Setelah menghabiskan waktu hingga lewat tengah malam bercerita kepada Devano kini perasaan Syifa agak plong.
Ternyata di balik sifat menyebalkannya di sekolah, cowok itu bisa juga menjadi pendengar dan penasehat yang baik. Ia tidak menghakimi Syifa sama sekali, cowok itu benar-benar sabar mendengar keluh kesah Syifa.
Hal yang membuat Syifa akhirnya luluh dan mau pulang ke rumah adalah ucapan terpanjang Devano saat Syifa selesai bercerita, ia bilang:
"Kadang kita nggak bisa mengendalikan segalanya. Biarkan masalah datang dan hilang dengan sendirinya. Kamu harus percaya kalau semuanya akan bekerja sesuai kodratnya. Dan satu-satunya yang bisa kamu lakukan hanya menerima, bukan menghindarinya."
Ya, Syifa memang harus menerimanya. Semua yang terjadi di dalam hidupnya---keluarganya, bukan sesuatu yang semestinya Syifa hindari. Terlebih jika mengingat bukan hanya Syifa yang merasa dikhianati, tapi Mamanya juga.
Syifa seharusnya ada di sana, di samping Mamanya, menguatkannya dan bukan malah menambah beban pikirannya.
Syifa menarik napas panjang sebelum kemudian mengeluarkan kunci cadangan rumahnya dari dalam slingbag-nya. Cewek itu memutar kenop pintu lantas mendorongnya.
Selangkah demi selangkah, ia mulai memasuki rumahnya yang sudah terlihat sepi. Entahlah, Syifa masih merasa sesak saat netranya melirik ke arah sofa di mana Papanya menampar dirinya.
Syifa buru-buru memasuki rumahnya lebih dalam, tidak mau memikirkan kejadian tadi. Satu-satunya hal yang ingin ia lakukan sekarang adalah menemui Mamanya.
Tadi, di jalan saat Syifa mengaktifkan kembali ponselnya, ia menemukan banyak pesan masuk dari Mamanya.
Syifa merasa bersalah soal itu.
Tepat saat Syifa menjejakan kakinya di lantai dua rumahnya, Syifa menemukan sang Mama tengah tertidur di sofa tempat biasa ia dan Mamanya menonton drama Korea bersama saat Papanya dan beberapa pekerja di rumahnya ingin menonton bola di bawah.
Syifa tertegun, lantas ia berjalan pelan menghampiri Mamanya.
Syifa berjongkok dan menatapi setiap gurat wajah sang Mama. Tangannya terulur, mengelus pipi sang Mama yang sudah mulai ada kerutannya. Tak terasa matanya kembali berair.
"Maaf, Ma," ucap Syifa parau.
Syifa buru-buru menyeka air matanya saat melihat pergerakan dari Mamanya.
"Syifa, kamu udah pulang sayang?" Wanita itu tersenyum saat kedua kelopak matanya terbuka.
Syifa mengangguk. "Maafin Syifa, ya, Ma."
Mama Syifa beranjak dan langsung menarik kedua bahu Syifa agar duduk di sampingnya. Lantas, Syifa berhambur ke dalam pelukan Mamanya. Dapat dirasakannya, tangan halus Mamanya mengelus rambut Syifa. "Kamu nggak salah apa-apa, sayang."
"Semua ini salah Papa, Ma. Papa udah bikin kita---"
"Sssst," Mama menyela Syifa yang tengah meracau. Wanita itu kemudian melonggarkan pelukannya, ditatapnya putrinya itu sendu. "Nggak, Syifa. Kamu nggak boleh nyalahin Papa."
"Tapi, Ma ...,"
Mama Syifa tersenyum, senyum yang entah kenapa membuat hati Syifa seperti dicubit. "Ini udah takdir, sayang. Dan sekarang satu-satunya yang ingin Mama dengar dari kamu cuma keikhlasan kamu menerima ini---seperti Mama. Bagaimanapun juga, mereka tanggungjawab Papa. Dan mereka juga punya hak yang sama dengan kita."
Mama menyeka kedua pipi Syifa yang sudah basah dengan air mata.
"Kenapa Mama bisa sekuat ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kusut
Teen FictionMasalah yang dihadapi Syifa bagaikan benang kusut, yang tidak Syifa ketahui ujung pangkalnya. Satu persatu yang mengisi hidupnya melenggang begitu saja, membiarkan Syifa dengan segenggam benang kusut di tangan. Hingga, seseorang hadir, menawarkan di...