Aku berjalan mengendap-endap di belakang tubuh Theo yang tinggi sambil mencengkeram jaketnya. Sekarang kami harus masuk ke sekolah tanpa diketahui oleh para satpam. Sebenarnya hanya aku saja yang tidak boleh diketahui.
"Theo, memangnya tidak ada jalan lain?" tanyaku dengan suara berbisik. Theo menoleh padaku dan terdiam. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu.
"Halo? Theo?" aku mengibaskan tanganku di hadapannya. Lalu dia tersenyum senang.
"Aku ada ide."
"Ide?" tanyaku penasaran. Theo menggandengku ke tempat yang lebih gelap dan melepas topi kuplukku.
"Bawa ikat rambut?" tanyanya.
"Buat apa?" tapi aku tetap merogoh tasku dan mengeluarkan ikat rambutku dari kantung khusus ikat rambut. Theo mengambilnya dan memutar tubuhku, lalu dia menyisir rambutku dengan tangannya. Aku memejamkan mataku karena hal itu membuatku geli. Lalu Theo mengikat rambut panjangku dan memilinnya hingga menyerupai buntalan, kemudian mengikatnya. Tangannya terampil sekali, bahkan lebih terampil dariku. Aku tidak pernah bisa mengikat rambutku dengan rapih. Biasanya para pembantu atau Mom yang mengikatkan rambutku. Andai aku bisapun, pasti ada saja rambut yang tersisa atau bagian atas kepalaku tidak rapih. Setelah selesai mengikat rambutku, Theo menyisir poniku ke belakang dan menahannya dengan tangan kanannya. Dia mengambil topi kuplukku dan memakaikannya dengan tangan kirinya.
"Apa kau punya pensil alis?" tanyanya. Aku melongok dan berkata, "Tentu saja tidak!" karena seumur hidupku aku belum pernah berdandan. Kurasa anak seumurku belum sepantasnya berdandan. Theo hanya mengangguk dan merapikan kupluk di kepalaku, kemudian tersenyum puas.
"Tanpa pensil alispun kau seperti anak cowok sekarang." Theo menaruh kedua tangannya di pinggang. "Sekarang, kau adalah anak cowok." ucapnya membuatku melongok lagi. "Kau harus berpura-pura menjadi adik sepupu laki-lakiku jika kau ingin tinggal di sini."
"Apa?!" seruku keras. Theo langsung membekapku dengan panik, dan bisa kulihat satpam-satpam itu menoleh mencari suaraku karena lokasi kami hanya sekitar sepuluh meteran dari mereka. Duh, bodoh banget sih aku ini. Tapi aku benar-benar kaget dengan usul Theo.
"Jika kau tinggal di asramaku sebagai Anna, kau bisa dapat masalah, aku bisa dapat masalah juga. Kau harus menjadi cowok jika ingin tinggal di asramaku. Bagaimana?" Theo bertanya padaku.
"Bagaimana apanya?"
"Deal?"
Aku menghela napas dan berbisik. "Tapi aku tidak bisa berpura-pura menjadi cowok! Dan apakah aku harus selalu mengenakan topi ini untuk menyembunyikan rambutku?"
"Masalah itu nanti saja, sekarang kita coba masuk dulu." Theo menggandengku berjalan ke gerbang sekolah. Kedua satpam itu tampak berbincang-bincang. Seorang di antaranya yang bertubuh sangat kurus dan berwajah masam menoleh pada kami. Tapi begitu melihat Theo, wajahnya berubah menjadi ramah.
"Pak Theo! Dari mana saja malam begini baru pulang? Dan siapa bocah ini?" satpam itu menunjuk ke arahku. Aku mengangguk dan berusaha menyembunyikan wajahku agar tidak terlalu kentara terekspos cahaya lampu pos yang sangat terang.
"Ini adalah saudara sepupuku, namanya..." Theo diam sebentar, kemudian dia berbicara dengan nada senang. "Adam. Dia akan tinggal bersamaku beberapa hari saja. Dan aku sudah ijin kepada kepala sekolah mengenai hal ini." bohongnya. Tapi sepertinya satpam itu percaya saja pada Theo. Seorang satpam yang bertubuh gempal menatap ke arah temannya, dan mengangguk. Dia mengisap rokok di tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Moon Anne
RomanceTunangan? Di usia 13 tahun??? Kalau tidak gila karena kebanyakan menulis, aku tidak tahu lagi alasan apa yang mendorong Mom menjodohkanku dengan Owen. Really? Usia kami berbeda 14 tahun! Untung saja ada Theo, tempatku untuk kabur. Tapi... kenapa The...