Dua tahun yang lalu.
Pukul delapan kurang lima, namun semua orang sudah bersiap bangkit dari kursi masing-masing, menuju satu titik yang sama: ruang rapat.
Akhir bulan, dan kami belum bisa mencapai target untuk menjual sejumlah unit rumah sesuai kesepakatan akhir tahun lalu.
"Anton bakal ngamuk."
"Semoga nggak perlu ada adegan nendang dinding. Ngilu lihatnya."
"Mampus kita, gimana nih?"
Masih banyak keributan, umpatan, dan makian yang tertahan sepanjang langkah kami menuju ruang rapat. Akupun menjadi salah satu di antara mereka, minus "cemas" menghadapi Anton sang manajer Pemasaran, karena mood-ku saat ini sedang berada di atas awan.
Semua ini gara-gara buket bunga calla lily yang kutemukan di mejaku pagi ini. Rasanya semua hal mengerikan di dunia ini sirna sudah saat aku melihat bunga cantik itu tersimpan manis di mejaku. Belum lagi sebuah kartu ucapan berwarna merah muda, ditulis tangan dengan rapi.
Nggak bisa nulis gombal. Pokoknya bunga ini buat kamu. Sampai ketemu nanti malam. A.
Sengamuk apapun Anton hari ini, tidak akan mempan padaku. Sudah kuniatkan, aku akan membiarkan amukan Anton masuk telinga kanan-keluar telinga kiri, walaupun seandainya namaku yang dikata-katai olehnya.
"Mar, berhenti senyam-senyum sendiri," Desi mendesis, menyikut lenganku saat kami sudah sampai di bibir pintu ruang rapat.
Aku meringis tanpa suara, hanya memasang tampang kecut. "I'm happy, you know. Ngerusak kebahagiaan orang aja deh, lo," bisikku manyun.
"Ntar lagi aja senengnya kalau kita selamat dalam keadaan hidup setelah rapat ini beres."
"KALIAN HANYA BISA MERANGKAK, TIDAK BISA BERJALAN CEPAT, HAH?!"
Suara menggelegar membuat kami semua tersentak kaget, beberapa orang terjajar selangkah ke belakang, termasuk aku yang langsung melotot kaget mendengar Anton memulai amukannya dari dalam ruangan.
Astaga, aku heran. Bagaimana dulu HRD perusahaan ini memilih manajer macam Anton yang teriakannya seperti harimau itu?
Kami semua seperti anak ayam yang manut pada induknya: duduk di kursi yang mengelilingi meja oval di ruang rapat, dan mulai menjalani eksekusi yang akan berjalan selama berjam-jam ke depan. Masih untung, bila kami bisa keluar sebelum jam makan siang. Kalau tidak, siap-siap menghadapi malam dengan perut kosong.
Saat aku baru duduk—di pojok terjauh dari Anton, syukurlah aku mendapatkannya setelah saling sikut tanpa suara terlebih dahulu dengan Desi, sahabatku—ponselku bergetar. Jantungku sempat mencelus saat kukira ponselku itu belum di-silent. Bisa tambah ngamuk Anton kalau tahu ada anak buahnya yang masih sibuk dengan HP sementara rapat sudah akan berlangsung.
Kubuka kunci ponselku tanpa melihat layarnya, hanya digeser ke kanan. Aku menundukkan kepala, pura-pura merapikan rok pendekku, padahal mataku melirik ponsel yang kupegang di atas paha.
Dari Arman. Pacarku. Lelaki yang sudah membuat hatiku terbang ke awan.
Makan malamnya masih lama. Padahal aku ingin nyium kamu. Sekarang.
Membaca pesan itu, aku langsung terkekeh. Pipiku memanas.
BRAAAKKK!
Terdengar suara dinding dipukul oleh suatu benda berat! Jantungku nyaris copot! Ponselku sampai jatuh meluncur dari genggamanku dan mencium lantai begitu saja!
"MARA! APA YANG SEDANG KAMU LAKUKAN?! KAMU INGIN KELUAR DARI RUANGAN INI SEKARANG DAN HAHA-HIHI DENGAN PUAS DI LUAR, HAH?!"
Ruangan lantas hening seperti pemakaman. Semua orang menatapku. Tatapan kasihan, karena sepanjang rapat hari ini, aku yang akan menjadi "maskot" sebagai target amukan Anton. Oh, sial.
KAMU SEDANG MEMBACA
WE WERE ON THE ROCKS
RomanceCerita tentang seorang Nismara Olivia, wanita yang mati-matian ingin bangkit dari patah hati yang pernah membuatnya sekarat. Kesibukannya dalam bekerja, cukup membantunya untuk membunuh waktu, mengurangi intensitasnya berkabung dalam memori yang bel...