Delapan

1.2K 115 3
                                    

"Mau ya, jadi pacar gue?"

Keheningan tercipta saat kalimat itu terucap dengan lancar. Hanya sementara, karena sekarang suara keriuhan yang terdengar.

"Terima ... terima ...."
"Rugi kalau nolak ...."
"Kasih gue aja sini kalau gamau ...."

Dan beberapa tanggapan lainnya.

Aku memperhatikan sekitar, senyum merekah teman-temanku menghiasi malam ini. Kulirik Riko yang berdiri dihadapanku. Dengan raut khawatirnya yang terlihat jelas.

"Gue mau jadi pacar lo, Bima."

Jawaban itu menjadi titik awal terciptanya seruan-seruan usil teman-temanku. Hampir semuanya telah terhipnotis untuk fokus pada dua sejoli yang baru saja resmi menjalin sebuah hubungan. Terkecuali mereka yang sedang sibuk dengan makanan yang tersedia.

"Asiiik ... akhirnya Clara nerima cinta lo, Bro. Setelah sekian lama yaa ...."

Seruan Anto yang kembali memimpin acara dibalas senyum bahagia oleh Bima. Ya ... Bima, pemuda yang aku cintai. Oh ... bukan. Pemuda yang pernah aku cintai akhirnya mendapat balasan dari gadis pujaannya, Clara. Jika kalian bertanya apa aku kecewa? Maka dengan keyakinan aku akan menjawab bahwa aku sama sekali tidak kecewa. Justru aku bahagia menyaksikan secara langsung peresmian hubungan mereka. Kuakui, aku-dulu- mencintai Bima, tapi sekarang rasa itu perlahan menghilang. Percayalah ... semuanya berubah sejak pertengkaranku dengannya di kantin sekolah.

Sekarang aku tersenyum ke arah Riko. Aku tahu, sejak pertama dua remaja itu menginjakkan kaki di atas panggung, raut usil yang selalu terlukis diwajah Riko berubah menjadi raut khawatir. Untuk siapa lagi jika bukan untukku? Tentu saja.

"Kamu baik-baik aja kan?" tanya Riko.

"Aku baik-baik aja, Ko. Kan ... ada kamu disini," balasku yang dihadiahi seruan usil Prita. Oh ... aku lupa jika gadis yang telah memiliki tunangan itu masih berada disekitarku.

"Cie Salsa ... jadi ini mah sama Riko. Keysip abis ambil ijazah gue tunggu undangannya ...," ujarnya.

Aku tertawa membayangkan bahwa yang diinginkan Prita mengenai undangan itu akan benar-benar terlaksana. Bukan undangan pernikahan tentu saja, aku tidak berpikir ke arah sana. Justru yang aku pikir adalah undangan khitanan Riko. Entah mengapa? Padahal aku tahu jelas, pemuda itu sudah melangsungkan acara yang kumaksud sepuluh tahun yang lalu. Tepatnya saat kami ada di kelas dua sekolah dasar. Silahkan sebut aku jahat, tapi memang pikiranku tiba-tiba meluncur kearah sana. Haha. Mungkin karena ada sangkut pautnya dengan sahabatku itu.

"Dih ... kenapa ketawa-tawa sendiri? Obatnya abis?" tanya Prita yang sekarang mengalihkan tatapan tanya itu pada Riko. Yang aku lihat pemuda itu hanya mengedikkan bahu tanda ketidaktahuannya.

"Gue jadi kepikiran untuk sebar undangan setelah ambil ijazah," jelasku.

Riko sekarang justru yang tersenyum tidak jelas ke arahku. Alisnya, dia naik-turunkan. Aku mengerti apa yang dimaksud Riko dan kuharap kalian pun mengerti agar aku tidak perlu menjelaskannya.

"Bukan undangan pernikahan," tambahku. "Tapi undangan khitanan Riko. Hahaha ...."

Lanjutan ucapanku disambut gelak tawa Prita. Lain halnya dengan Riko yang jari-jarinya sekarang beralih menggelitiki area pinggangku. Aku yakin sekarang kami yang menjadi pusat perhatian.

"Sal, gue mau ngomong sama lo."

Suara Clara menghentikan gelitikan Riko dan gelak tawa Prita. Aku sedikit bersyukur Clara datang dan mengurai pembalasan dendam Riko terhadap candaanku. Tapi dari nada dan kata yang terucap, aku tahu sesuatu yang ingin Clara bicarakan tentu mengenai hubungannya dan hubunganku. Dia dengan Bima dan aku dengan Riko.

QUADRILATERALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang