Enam

83 3 23
                                    

Sekesal kesalnya Adeeva pada Tokyo karena di kota inilah ia kehilangan kasih sayang kedua orangtuanya, ia tetap mencintai kota ini. Bagaimana tidak? Orang orang yang ramah, keindahan alam dimana mana, ditambah adanya Disneyland Tokyo. Tokyo juga tempat ia menghabiskan sebagian besar waktu masa kecilnya. Adeeva tidak tahan untuk tidak berhenti tersenyum sambil meloncat kegirangan. Atha yang melihat Adeeva seperti itu hanya tersenyum manis. Dengan adanya Adeeva, Atha yakin ia akan bisa merelakan segalanya.

"Gue kangen banget sama tempat ini" sahut Adeeva, meloncat kegirangan sambil memeluk Shania dan Lae.

Mereka semua sudah berada di luar bandara, menunggu jemputan yang sudah disediakan sekolah. Adeeva menangkap Vano berdiri di dekat tiang, tetap membaca buku yang sama. Oh ya, kebetulan yang ikut ke Tokyo hanya 7 orang. Sudah bisa ditebak kan siapa saja? Jika tidak ingin terus sendiri seperti anak anti sosial, Vano harus berusaha untuk membaur dengan mereka ber enam.

Mereka baru sampai di Tokyo jam 2 siang, tapi karena waktu Tokyo dan Jakarta berbeda 2 jam, maka mereka sampai di tokyo jam 4 sore. Tidak seperti teman-temannya yang sudah siap menghantam kasur, Adeeva tersenyum terus menerus sambil memegang tas ranselnya.

"Deedee, itu udah dateng jemputannya. Cepetan masuk, jangan nyengir mulu" Atha menarik Adeeva yang sedaritadi terus memperhatikan orang orang disekitarnya dengan senyum mengembang.

"Ya Allah Deev. Itu senyum dikasih baking powder apa ya? Ngembang banget" ledek Lae setelah mereka semua sudah duduk di dalam mobil.

"KAMPUNG GUE INI, KAMPUNG GUE NYET" Adeeva mengguncangkan tubuh Lae yang persis disamping kirinya, membuat seluruh teman temannya tertawa. Termasuk Vano.

"Ah si abang bisa ketawa juga toh" Gilang mencolek dagu Vano yang berada persis di sebelahnya. Sukses membuat Vano terbelalak kaget, tapi tertawa akhirnya.

"Lo kira gue penjaga si Queen Elizabeth yang topinya berbulu apa ya, gabisa ketawa sama sekali" tambah Vano sambil tertawa lepas. Adeeva tersenyum dalam hatinya, lega karena Vano dapat berbaur dengan teman temannya.

Yaelah, Deev. Aduh, dia ga berbaur sampe ansos sendiri terus mati karena gapunya temen, juga ngapaiin lo peduli.

Adeeva dengan cepat membuyarkan pikirannya.

"Seru juga ya lo, Van. Sering sering main sama kita kita ya" ucap Gilang dan Vano membalas dengan anggukan.

"Awas ya lo Van sampe tebar pesona di sekolah. Peringkat satu cogan SMA Garuda Bangsa nanti jadi lo. Hidie amit amit cabang jaksel"oceh Nadhif.

"KOK DIA BISA TAU KATA KATA LO, THA? CENAYANG YA LO, DHIF?" Adeeva mengernyitkan dahi, karena sepengetahuan gadis itu, Atha baru memberitahu kosakata miliknya ke Adeeva.

"Itu yang bikin kita ber tiga, dodol. Kenapa makin gede lo makin dodol buset dah" Atha, yang berada disamping kanan Adeeva, langsung mencubit pipi gadis itu dengan gemas.

"Kaka rasa pacar"

"Kaka rasa pacar, dua"

"Kaka rasa pacar, tiga"

"Kaka rasa pacar, empat"

"Emang lo sama dia adek kakak? Perasaan nama belakangnya beda" tanya Vano sambil menggaruk kepalanya.

"Ya ngga lah, tong. Mereka cuman nganggep satu sama lain adek kakak" Penjelasan dari Shania membuat Vano mengangguk.

"Kayaknya lo paling cetek dah disini ilmu tentang para murid eksis di SMA Garuda Bangsa" Nadhif menggelengkan kepalanya.

"DIA ANAK BARU NADHIF KU TERCINTAAAAAAA" sahut Lae yang daritadi sepertinya sudah frustasi mendengar kebegoan Nadhif. Alih-alih baper karena dipanggil "tercinta" oleh Lae, Nadhif malah mendengus kesal.

Perjalanan selama 45 menit dari bandara ke hotel yang akan mereka tempati pun selesai. Terlihat bangunan kokoh di depan mereka, yang mereka kenali sebagai hotel yang akan ditempati. Adeeva turun dari mobil, menggeret koper miliknya dan langsung masuk ke dalam bangunan itu. Interior yang mewah terdapat di setiap sudut hotel bintang lima ini.

"Dipisah kan ya kamarnya?" tanya Lae, tidak menyadari kebegoan pertanyaan yang baru saja ia lontarkan.

"Kalo di gabung nanti masuk 7 keluar 8, Le" ceplos Nadhif, membuat semua teman cowonya tertawa. Lain hal dengan Adeeva, Lae, dan Shania yang tidak habis fikir dengan jalan pikiran Nadhif.

Gilang yang daritadi sudah check in, segera menghampiri teman temannya itu. Kebetulan kamar mereka sebelah sebelahan, kamar nomor 387 dan 388.

"Molor dah gue, bablas sampe besok pagi. Ya gak, Lang? Ya gak, Tha?" sahut Nadhif, membuat kedua teman yang dipanggil itu mengangguk. Adeeva berlari menyusul Lae dan Shania yang sudah berjalan terlebih dahulu tanpa sepengetahuannya ke depan lift.

"Dijamin deh, pasti Deedee ga mau tidur. Nanti juga dia keluyuran sendiri di Tokyo" tebak Shania yang membuat Adeeva hanya cengengesan, tanda kalau tebakan Shania 100% akurat dan benar.

Mereka ber 3 yang daritadi sudah sampai di kamar 387, langsung menghempaskan diri ke kasur setelah menaruh koper di rak. Adeeva tidak kuasa menahan senyumannya yang daritadi belum meninggalkan mukanya. Rasa rindu kepada Tokyo menguasai perasaan gadis itu.

"Deev, lo jalan sendiri gitu nanti keliling Tokyo? Gue tau sih lo udah kenal banget sama kota ini, ya orang udah tinggal 10 tahun disini. Kalo lo nanti kesambet genderuwo, terus ga ada yang nolongin gimana?" cerocos Lae, disertai anggukan Shania namun juga kekehan Adeeva.

"Jamin deh ga akan kenapa kenapa. Di Jepang ga ada genderuwo, Lae ih. Suka mengkhayal aja sih. Udah ya, gue pergi" Adeeva meraih tas selempang miliknya dan berjalan keluar kamar.

Sudah 3 tahun Adeeva tidak merasakan kesejukan angin di kota Tokyo pada musim semi. Tiap sel sel dalam tubuhnya sangat menikmati tiap hembusan angin kencang yang menerpa tubuh gadis itu. Tubuh yang sangat mungil dibandingkan bangunan-bangunan tinggi di sekitarnya. Gadis itu berjalan dengan santai menyebrangi jalanan-jalanan di Tokyo, dan sekali menaiki kereta bawah tanah agar lebih cepat sampai di tujuannya.

Voila, Adeeva berjalan di tengah taman yang paling ia sukai. Rikugien Garden. Terletak sedikit jauh dari hotel yang ia tempati, yaitu di Bunkyo. Gadis itu berjalan mengikuti jalur di yang ada dan berhenti seketika saat di depannya terdapat danau. Adeeva duduk di salah satu bangku yang kosong dengan pohon rindang diatasnya, membuat dirinya lumayan terhindar dari sinar matahari yang sudah ingin menenggelamkan dirinya. Ia segera menyumbatkan earphone ke telinganya dan mengambil buku yang ia simpan di tas selempangnya. Tapi, seperti biasa. Walau ada earphone yang menyumbat telinganya, ia tetap bisa mendengar jika seseorang berbicara pada dirinya. Gadis itu menaruh segala perhatiannya di buku yang sedang ia baca.

"Neng geulis sendiri aja?" Adeeva yang mendengar seseorang sepertinya berbicara padanya langsung menoleh. Tanpa gadis itu sadari, ujung bibirnya itu terangkat, menorehkan senyum manis di mukanya. 

*********************************************

haloooo, maaf banget ini chaptnya lebih dikit dari yang kemaren kemaren. nanti chapt 7 aku banyakin deh ya HEHE! lovess, terus baca yaww hehe. semoga sukaa!


Unilateral. Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin