Perjanjian (part 1)

19 0 0
                                    

Hari itu salju turun dengan lebat.
Namun hawa dingin yang menusuk tak terasa lagi saat aku melihat kedua temanku tengah bercengkrama di bangku taman.

William dan Aliac.

Aku sudah mengenal mereka sejak kecil, kami sudah saling mengenal satu sama lain.

Aku melambaikan tanganku, memberikan senyuman terbaik yang kumiliki. Mereka membalasnya, tersenyum hangat dibawah naungan langit yang membekukan segalanya.

Aku berjalan perlahan, berusaha mengabaikan rasa sakit di kepalaku saat sesuatu yang hangat terasa menetes dari hidungku. Aku menyekanya menggunakan lengan bajuku.

Merah.

Ah, benar juga. Aku sekarat.

Dokter mengatakan umurku tidak akan lama lagi, meskipun begitu aku tidak pernah menceritakan hal ini pada mereka. Aku tidak tahu bagaimana harus mengatakanya.

"Kau sangat lama, darimana saja?"

Dengan tergesa, aku menyeka sisa darah dihidungku dan menyembunyikan lenganku yang terkena darah.

"Maaf, aku lupa dimana aku meletakan jaketku."

Will menggerutu pelan, Liac menatapku dengan ekspresi yang tidak dapat kujelaskan. Apa itu? Kecewa? Sedih? Marah?

"Kau harus membayarnya dengan mentraktir kami coklat panas."

Will meninju lenganku main-main, aku meringis pelan.

"Ayo, kita harus lebih cepat jika tidak ingin tertinggal bus."

Aku mengikuti langkah Will, sedikit tergesa karena ia berjalan dengan cepat. Baru saja aku akan membuka mulutku untuk memanggil Liac, suara sesuatu yang terjatuh dibelakang kami mengejutkanku.

Sontak kami menoleh. Aku tidak dapat mengatakan apapun. Liac terjatuh begitu saja diatas salju yang dingin.

"Liac! Apa yang terjadi?"

Will berlari kearahnya, aku berusaha menyusulnya.

Salju putih itu perlahan berubah menjadi merah. Will meraih badan Kana dan mencoba membangunkannya.

Darah segar mengalir dari hidungnya, ia tak lagi bergerak.

"Liac! Jawab aku!"

Apapun yang Will teriakan atau lakukan, tak ada yang berubah, Liac sama sekali tidak bergerak. Pandanganya kosong, tak ada deru samar yang menandakan bahwa ia masih bernafas.

Ia tengah membodohi kami. Aku yakin. Aku harap.

Aku berlutut, mencoba mencari denyut nadi di pergelangan tangannya.

"Rion, bagaimana?"

Bagaimana? Bagaimana aku mengatakannya? Aku tidak tahu. Ini terlalu mengejutkan. Ini terlalu sakit.

"RION!!"

Aku tak bisa mengatakan apapun. Menatap Liac yang tergeletak tak bernafas dan Will yang terus berusaha membangunkannya sudah cukup menyayat hati kecilnya.

"Maaf.."

Aku bergumam pelan. Rasanya sangat sakit.

"Maaf.."

Liac...

"Maaf.."

Kenapa kau tidur ditempat seperti ini?

"Maaf.."

Bukankah kau tidak tahan dengan udara dingin?

"Maaf.."

.
.

Hari berganti minggu, dokter yang menanganinya pun menyerah. Tidak ada yang tahu sebab kematiannya.

Yang mereka tahu, semua tentang Liac, sebelum kematiannya terasa sangat janggal.

Dia menjadi pendiam, sering menyendiri bahkan pergi selama berjam-jam tanpa ada yang mengetahui kemana ia pergi.

Yah, tak apa lah. Lagi pula tak lama lagi aku juga akan mati.

Maaf, Will.

Apa aku harus menceritakan hal ini padanya?

.

Hari itu, aku memutuskan untuk mengunjungi rumah Will. Bermaksud mengambil beberapa barang yang ia pinjam, itu hanya alasan. Aku merindukannya, jujur saja.

Disinilah aku berada, berdiri di kamarnya yang masih belum tersentuh sejak ia meninggal. Orangtuanya belum bisa melepas kepergiannya yg mendadak.

Ini pertama kalinya aku masuk kamar Liac, aku menyusuri setiap sudut ruangan. Perasaan perih menyeruak didalam dadaku. Aku tak pernah berfikir bahwa ia akan pergi secepat ini.
Sebuah buku hitam yang terselip diantara buku-buku lain menarik perhatianku.
Aku mengambilnya.

Sebuah diary?

.
.
.

AN

Maaf.

Tinta HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang