Aku pernah melihat sebuah bangunan di belakang gedung SMP yang tidak terlalu besar, namun nampak nyaman karena banyak pepohonan di sekelilingnya dan bangunan itu berwarna putih bersih.Ternyata bangunan itu adalah asrama untuk guru lelaki. Asrama untuk guru perempuan terletak di belakang gedung SMA, berwarna putih bersih juga, hanya saja lebih besar karena jumlah guru perempuan lebih banyak. Ketika melewatinya, terpintas di pikiranku untuk memiliki rumah seperti itu jika aku sudah besar nanti. Aku tidak terlalu suka dengan rumahku, terlalu besar dan suram.
Aku menduga jika Theo tinggal di asrama, walau kecil kemungkinannya. Tapi siapa tahu? Pokoknya jika Theo tidak ada di sana, aku akan menginap di hotel saja. Lalu barulah besok pagi aku akan menemui Theo di sekolah dan mengutarakan maksudku.Butuh waktu lima belas menit saja untuk sampai di sekolahku dengan berjalan kaki. Untunglah aku sedikit ingat dengan jalan menuju sekolahku. Karena tak sabar aku kadang berlari, tapi karena lelah membawa tas aku berjalan lagi dengan napas memburu. Kemudian aku berlari lagi mengingat tak sabar ingin bertemu dengan Theo.
Akhirnya aku sampai juga di sekolah. Di sekolahku dahulu biasanya gerbang sekolah ditutup pada pukul sepuluh malam karena banyak guru yang bekerja lembur. Semoga saja sekolah ini juga begitu. Dan aku menghela napas lega karena gerbang sekolah masih terbuka lebar. Aku segera melangkah masuk, namun aku menghentikan langkahku melihat dua orang berseragam satpam berdiri di depan gerbang. Ah, mereka pasti akan menanyaiku macam-macam. Aku malas juga berurusan dengan mereka. Apakah aku harus masuk lewat jalan lain saja, dengan memanjat pagar, mungkin? Ide itu sepertinya tidak buruk dibandingkan dengan berurusan dengan para satpam itu.
Aku memutari gedung sekolah dan berusaha mencari pagar yang cukup rendah untuk kupanjat. Tapi sialnya sekolah ini pagarnya tinggi-tinggi sekali. Tingginya sampai dua meter mungkin, dan ujung pagarnya menyerupai tombak. Kalaupun aku bisa memanjat mungkin aku bisa terluka karenanya. Aku menghentak kakiku dengan kesal. Kenapa susah sekali sih untuk masuk ke sini?
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dan aku sontak menoleh. Seseorang berdiri tak jauh dariku, dan dia berhenti melangkah. Aku tak bergerak seperti patung dan berdoa semoga aku tak terlihat olehnya, karena tempat ini cukup gelap dan hanya disinari lampu taman yang remang-remang. Tanpa sadar kutahan napasku dan berharap itu bisa memperkecil kemungkinan orang itu menyadar keberadaanku, tapi ternyata gagal karena orang itu malah melangkah mendekatiku. Tanpa pikir panjang, aku langsung lari meninggalkannya.
"Anne!" orang itu memanggil namaku, dan aku sontak berhenti. Aku mengenali suara itu. Perlahan kupandangi orang itu dan berusaha mengenali wajahnya di kegelapan, dan aku bersorak lega.
"Theo!" aku berlari menghampirinya. "Untunglah ini kau!"
"Apa yang kau lakukan di sini?" Theo nampak marah, bisa kudengar nada tak suka di suaranya. Hal itu membuat kelegaanku menguap.
"Aku kabur dari rumah."
"Kau apa?" Theo memajukan kepalanya.
"Aku, kabur dari rumah." ulangku lagi. Aku menepuk-nepuk tasku. "Aku tak sudi tinggal di sana sampai pertunangan ini batal."
"Anne, kau ini ceroboh sekali! Bagaimana dengan kedua orang tuamu? Mereka pasti panik jika tahu kau tidak ada di rumah sekarang!"
"Aku tidak perduli!" suaraku naik beberapa oktaf. Aku tidak perduli jika para satpam itu datang karena suaraku yang cukup besar. "Mereka saja tidak perduli dengan perasaanku, buat apa aku perduli pada mereka? Mereka terlalu egois. Apa mereka tidak tahu jika aku menderita?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Moon Anne
RomansaTunangan? Di usia 13 tahun??? Kalau tidak gila karena kebanyakan menulis, aku tidak tahu lagi alasan apa yang mendorong Mom menjodohkanku dengan Owen. Really? Usia kami berbeda 14 tahun! Untung saja ada Theo, tempatku untuk kabur. Tapi... kenapa The...