Tujuh

1.2K 120 6
                                    

Aku sampai di rumah Prita tepat saat Anto akan memulai sambutannya. Walaupun acara non formal, sambutan ketua kelas dan ketua pelaksana tetap ada.

"Salsa, Akhirnya lo datang."

Suara gadis sang pemilik tempat acara berlangsung, mengalihkanku dari ocehan Anto. Saat melihat Prita, senyumku lantas terukir. Gadis yang sudah aku nobatkan sebagai sahabatku ini terlihat cantik dengan dress berwarna merah muda. Oh ... apa aku belum menceritakan Prita?

Aku baru dekat dengan Prita saat memasuki semester akhir. Pengelompokkan tugas belajar untuk ujian nasional adalah alasan utamanya. Prita, Bian, Danny, Anto, dan aku tergabung dalam satu kelompok. Jangan tanya mengapa perempuannya hanya aku dan Prita. Semuanya karena pengelompokkan dibuat dengan mengocok nama murid. Mengerti maksudku bukan?

"Eh ... bawa siapa nih?" tanya Prita. Aku menolehkan pandangan pada Riko setelah kembali dari ingatan asal muasal kedekatanku dengan Prita.

"Kenalin, gue Riko. Sahabat dan calon pacarnya Salsa." Penjelasan Riko membuat aku membulatkan mata. Bahkan aku belum menyuruhnya untuk memperkenalkan diri dan dia sudah mengaku sebagai calon kekasihku? Astaga ... Riko benar-benar berusaha mencuri hatiku.

"Iihh ... Salsa ko ngga cerita-cerita kalau lo udah ada calon? Jangan-jangan setelah ambil ijazah, gue dapat undangan pernikahan? Hahaha ...."

Aku kembali membulatkan mata mendengar tanggapan Prita. Yang benar saja? Aku tidak sedikit pun memiliki pemikiran seperti itu.

"Apaan sih ... Riko nyebelin ya, minta disantet emang. Lo juga, Prit. Gue masih mau jadi orang sukses, baru nikah." Penjelasanku justru mendapatkan tawa dua remaja berbeda gender ini.

"Yakin neng mau santet abang? Nanti eneng nikahnya sama siapa kalau ga ada abang?" jawaban Riko lantas membuat tanganku melayang untuk mendaratkan cubitan pada lengannya. Kebiasaan Riko jika sudah bercanda tidak memikirkan kekesalanku.

Prita tertawa melihat pertengkaran kecil kami. "By the way, karena lo ngga ngelak, berarti bener? Kalau Riko calon pacar lo?" tanyanya.

"Amiiiin doain abang berhasil menaklukan hati si eneng ya? Kali aja kita berlanjut kepelaminan. Ashoyy ...," sambar Riko dan jari tangannya sudah bertengger manis dikedua pipiku.

Lagi-lagi Prita tertawa dan aku hanya menghela napas. Membiarkan Riko yang terus saja bermain dengan kedua pipiku. Karena pemuda ini sangat hobi bermain dengan pipiku yang aku akui memang-sedikit- tembam. Saat aku bertanya dia hanya tersenyum dan menjawab, "abisnya empuk, enak buat dicubit-cubit."

"Teman-teman, sukarelawan yang akan membakar makanan kita malam ini adalah dua do, Edo dan Dodi. Karena merekalah yang sering menjadi penyebab utama keributan di kelas kita. Lagipula, mereka terlalu sulit untuk dimintai uang kas. Padahal kalian tau kan? Kita bisa adain acara kecil-kecilan ini karena uang kas. Yah ... walaupun ngga seberapa. Tapi ... kuy kita nikmati acara malam ini."

Perkataan bendahara kelasku, Andin, disambut meriah oleh teman-temanku. Tentu mereka juga aku merasa senang karena tidak dijadikan pembantu mendadak. Karena tugas itu sepenuhnya sudah dilimpahkan kepada dua sepupu yang sama-sama menyebalkan. Ya ... Edo dan Dodi yang tadi disebutkan memiliki hubungan darah. Yang aku tahu, ayahnya Edo adalah kakak dari ibunya Dodi.

"Perhatian sebentar," ujar Anto yang sudah menggantikan Andin di depan microphone. "daripada kita sibuk masing-masing, gue sama panitia yang lain udah buat rencana sambil nunggu kerjaan dua cunguk itu."

"Jadi berhubungan dari pengamatan berbagai sumber terpercaya-"

"Intinya dong, To. Ngga perlu bertele-tele."

Celetukan khas Adit, salah satu teman kelasku, membuat Anto mengernyit tidak suka. Aku hanya tersenyum. Sudah terbiasa melihat kelakuan mereka berdua. Anto yang akan memberi info dan Adit yang akan menyela perkataan panjang lebar ketua kelasku.

Terkadang aku bersyukur dengan kebiasaan Adit yang meminta Anto agar tidak bertele-tele saat berbicara. Pasalnya jika sang ketua kelas itu sudah memulai pembicaraan, terlalu banyak pembukaan yang menurutku tidak perlu. Seperti saat ini.

"Oke ... oke. Jadi kita dari panitia mau adain acara buka-bukaan," terang Anto langsung menuju inti.

"Apaan buka-bukaan?"

"Wah parah lo, To. Ga boleh itu, To. Dosa ...."

"Ogah ah gue, aurat harus tertutup tjoy."

"Istigfar, To. Gabole gitu.

"...."

Berbagai tanggapan terlontar dari teman-teman kelasku. Inti penjelasan dari Anto membang sedikit ambigu.

"Astagfirullah ... kalian ini." Anto menggelengkan kepalanya. "maksud gue itu, yah kalian jujur-jujuran. Tentang perasaan kalian, tentang kesan kalian selama kita satu kelas, dan semacamnya. Makanya jangan asal nerka dulu sebelum gue selesai ngomongnya."

Aku terkekeh. Wajah Anto sudah pucat saat dituduh yang tidak-tidak. Riko dan Prita yang ada disebelahku justru tertawa, mereaksikan tanggapan mereka. Setelahnya yang aku tahu teman-temanku hanya mengangguk, seakan menyiratkan tanda mengerti.

"Dan tambahan ... ini bukan cuma untuk anak kelas aja ya. Jadi yang bawa pasangan, kalau mereka juga mau jujur-jujuran silahkan, ini buat seru-seruan kita semua," tambah Anto dan mendapatkan persetujuan meriah dari teman kelasku.

Aku merasakan tangan Riko yang terjulur merangkul pundakku. Hembusan napasnya pun terasa ditelingaku, membuatku menerka jika dia sedang mendekatkan wajahnya. Mungkin ingin berkata sesuatu?

"Aku mau ungkapin isi hatiku ke kamu, di depan teman-temanmu." Jantungku berdetak kencang dan aku rasa rona merah telah menjalar dipipi juga telingaku.

***

12 Juli 2016

QUADRILATERALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang