"Gimana, enak kan?" Aku mengangguk cepat, terlalu cepat malah. Darin tersenyum puas dan menyandarkan punggungnya pada pohon besar yang tengah menaungi kami.
Sebut saja ini adalah tempat favoritku dan Darin untuk menghabiskan waktu istirahat.
"Omong-omong ... gimana hasil ulangan Matematika lo? Pasti bagus sih, lo kan pinter hehe, sekali-kali ajarin gue dong," kata Darin sambil menatapku penuh harap.
Aku terkekeh pelan dan berusaha menampilkan seulas senyum tipis. Padahal, pertanyaan Darin hampir membuatku ingin menenggelamkan diri di Samudera Hindia dan tak pernah muncul lagi.
"Err, yah, lumayan," ujarku tak berniat memberitahunya lebih.
Darin menggembungkan sebelah pipinya, yang mana malah membuatnya terlihat semakin ... manis?
Astaga, Lira, seharusnya kau fokus pada nilai-nilai menyedihkanmu saja.
"Oh iya! Gue punya sesuatu buat lo," ujar Darin tiba-tiba dan segera merogoh sakunya. Sedetik kemudian, sebuah gelang yang terlihat kemilau berada di tangan Darin.
Darin memberikan cengiran lucu dan menarik tanganku tanpa aba-aba.
"E-eh? Ini apa, Lir? Lo gak papa?!" Aku melotot saat lupa kalau memar-memar di lengan bawah tanganku yang kudapatkan seminggu yang lalu belum pulih benar.
Sial, kenapa aku bisa lupa?[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Paradigma [5/5 END]
Short Story*** Aku adalah calon kesuksesan, dengan orang-orang yang menyayangiku sebagai cahaya harapanku. ***