Unabashedly.

VI. "Teman"

SMA, boleh jadi masa paling bergeming ceria dalam sebagian kisah hidupku.
Dimana aku mulai menjadi seorang murid cerdas di kelasku, dimana segala pertanyaan yang menurut mereka tidak terpecahkan, aku dapat memecahkannya!
Terkadang, aku rindu sekali masa itu, tentu, Andine yang sangat-sangat kurindukan.
Pikiranku berangan-angan kembali, jam makan siangpun terganggu...

...

"Hey, Andine!" sapaku, ya memang, sekarang aku lebih berani memanggilnya dihadapan semua orang, "Hai, Dimas!" kau pasti tahu rasanya. Disapa oleh sosok tercintamu di depan semua orang.
Dan semenjak itu, kami sering, terlalu sering bermain berdua, hingga aku lupa bahwa kami hanya berteman, tak lebih.
Tidak ada yang istimewa.

Pukul 14:25 pun tiba, bel pulang sekolah menjadi tidak begitu menggembirakan bagiku, bagi yang sedang dimabuk-cinta-teman-sekelas itu sangat tidak menggembirakan.
Karena pada saat kau tiba di rumah, kau akan rindu seseorang, seorang yang kau mabukkan itu. Dan menurutku itu cukup mengganggu, karena rindu tak pernah sisakan ruang kosong di hatimu. Ia akan mengisi penuh segala ruang kosong hatimu, pikiranmu, nafasmu. Itu mengganggu, terkadang menyakitkan.

"Don't leave me high, don't leave me dry"
Lagu Radiohead ini turut menyusuri waktu demi waktuku.
Tanpa terasa, hari sendu itupun berlalu.

Esoknya aku seperti biasa, sekolah dengan semangat membara. Ia datang, membawa tas pink-nya berjalan mendekat di lapangan parkir sekolah, lalu menyapaku dengan lengkung senyum yang berbeda, lebih lengkung dari bulan sabit, "Hai Dimas! Pagi! Berat nih bawa tasnya" raut mukanya seketika berubah kecut asam seolah didalam tasnya adalah sebongkah beban hidup yang ia benci. Menggemaskan.
"Ya udah, sini dibawakan" tawarku, "Ah kamu, baik sekali mau menghargai perempuan. Thanks!"