Prolog

1K 28 0
                                    

"Bi, tolong jelasin. Jelasin sedikitttt aja. Ke.. kenapa hidup aku kayak gini? Kenapa Bi?" Suara Tiara terdengar pelan dan memilukan. Ia hanya mampu mengeluarkan suara serak. Tak henti-hentinya air mata berjatuhan di pipinya. Membuat kepalanya pening, hingga rasanya ingin meledak saat itu juga.

Abi hanya terus memeluknya erat, serasa tak ingin melepasnya lagi. Ia terus mengusap-usap punggung Tiara dengan lembut. Berusaha sedikit saja untuk menenangkan. Sesekali ia mengusap pula matanya yang memerah dengan kasar. Sungguh. Ia ingin menangis melihat keadaan Tiara seperti ini. Ia tak hentinya mengecup puncak kepala Tiara. Hanya tindakan kecil yang menyiratkan agar gadis di pelukannya ini mau berbagi beban dengannya. Berbagi perih yang sama. Aroma shampo lembut menguar dari rambut Tiara, tak luput bau obat-obatan dan segala antibiotik yang tercampur. Entah sudah berapa lama keduanya merasakan hal ini. Merasakan sakit yang sama dan hawa rumah sakit menjijikan yang semakin memilukan.

"ssttt... Tiara" sahut Abi dengan suara tak kalah serak. Mati-matian ia menahan agar air mata tak jatuh. Tiara tak membutuhkan seorang yang lemah dikeadaan seperti ini. Maka dari itu, dengan segala cara Abi menjelma menjadi manusia seperti batu karang. Seperti cadas ditepi lautan.

"kenapa Bi? Aku.. aku dosa apa kira-kira, sampe Tuhan bikin aku kayak gini Bi?" tangis Tiara semakin terisak. Ia berusaha meredam tangisnya di dada Abi yang mendekapnya dengan hangat. Bahkan dalam pelukan sehangat itu, Tiara masih menggigil. Seolah hawa dingin merasuk ke tulangnya. Hingga terasa sangat ngilu.

"Tuhan tau, kamu perempuan kuat. Makanya Dia kasih cobaan seperti ini. Dia gabakal bikin hidup kamu kayak gini kalo Dia tau kamu ga mampu. Kamu gaboleh salahin siapapun, bahkan Tuhan sekalipun, Ra.." Abi semakin mengetatkan pelukannya, gadis di dekapannya ini menggigil.

"aku capek Bi...ga kuat lagi..." Tiara melepaskan diri dari pelukan Abi, lalu beralih menatap tepat ke manik mata lelaki disampingnya itu. Abi hanya tersenyum getir. Matanya juga merasakan kesedihan yang mendalam. Tapi ditutupinya itu dengan seutas senyum yang amat sangat di paksakan, demi melihat gadisnya sedikit tenang.

"tolong bilangin sama Tuhan ya, aku nyerah Bi..." luruh sudah pertahanan Abi. Ia kembali mendekap Tiara, ia menangis bersamaan dengan Tiara yang kembali terisak. Sungguh. Ucapan Tiara barusan benar-benar merobohkan bentengnya. Ucapan sederhana namun memiliki arti yang sangat dalam. Hanya beberapa patah kata namun sarat dengan keputus asaan dan frustasi. Abi memejamkan mata kuat-kuat. Berusaha menelan kembali air mata yang sempat jatuh. Ia kuatkan hatinya kembali. Ia harus tegar. Setidaknya untuk saat ini. Ia harus menjadi lelaki kuat agar Tiara bisa menjadikannya sebagai sandaran.

"kenapa harus aku Ra yang bilang? Kamu bisa bicara sendiri sama Tuhan" kata Abi masih dengan suara serak, ia tetap mendekap Tiara dalam pelukannya.

"Aku gak yakin Bi, Tuhan bakalan dengerin aku. Udah ribuan kali aku nyampein permohonan aku. Ya.. setidaknya permohonan terakhir.. tapi sampe sekarang ga ada yang terwujud". Abi melepaskan pelukannya. Ia memegang lembut kedua bahu Tiara hingga gadis itu menghadapnya. Ia menatap lekat kedua mata sayu itu. Mata yang terlalu lelah. Mata yang menyiratkan begitu banyak rasa kecewa dan sakit. Mata yang entah sudah berapa lama sering menjatuhkan air mata tanpa ampun. Abi mencoba menyelaminya. Tiara hanya balas menatap mata Abi dengan tatapan kosong. Bahkan sinar keceriaan dan ekspresif sudah sirna dari sudut mata itu. Abi menghembuskan napas berat.

"kita pergi ke gereja rumah sakit yuk. Mau ya?" Abi berkata lembut. Menyunggingkan senyuman manis yang selalu disukai Tiara. Tiara masih memandangnya dengan tatapan kosong. Seperti tak ada harapan disana.

"kita berdoa sama-sama. Kita hadapin Tuhan sama-sama. Kita memohon sama-sama" Tiara akhirnya tersenyum lemah, dan mengangguk perlahan.

***

Disinilah mereka sekarang. Tiara dan Abi. Bukan katedral dengan arsitektur megah dan segala macam ukiran menawan. Bukan juga bangunan gedung khusus yang dibangun dipusat kota. Hanya ruangan yang tak luas, namun juga tak sempit yang berada diujung lorong lantai dasar rumah sakit. Hanya beberapa deretan kursi kayu panjang didalamnya yang langsung menghadap altar yang tak besar. Kayu salib besar bertengger diatas altar. Entah sudah berapa lama Tiara tak memasuki tempat seperti ini. Rasanya, untuk melangkah mendekat kayu salib pun tak pantas, apalagi memohon.

Sejenak, Tiara ragu. Tetapi Abi menganggukan kepala mantap, dan mendorong pelan kursi roda Tiara masuk mendekati altar. Keduanya termenung menatap kayu salib didepan altar itu. Dengan ragu, Tiara menelungkupkan tangannya yang lemah diepan dada. Harapan satu-satunya. Ia pejamkan mata sejenak. Bahkan Abi sudah tenggelam dalam doa dengan kepala menunduk. Merendahkan hati.

"Tuhan.. Aku bukan hamba yang patuh. Aku bahkan jarang pergi ke gereja. Bahkan, aku sering melupakan Mu. Tuhan, jika boleh... sekali ini saja aku minta satu hal. Ah bukan. Mungkin beberapa hal. Tidak ada lagi yang tersisa atas hidupku. Yang tersisa tinggal nyawa, juga seseorang yang selalu disampingku, Tuhan.. jika boleh, aku.. aku ingin minta agar keluarga ku dikembalikan. Tak apa jika harus ditukar dengan tubuh dan nyawaku. Lagipula, Tuhan, sepertinya aku hanya bisa menghitung hari...Tuhan, aku butuh sandaran... rasanya Aku dan Abi akan limbung bersamaan..."

"Tuhan, aku menyerah... aku angkat tangan"

***

ELEGI (ON HOLD) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang