Cinder menatap bayangannya di cermin. Satu-satunya cermin di istana kerajaan bulan.
Orang-orang Bulan tidak suka menatap bayangan mereka di cermin. Cermin memiliki cara tersendiri untuk mengungkapkan kebenaran di balik daya pikat mereka.
Cinder tidak pernah menggunakan daya pikatnya kepada orang lain. Terkadang ia menggunakannya untuk membuat tangan logamnya seolah menjadi kulit, tetapi hanya itu.
Ia tidak pernah suka cara orang Bulan menggunakannya.
"Bagaimana, Yang Mulia?" Seorang pelayan berdiri di sebelah Cinder, setelah ia membantunya mempersiapkan diri.
Gaun putih dengan bahan ringan dan melayang menutupi tubuhnya, kain di bahunya jatuh hingga ke lantai.
Sepasang sarung tangan sutra untuk menutupi kecacatannya.
Rambutnya yang semula berantakan digelung rapi di belakang kepalanya, hampir terlalu sempurna untuk dirinya.
Mahkota berkilau bertengger di kepalanya.
"Aku ti- aku menyukainya. Terima kasih." Cinder tahu pelayan itu sudah berusaha keras untuk membuatnya senang, dan terlalu kejam baginya untuk mengatakan ia tidak menyukainya.
Lagi pula, ini hanyalah satu dari sekian banyak kostum yang harus dipakainya untuk memainkan perannnya sebagai seorang putri.
"Kalau begitu, silakan lewat sini Yang Mulia. Kaisar Kaito sudah berkumpul dengan Yang Mulia Ratu." Sang pelayan membuka pintu kamar tidurnya, mempersilakan Cinder.
Lorong-lorong panjang di istana Bulan tidak pernah terasa nyaman. Rasanya seperti terlalu kosong, terlalu dingin, dan palsu.
Meski begitu Cinder harus mengakui bahwa interior istana Bulan layak untuk dipandang. Relief dan huruf rune memenuhi dinding, gemerlap saat terkena pantulan cahaya. Lantai putih mengilap, namun entah bagaimana tidak memantulkan bayangan apapun. Cinder paling mennyukai lukisan konstelasi bintang di langit-langit. Mengingatkannya pada langit malam yang tidak pernah berubah.
Namun kali ini Cinder bahkan tidak sempat melirik bintang-bintang itu. Ia sudah terlambat 10 menit dari jadwal pertemuan, dan sepatu hak yang dipakainya sama sekali tidak membantunya berjalan lebih cepat.
"Benda ini sama sekali tidak berguna." Cinder menggerutu. Ia tidak pernah, dan sepertinya tidak akan pernah terbiasa menggunakan sepatu hak tinggi.
Cinder berhenti, lalu memeriksa keadaan lorong. Tidak ada seorang pun.
Ia melepas sepatunya dengan lega. Lalu ia mulai berlari, mengangkat gaunnya agar tidak terseret atau membuatnya tersandung.
Rasanya menyenangkan untuk berlari tanpa ada yang melarangnya. Kaki logamnya berdentang setiap kali menyentuh lantai, membuat suara berisik. Cinder berharap tidak seorang pun memdengarnya.
Ia menurunkan kecepatannya saat berbelok di tikungan lorong. Namun, Cinder dengan bodoh membiarkan salah satu lengan gaunnya terjatuh, membuat seseorang tanpa sengaja menginjaknya.
Cinder terjatuh, suara robekan kain terdengar jelas di tengah lorong yang kosong.
Dan suara kelentang logam.
Cinder meringis, bagian tubuh kanannya terasa nyeri karena benturan tiba-tiba. Peringatan membanjiri retinanya, tetapi ia tidak bisa fokus pada satu kata pun.
"Maaf! Apakah kau terluka? Aku.. sama sekali tidak melihatmu tadi." Suara seorang pemuda terdengar, namun Cinder belum bisa memfokuskan pandangannya.
Namun, ia dapat melihat sebuah tangan terulur, dan Cinder dengan ragu menyambutnya.
Retina Cinder perlahan pulih, optobioniknya mengenali wajah pemuda yang sedang menatapnya dengan khawatir.
KAISAR KAITO.
PEMIMPIN PERSEMAKMURAN TIMUR, PERSERIKATAN BUMI.Demi bintang-bintang.
Cinder menarik tangannya kembali, bergegas berdiri meskipun kakinya masih terasa seperti ditusuk dari dalam.
Kaisar muda itu terus menatapnya, dan Cinder tidak tahu apa maksud tatapan itu.
Oh, yang benar saja.
Kenapa ia harus melihatnya begini?"Yang Mulia." Cinder akhirnya membungkuk, sama sekali tidak memiliki ide bagaimana Sang Kaisar bisa berada di lorong tersebut.
"Kau... Putri Selene?" Kaisar Kaito melirik mahkota yang tergeletak di lantai, jatuh dari kepala Cinder.
Cinder kembali berdiri, dan untuk pertama kalinya benar-benar menatap Kaisar.
Wajah simetris sempurna.
Rambut gelap tertata rapi.
Mata yang berkilat menatapnya.
Bintang, ia terlihat mengagumkan."Ya. Senang bertemu dengan anda." Cinder memaksakan sebuah senyuman sopan, agar Sang Kaisar tidak menganggapnya kasar.
Kaisar Kaito membalas senyuman Cinder, dan Cinder tahu bahwa tidak sesuatu yang tampak seindah itu.
"Tidak perlu.. cukup Kai saja." Kaisar Kai membungkuk, mengambil mahkota Cinder yang terlupakan dan menyerahkannya kepadanya.
"Dan aku cukup yakin semua orang memanggilmu dengan sesuatu yang lain selain... Selene?"Cyborg gila.
Tukang bengkel.
Putri palsu."Cinder." Butuh beberapa saat bagi Cinder untuk menguasai dirinya kembali. "Aku tahu itu terdengar aneh- batubara, ya aku tahu- tapi, hal itu lebih terdengar seperti diriku."
Mengejutkan, Kai tertawa lepas. Seketika Cinder melihat pemuda 18 tahun yang tersembunyi di balik pakaian resmi dan bahasa formal tersebut.
Cinder bertanya-tanya akan seperti apa dirinya bila ia bukan seorang Kaisar dari sebuah negeri di bumi.
"Maaf?" Cinder tidak bisa menahan intonasi herannya. Tangannya otomatis memperbaiki letak sarung tangannya, menyembunyikan logam dibaliknya. Kai tidak perlu melihatnya sekarang.
Kai menggeleng, wajahnya tampak lebih cerah dari sebelumnya. "Tidak, hanya saja... aku tidak pernah mendengar pernyataan yang begitu jujur sebelumnya. Brilian." Ia mendekatkan wajahnya kepada Cinder, seolah ingin memberitahunya sebuah rahasia "Dan kau tahu aku selalu dikelilingi orang-orang yang-yah, tidak terlalu jujur."
Lorong istana Bulan tetap sepi, hanya ada beberapa pengawal yang membungkuk saat melewati mereka. Cinder terlalu terpaku kepada kai sehingga tidak menyadari keberadaan mereka.
"Err-um. Baiklah, Yang Mu-Kai" Cinder merasakan perasaan yang aneh saat memanggil Yang Mulia Kaisar dengan nama panggilannya. Tidak nyaman, namun familier.
Kai tampak seperti menahan tawa. Ia mendekat selangkah ke arah Cinder.
Arus listrik mengalir di kabelnya saat Kai meraih tangannya, dan menciumnya.
Tangan Cyborgnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Emperor And The Cyborg Princess
FanfictionCinder, seorang cyborg yang dikenal sebagai mekanik ternama di New Beijing, telah melalui berbagai rintangan bersama teman-teman sekutunya untuk menyelamatkan bumi dari Ratu Levana dan mengungkapkan jati dirinya sebagai pewaris takhta bulan yang sah...