Epilog

198 10 14
                                    

"Ayah!"

Jeritan tersebut terdengar kencang pada saat kami bertiga berhasil muncul di sebuah tempat. Untuk sesaat, kepalaku pusing akibat dihantam benda-benda aneh di lorong hampa udara tadi. Pandanganku kabur sehingga tidak begitu jelas seperti apa lorong teleportasi yang kami bertiga lalui tadi. Aku tidak tahu apa yang dikerjakan Kak Angga dan Dokter Hermawan, namun sepertinya hal itu berhasil. Kami berdua muncul melalui tabung lainnya dalam sebuah ruangan. Seorang gadis dengan rambut dikuncir dua segera menghampiri Dokter Hermawan dan memeluknya.

"Ayah senang bertemu denganmu lagi, sayang." Ujar Dokter Hermawan dengan suara yang bergetar. Ia menggendong anak tersebut dan memutar-mutarkannya bagaikan komedi putar. Aku ikut meneteskan air mata ketika mendengar tawa keduanya. Aku melihat sekeliling dan menyadari bahwa kami berada di tempat Ray.

"Aku kangen Ayah." Anak tersebut berujar riang sembari tertawa girang saat sang ayah mencium pipi lembutnya. Wajah anak tersebut agak sembab, sepertinya ia habis menangis. Ruangan tersebut tertutup dan terlihat kedap suara.

Dokter Hermawan yang selama di kapal ruang angkasa terlihat kaku kini dengan riangnya menari-nari sembari mengangkat putrinya ke atas dan kebawah. Matanya berair dan wajahnya memerah. "Ayah juga kangen sama Theodora."

"Sepertinya aku ingat tempat ini." Gumam Kak Angga sambil berkeliling menjauhi Dokter Hermawan. Memar di lengan kanannya menghilang sepenuhnya. Ia celingak-celinguk dan terlihat kebingungan. Mata tajamnya kini tampak polos. "Tunggu, apa yang baru saja terjadi?"

"Tadi ada sebuah kejadian buruk, Kak." Aku menggandeng tangan Kak Angga dan mengelus pipi anak dengan rambut berkuncir dua tersebut. Ia memakai gaun berwarna merah muda yang sudah agak kusam. Aku menggelayut manja pada Kak Angga. "Sebetulnya tidak perlu diingat-ingat lagi. Namun, Kak Angga memang berhak tahu apa yang terjadi."

Kak Angga menatapku dengan semakin bingung. "Ceritakan padaku."

Aku menceritakan semuanya. Mulai dari kejadian-kejadian aneh di bumi, betapa takutnya ia naik jet coaster, pengalaman kami berkunjung ke Blue Angel Café, dan betapa kami kompak sekali mengobservasi sebuah peternakan. Tak lupa, aku juga menceritakan perihal Ray yang bisa mempengaruhi manusia dan hewan. Ia ingin memanfaatkanku untuk menguasai bumi, dan ia memulai kekacauan dari Indonesia terlebih dahulu.

"Mengapa aku tidak mengingat sedikitpun mengenai hal itu?" Tanya Kak Angga semakin bingung. Aku pun mengambil sebuah buku bersampul biru muda dari tasnya dan membukanya. "Mungkin catatan-catatan ini akan membuat Kak Angga ingat kembali."

Aku membuka lembar demi lembar buku yang selalu dicoret-coret Kak Angga. Mataku tertegun melihat tulisan-tulisannya. Halaman pertama cukup membuat wajahku bersemu merah. Duh.

Amora.

Dirinya adalah sosok pemalu. Namun, aku suka pada si pemalu ini. Aku menyayanginya sebagai adik dan lebih. Lembaran-lembaran berikutnya akan bercerita tentang dirinya.

Hari ini, kami mengunjungi sebuah taman jogging. Aku sebetulnya takut, namun aku lebih takut akan perasaanku sendiri. Amora. Cewek disebelahku ini begitu menawan. Aku menyukai sifat-sifatnya. Saat ini, ia sedang mengamatiku dengan tatapan aneh. Ah, biarlah aku sendiri yang menyimpan perasaan aneh tersebut. Semoga ia tidak bisa membaca pikiranku.

Kali ini, kami harus mengunjungi lapangan basket. Sejujurnya, akutidak menyukai Ray yang sok akrab dengan Mora-ku. Bahkan, dia memanggil Amora dengan panggilanku. Mora. Nama itu selalu muncul sebelum aku tidur dan pada saat aku bangun. Terkadang ia bangun kesiangan, dan aku merasa bahagia sekali menatap wajahnya yang polos dan manis. Aku ingin sekali memilikinya. Ayah, bolehkah aku menyukai adikku sendiri?

SynesthesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang