi tak urung aku mengintip juga dari balik sofa, dan Theo ada di sana. Dia tersenyum pada Mom dan Dad, dan melirik ke arahku. Cepat-cepat aku menghadap ke depan lagi.
"Baik, silahkan masuk!" Mom mempersilahkan mereka masuk. Suara derap kaki di atas lantai marmer kami membuat jantungku semakin berdebar. Aku tidak suka berhadapan dengan orang asing, dan kini aku harus menghadapi calon tunanganku yang sama sekali asing bagiku. Tapi begitu aku melihat Theo berjalan ke arah sofa, hatiku seketika menjadi lega. Tapi perasaan kesal juga ikut timbul mengingat Theo tidak meneleponku dan malah memberikan nomor telepon rumahku pada Owen. Mengingat itu, aku langsung memalingkan wajahku dari Theo.
Kini di hadapanku duduk seorang pemuda dengan penampilan yang sangat sombong. Dia mengenakan kemeja putih yang dikancing hingga lehernya, dilapisi dengan jas biru tua. Celananya berwarna hitam dan menutupi kakinya yang panjang hingga mata kaki. Sepatunya sangat mengkilap sehingga pajangan buah-buahan palsu dia atas meja memantul di sepatunya. Hidungnya mancung, seperti milik Mom. Matanya biru muda terang, seperti milikku. Dan mulutnya yang penuh berwarna kemerahan memiliki lekukan di sampingnya, sehingga dia terlihat seperti cemberut jika diam. Atau terlihat seperti marah karena matanya tampak selalu menyipit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Moon Anne
RomanceTunangan? Di usia 13 tahun??? Kalau tidak gila karena kebanyakan menulis, aku tidak tahu lagi alasan apa yang mendorong Mom menjodohkanku dengan Owen. Really? Usia kami berbeda 14 tahun! Untung saja ada Theo, tempatku untuk kabur. Tapi... kenapa The...