BAB VIII- Mainan Belaka

125 9 0
                                    

Lagi-lagi, Kak Angga sembuh secara tidak wajar. Memar dengan angka 316 tersebut hanya memberikan efek sakit 15 menit setelah kejadian di rumah hantu tersebut. Aku tidak tahu sebenarnya kode apa 316 itu, namun sepertinya bukan pertanda baik. Hal tersebut sudah mempengaruhi kemampuan fisik Kak Angga untuk berkali-kali.

"Angga, aku malu untuk mengakuinya tapi aku khawatir padamu." Ujar Ray di belakang kemudi setir. Kak Angga yang duduk di kursi depan sebelahnya hanya menarik napas. Ia nampak lebih baik setelah beristirahat selama satu hari penuh dan semakin aktif mencoret-coret bukunya. Tubuhnya bahkan tampak lebih bugar dari sebelumnya. Ray tampaknya tidak menunggu jawaban Kak Angga, dan berbisik pelan sambil memutar stir ke arah kiri. "Semoga kau tidak apa-apa ya, Ngga."

Ray memang sudah biasa dicuekin oleh Kak Angga. Orang ini memang orangnya bergantung pada suasana hati. Kalau sedang senang, ia akan menyahuti orang. Jika sedang malas atau berperasaan buruk, ia lebih memilih untuk diam. Tentu saja aku pernah menegurnya perihal hal ini. Namun namanya juga Kak Angga, ia tidak merasa ia bersikap demikian. Nasihatku hanya masuk ke telinga kiri dan keluar melalui telinga kanan.

Mobil Ray memasuki jalanan kecil yang membelok-belok. Rerumputan di sekitar kami terlihat bergoyang-goyang, dan berkilau dibawah teriknya sinar matahari siang itu. Ada gandum, padi, dan juga jagung. Sebuah papan bertuliskan Peternakan Mentari pun terpampang jelas di hadapan kami. Kali ini kami melakukan perjalanan yang cukup jauh. Kami telah meninggalkan kota Jakarta dan memasuki bagian terpencil di kota Bekasi.

"Aku tidak apa-apa kok, Ray." Kak Angga akhirnya menjawab.

Alat radar Kak Angga dan Ray dua-duanya berbunyi pelan. Tidak salah lagi, kejadian berikutnya akan berlangsung disini. Namun hal yang sedang menjadi pikiranku saat ini bukanlah si biang kerok, melainkan Kak Angga. Secara tidak terduga, ia selalu sembuh cepat dari sakitnya. Aku menatap lehernya panjang dan bekas luka seperti distempel tersebut terlihat semakin jelas. 316. Angka-angka tersebut seolah sedang mengumandangkan bendera peperangan pada kami.

"Kak Angga," aku berkata sambil membantu Kak Angga turun dari mobil. Tanah dibawah kami agak lembek karena tadi pagi sempat gerimis. Sepatu kets merah kesukaanku menjadi kotor, namun biarlah. Akan kucuci kalau kami pulang dengan selamat hari ini. "Kalau terjadi apa-apa hari ini, serahkan padaku saja ya."

"Mana bisa begitu, aku kan kakakmu." Jawab Kak Angga yang keras kepala. Dasar orang ini, sudah bikin khawatir malah seenaknya begitu! Ia terkekeh melihatku yang cemberut, kemudian mengusap-usap rambutku seperti seorang anak memainkan seekor anak anjing. Kebiasaannya tidak pernah berubah. Aku selalu saja dianggap sebagai adik. Padahal, dulu aku jauh lebih tua darinya.

Kami melihat sekitar dan mulai disambut oleh penghuni peternakan dengan suara-suara nyaringnya. Babi, sapi, kerbau, anak ayam, dan juga kuda jadi ribut saat kami melangkah melewati kandang mereka. Sambutan yang heboh sekali, bukan?

Peternakan tersebut cukup luas dan teduh karena banyak pepohonan di sekitar kami. Pohon-pohon tersebut terlihat tua karena tingginya sudah melebihi plafon rumah di hadapan kami. Selain itu, banyak binatang yang memiliki kandang masing-masing sesuai jenisnya. Di bagian kandang ayam, terdapat banyak rumah-rumah kecil tempat si induk bertelur. Aku juga melihat makanan yang disediakan untuk mereka cukup memadai. Untuk urusan bau, tidak perlu dikomentari karena aku memang tidak terganggu dengan aromanya. Rasanya jauh lebih segar dari pada aroma knalpot di perkotaan. Tentu saja pendapatku berbeda dengan Ray dan Kak Angga yang jelas-jelas mengkerutkan wajah setiap bau menyengat terbawa angin. Bahkan, Ray tidak segan-segan menutup hidung menggunakan tangannya.

Aku merasa seperti sedang berkaryawisata. Selama ini aku hanya bisa membayangkan peternakan melalui wawasan yang diberikan Pak Handoko pada otakku dan juga melalui buku-buku dongeng yang kubacakan pada Angga kecil. Akhirnya kini aku melihatnya langsung.

SynesthesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang