Enam

1.2K 128 11
                                    


Getaran ponsel yang ada di genggamanku, mengalihkan perhatian yang sedari tadi aku pusatkan pada tayangan di televisi. Menekan kode buka kunci lalu mengetikkan sandi yang sudah kuhafal diluar kepala. Setelahnya potret wajah konyolku dengan Riko terpampang sebagai desain wallpapernya.

Ada pemberitahuan pesan masuk dari aplikasi yang didominasi dengan warna hijau juga putih. Kutekan iconnya dan kembali menampilkan bar untuk kuisi dengan sandi yang serupa. Setelahnya warna pink juga putih yang mendominasi.

Anto : Sal, jangan lupa acara bakar-bakar dirumah Prita. Jam 7 malam.

Anto : oh iya ... kalau mau bawa pasangan, boleh.

Setelah membaca dua pesan yang dikirimkan oleh ketua kelasku, aku kembali mematikan ponsel dan meletakkannya di meja yang ada di dahapanku. Fokusku kembali beralih pada layar televisi. Acara yang sedari tadi kutonton baru saja selesai.

Akhirnya aku mematikan televisi dan bergegas pindah ke kamarku. Tidak lupa ponsel yang tadi kusimpan di atas meja, ikut aku bawa.

Pikiranku kembali mengulang isi pesan yang Anto kirim. Pemuda hitam manis yang menjabat sebagai ketua kelas karena keisengan teman-temannya itu, tidak pernah meninggalkan tugasnya. Seperti tadi, dia yang memberikan informasi acara juga mengingatkan.

Aku merebahkan diri di kasur. Membuka kembali ponselku juga aplikasi yang tadi kugunakan. Aku menekan huruf-huruf membentuk tulisan 'Riko' dan membuka pesan darinya yang belum sempat kubaca.

Riko : Sal, malam minggu nih ... main kuy? Harus mau yaa ...

Isi pesannya yang telah kuterima sejak dua jam lalu menyadarkanku bahwa ini hari sabtu. Sudah dua hari setelah kejadian itu.

Riko mengajakku pergi dan Anto mengingatkanku untuk ikut acara terakhir kelasku. Jika Riko sudah mengajak, aku tidak mungkin menolak. Tapi aku pun tidak mungkin absen pada acara terakhir kelasku.

Salsa : Nanti malam ada acara bakar-bakar kelasku.

Salsa : Kamu temenin aku ya? Harus mau ... setengah tujuh harus udah jemput.

Setelah mengetikkan pesan sebagai balasan pada Riko, aku mengambil handuk yang tersimpan di dekat pintu kamar mandi. Waktu yang sudah menunjukkan pukul lima sore, membuat aku harus bersiap untuk acara malam ini.

*

"SALSA, ADA RIKO NIH. KATANYA MAU PERGI."

Teriakan Mamah terdengar saat aku baru saja menyelesaikan ritual menguncir rambut. Hanya model biasa, kuncir buntut kuda dengan gaya poni khasku yang tak tertinggal. Tadi setelah selesai mandi, aku memang memberitahu Mamah tentang acaraku malam ini. Mamah langsung menyetujui saat tahu aku perginya bersama Riko. Dari dulu, jika aku pergi dengan teman laki-laki pasti Mamah tak mengizinkan. Lain hailnya jika pergi bersama Riko.

"IYA, MAH. RIKO SURUH TUNGGU SEBENTAR AKU MAU AMBIL SEPATUKU," balasku dengan teriakan juga. Letak kamarku yang ada di lantai dua mengharuskan untuk melakukan itu. Memang tidak sopan jika berteriak kepada Mamah, tapi hal ini justru sudah menjadi kebiasaan.

Aku berjalan menuju rak yang berisi susunan koleksi sepatuku. Rak yang tingginya sama dengan tubuhku, dengan lebar yang mungkin empat kali lipat dariku. Sepatuku tidak banyak, namun cukup untuk digunakan selama sebulan tanpa model yang sama. Mengerti maksudku bukan?

Setelah meyakinkan bahwa aku sudah siap untuk pergi ke acara terakhir kelasku, aku beranjak meninggalkan kamar. Menuruni tangga menuju ruang tamu dan aku mendapati Riko yang menggunakan baju dengan warna senada denganku. Navy atau biru dongker.

"Udah siap?" tanya Riko saat aku sudah berdiri dihadapannya. Kuanggukkan kepala menjawab pertanyaannya.

"Eh ... ko kita pake baju samaan?" tanyaku, merasa gemas dengan ketidak sengajaan ini. Karena sejujurnya, selama kami bersahabat baru kali ini memakai baju dengan warna yang senada. Biasanya selalu bertolak belakang.

"Wah iya ... jangan-jangan ...," ujarnya menggantung. Aku hanya mengernyitkan dari, tidak terpikir sama sekali apa yang dimaksud Riko. "Kita jodoh." Lanjutan Riko yang berbisik ditelingaku rasanya mampu membuat rona merah menjalar diseluruh pipiku.

Tanpa sadar aku hanya tersenyum canggung. "Apasih ...." Riko hanya tertawa.

"Udah ah, yuk berangkat. Aku gamau jadi yang terakhir dateng. Hehe ...," ujarku yang bermaksud mengalihkan. Akhirnya kami pun berangkat.

Selama perjalanan ada musik dari saluran radio yang menemani. Diselingi dengan obrolan ringanku dengan Riko. Semuanya seperti biasa. Tapi aku merasa aneh, setiap melihat senyum tulus sahabatku ini, rasanya ada getaran aneh dihatiku. Jika itu cinta, aku akan dengan senang hati menyambutnya.

***

28 Juni 2016

alohaaa~ kambek dengan cerita ini

mampir di kala hujan juga kuyy... mau dilanjut ko udah ada setengah untuk part selanjutnya

salam lalalala~ dari nau muah muah muah :***

jangan lupa vomment yaaa, itu sangat berarti loooh^^

QUADRILATERALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang