BAB 5.2 : KÓMÒCÁNÒK

659 90 10
                                    

Merauke, 2 tahun yang lalu

Lolos dari sergapan para buaya, Ignas dan Thobias langsung naik pesawat di sebuah bandara perintis menuju bandara di Merauke. Perjalanan mereka dilanjutkan dengan menumpang becak-motor ke sebuah pemukiman yang terletak di bagian utara bandara. Nama pemukiman itu Kampung Kelapa Lima. Salah satu pemukiman yang khusus ditempati oleh suatu suku yang pernah digadang-gadang sebagai suku paling pandai di antara semua suku di Papua : Suku Muyu (dibaca Moyo).

Thobias berasal dari sini, dari Kelapa Lima. Ya, dia orang Muyu. Istrinyalah yang orang Asmat. Dulu Ignas lahir di sini pula, saat Thobias masih ditempatkan sebagai guru di Merauke.

Kerabat-kerabat Thobias menyambutnya dengan campuran ekspresi gembira namun juga muram. Mereka memandu Thobias masuk ke dalam sebuah rumah bercat dominan biru, ke dalam sebuah kamar sempit di mana terbaring seseorang pria berkulit hitam yang tubuhnya kurus kering dan seluruh janggut serta rambutnya telah memutih.

"Thobias! Sampai juga ko di mari!" sapa orangtua itu dengan suara parau.

"Bagaimana kabar Tete?" tanya Thobias.

"Nah, nah, nah seperti ko bisa lihat! Terbaring tanpa daya menunggu waktunya dijemput tiba!"

"Tete jang omong begitu."

"Ha, bagaimana sa tak omong begitu? Kamong sadar bukan berapa usia Tete?"

"98 tahun?"

"Ralat! 99 Thobias! 99! Tete su lama hidup, jadi jika sekarang Tete mati pun, Tete siap! Ko sudah besar, adik-adik dan kakak-kakak ko sudah bisa hidup lah! Tapi satu yang Tete masih punya ganjalan, yakni ini!" pria tua itu mengambil sebuah kotak kayu yang di dalamnya terdapat sebuah batu berbentuk segitiga tak beraturan yang dijadikan sebuah mata kalung.

"Ini milik Tete punya kakak! Ini Kómòcánòk!"

Wajah Thobias mengeras. Kómòcánòk adalah batu jimat para warga suku Muyu. Dahulu dipakai untuk berburu. Siapa memakai batu itu akan dapat hasil buruan bagus. Tapi batu ini sendiri juga tak bisa sembarangan dipakai. Hanya orang yang dipilih saja yang bisa memakainya.

"Tete ingin sa ambil itu batu?" tanya Thobias.

"Bukan ko! Tapi Ignas!"

*****

"Kenapa Ignas?" tanya Thobias.

"Ko punya anak laki itu akan jadi kebanggan para empunya fam (marga) Salabai. Ko punya Ignas itu akan jadi pemakai Kómòcánòk ini!"

Thobias tak lagi bisa membantah. Tete Simon jika sudah berkata seperti ini tidak bisa dilawan. Selain karena punya wibawa besar di antara keluarga besar Salabai, Thobias tidak sampai hati menolak kemauan Tete Simon untuk mewariskan Kómòcánòk pada Ignas. Sebab Tete Simon-lah yang dulu merawat dan membesarkan Thobias serta saudara-saudaranya hingga menjadi orang saat ini.

"Ignas!" akhirnya Thobias memanggil Ignas masuk ke dalam kamar.

Anak lelakinya itu pun masuk dan duduk di kursi di samping ayahnya. Raut wajah Tete Simon tampak sumringah. Ia kemudian berkata pada Thobias, "Ko keluar dahulu. Sa ingin bicara agak lama dengan Ignas."

******

Ignas tidak mengerti alasan kakek buyutnya itu menyerahkan batu siklop biru berbentuk segitiga tak beraturan itu kepadanya. Alasan si kakek buyut hanya satu : "Komot pilih ko untuk pegang batu ini!"

"Siapa Komot Tete?" Ignas tidak mengerti.

"Komot itu bukanlah manusia, bukan pula tawat[1]. Komot itu roh suci. Penguasa alam liar. Pemandu orang Muyu kala berburu."

Ignas masih belum mengerti benar, maka itu ia bertanya lagi, "Apa yang sa harus lakukan?"

"Jang terlalu banyak pikir. Komot akan kas tahu ko." (Jangan terlalu dipikirkan, Komot akan beritahu kamu pada waktunya).

"Sungguh? Apa boleh sa bawa ini? Sa ini kan amber (pendatang)?"

"Nah, ko bukan amber (pendatang), ko sejak lahir di dunia ini sudah jadi kati (orang Muyu)."

******

Tiga hari bermalam di Merauke, Tete Simon akhirnya berpulang. Penyebab kematiannya : kanker hati yang menjalar ke tulang belakang. Sudah stadium empat, tak tertolong lagi. Wasiat terakhir Tete Simon sederhana saja. Kómòcánòk diberikan pada Ignas, pemakamannya harus diupacarai oleh Thobias, dan hartanya yang masih ada haruslah dibagi secara adil di antara para cucunya.

Tujuh hari setelah mangkatnya Tete Simon, Ignas dan Thobias pun pulang. Dan dalam sehari sebelum perjalanan pulang itulah, Ignas bertemu dengan sosok Kasuari bersinar biru.


Tanjung Paser, 15.00 WITA

"Ko masih ingat bukan kala kita jumpa kali pertama?" tanya Kasuari.

"Ya, sa ketakutan bukan kepalang. Sa kira ko Iblis dari Neraka yang mau culik saya!"

Kasuari terkekeh, "Tapi setelah itu ko sa ajari banyak hal ya? Mari hitung berapa kali ko sa selamatkan! Empat kali dari buaya sungai, tiga kali dari kasuari liar dan ... ."

"Ah, oke, cukup! Sa tahu! Sa tahu! Baik! Sa akan pakai 'itu' untuk buru kroda malam nanti!"

"Akhirnya, hai Warak, Datu Merah, Sarita, Kabaresi! Ignas setuju!" kata Kasuari.


1) roh manusia (termasuk leluhur)

Lokapala Season 1 : Usana | #Wattys2018Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang