9 :: Suasana Hati yang Labil

315K 14.3K 674
                                    

Sekelompok lelaki menyambut kedatangan Shanin bersama teman-temannya. Anof, si cogan yang dikenal sebagai pemain Basket unggulan di SMA Dharma, tersenyum semringah akan kedatangan Shanin.

Anof segera menarik Shanin untuk duduk di sampingnya dan membiarkan para teman Shanin kumpul bersama teman Anof yang lain. Sekarang, meja ini penuh dengan banyaknya orang.

"Anof, cuma Shanin yang dibeliin makaroni?" sambar Kinan secara tiba-tiba.

Anof tersentak namun tertawa, "Sorry, gue keingetnya Shanin doang."

Tawa Shanin seketika pecah, "Kasian! Ya udah, makan rame-rame aja."

Yang terjadi setelahnya adalah Shanin menikmati sepiring makaroni bersama empat temannya dengan canda dan tawa yang mengelilingi mereka. Anof diam-diam memperhatikan Shanin dari balik bulu matanya. Senyumnya terukir dan matanya mengilatkan rasa kagum terhadap Shanin.

Sudah hampir lima tahun Anof dan Shanin menjalin tali persahabatan. Dari mereka masih duduk di bangku SMP hingga sekarang. Anof sudah hafal dengan segala kebiasaannya Shanin, begitupun Shanin terhadap Anof.

Tapi, akhir-akhir ini Shanin lebih banyak menghabiskan waktu bersama Gisel, Lana, Kinan dan Una. Sekarang juga Shanin lebih sering curhat kepada empat temannya itu dibanding kepada Anof, dan Anof merasa sedikit tersingkirkan.

Anof selalu berusaha berpikir positif tentang Shanin. Mungkin saat-saat ini cewek itu butuh pemasukan dari perempuan di setiap curahan hatinya. Karena walaupun Shanin sedang merenggang dari Anof, Anof akan tetap siap-siaga bila Shanin membutuhkannya.

Jauh dari lubuk hatinya, Anof merindukan Shanin.

"Nin," panggil Anof membuat Shanin mendongak ke arahnya dengan tatapan tanya.

"Tadi lo berangkat ke sekolah bareng siapa?" Tanya Anof dan seketika seluruh manusia yang menghuni meja itu langsung diam, menyimak.

Shanin mengernyit dalam beberapa sekon, namun ekspresinya berubah menjadi biasa lagi. "Oh, sama Aidan."

"Aidan!?" pekik keempat teman Shanin secara bersamaan.

"Eh," Shanin terkejut, "Kalian jangan teriak!"

"Sumpah, lo berangkat bareng Aidan? Si cowok patung es itu? Beneran!?" Kinan terlihat begitu antusias dan penasaran.

"Kok bisa, Nin??" Sambung Una.

"Kalian janjian berangkat bareng? Atau gimana?" Tanya Gisel.

Shanin melongo mendengar celotehan teman-temannya yang terlihat begitu ingin tahu. Lalu kemudian Shanin tertawa. Ia tidak menyangka reaksi teman-temannya akan segila itu. Namun, satu detik kemudian Shanin membekap mulutnya dengan panik.

Shanin pikir, bila Aidan ada di sekitarnya dan mendengar dirinya disebut-sebut oleh temannya, Aidan akan lebih sering memberinya tatapan tajam yang lebih tajam daripada silet.

"Kalian jangan sebut-sebut Aidan," bisik Shanin, "berabe, tau."

Mereka lantas mengerutkan dahi, tak mengerti. "Emangnya kenapa? Lo ada apaan sama dia?"

Shanin menggeleng kuat-kuat. Sepertinya ia tidak akan mau menceritakan apa yang terjadi dengannya dan Aidan sekarang. Tidak di tempat ini. Apalagi ada Anof.

"Ehm," Anof berdeham, "jadi, lo berangkat bareng Aidan?"

Shanin mengangguk, "Iya, Nof. Kok lo liat?"

"Mata gue kan ada dimana-mana," canda Anof.

"Oh, Anof cemburu?" celetuk Deni yang tengah sibuk mengunyah cimol miliknya.

"Oooh, jadi yang Anof ceritain tadi tuh tentang Shanin sama si Aidan?" lanjut Nizam dengan cengiran jahil di wajahnya.

Anof lantas melotot dan memberi kode ke mereka untuk segera diam. Setelah melihat ekspresi paniknya Anof, teman-temannya langsung menahan tawa.

Shanin menautkan kedua alisnya. Tak mengerti dengan apa yang teman-teman Anof katakan. "Maksudnya?"

"Nggak, Nin, gak ada maksud apa-apa." sahut Anof berusaha sesantai mungkin.

Gisel dan Kinan tersenyum penuh arti, menandakan mereka mengerti maksud perkataan Deni dan Nizam. Tapi mereka memilih untuk bungkam, demi privasi Anof.

***

Di lain tempat yang berbeda dengan keberadaan Shanin serta teman-temannya, Aidan terlihat sedang fokus memantulkan bola basket di lantai lapangan. Ketiga temannya duduk di lantai sambil memperhatikan Aidan secara seksama. Semenjak balik dari kantin, wajah Aidan berubah jadi semakin datar dan sedikit mengerikan.

Aidan lompat sembari menembak basket ke ring. Seperti yang sudah-sudah, Aidan selalu berhasil memasukin basket ke ring.

"Dan, lo lagi anu, ya?" Tanya Ali.

"Anu?" Nino menampilkan senyum mesumnya, membuat Kalil gemas ingin menabok wajah Nino.

"Lagi ada something maksud gue," dengus Ali, "biasanya kalo Aidan main basket, pasti doi lagi bete."

"Cie, tau aja." Nino mencolek dagu Ali dengan main-main. Ali berdecak, "No, lo menajiskan banget, sih?"

Aidan menghempaskan bola ke sembarang arah, membiarkan bola itu memantul bebas kemana saja. Tanpa memberi rasa peduli, Aidan melenggang pergi hendak meninggalkan lapangan.

Entah apa yang terjadi, namun suasana hati Aidan sedang mendung sekarang. Rasanya ingin sekali ia menghempaskan amarahnya ke sebuah benda hingga benda itu hancur.

"Dan, tunggu!" Panggil Nino, lalu mengejar Aidan bersama Ali dan Kalil. Mereka bertiga menebak-nebak tentang apa yang sedang terjadi terhadap Aidan. Selain jarang bicara, Aidan juga hampir tidak pernah mau membicarakan masalahnya ke teman-temannya. Ia terlalu tertutup dan juga beku. Ia selalu memendam apapun yang sedang ia rasakan. Bahkan, Bia kesulitan mencari tau apa saja persoalan yang sedang anaknya alami.

"AIDAAAN!"

Seruan itu berasal dari seorang cewek yang tengah berlari menghampiri Aidan. Ia nyengir lebar setelah berdiri di hadapan Aidan. Melihatnya, Aidan malah mendengus.

"Kok main basketnya udahan?" Tanya Shanin.

"Padahal Anof ngajak lo battle," lanjutnya.

"Gak." balas Aidan.

Shanin terdiam sejenak sambil memandang wajah suramnya Aidan. "Lo kenapa? Galau?"

Aidan menajamkan tatapannya ke arah Shanin, yang artinya ia sedang tidak ingin diganggu. Shanin yang mengerti maksud tatapan Aidan pun mundur selangkah sambil sedikit menunduk.

"WIH, ANOF KEREN!" sorak Kinan yang sedang menyaksikan Anof bermain basket bersama teman-temannya. Mata Shanin tertuju ke arah Anof dan bertepuk tangan dengan heboh.

"Dan, liat, Anof keren banget!" seru Shanin.

Aidan enggan menoleh ke belakang hanya untuk melihat Anof. Baginya, itu sangatlah membuang waktunya walaupun hanya satu detik. Dengan rahang yang mengeras, Aidan menatap Shanin.

"Biasa aja." ucap Aidan terdengar ketus.

"Ih, galak." Shanin cemberut.

------------

*media: Anof

SHAIDANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang