11 - The Boys

2.8K 129 7
                                    

Rose

Sial!

Tubuhku masih gemetar begitu hebat. Energiku seakan hilang, menguap begitu saja, bahkan hingga membuatku tidak sanggup untuk mengangkat rahangku yang jatuh menganga.

Raga milik Peter berjalan mendekatiku. Jemari lentiknya memainkan rambut pirangnya, dengan siku ditopang oleh telapak lainnya. Ia tundukkan sedikit kepalanya, membuat pandangan mata merahnya yang menyeramkan menusuk kedua bola mataku tanpa ampun. Tak berkutik, aku tidak mampu untuk melawan makhluk di hadapanku.

Setelah beberapa menit memandangiku dalam diam, tangannya mulai menyentuhku. Ia mengelus lembut kulit pipiku yang membuat seluruh tubuhku merinding karena sensasi yang ia berikan. Perlahan, jemarinya berpindah ke bibirku. Ibu jarinya mengusap-usap bibir bawahku sedang jemarinya yang lain menangkup daguku.

"Kau tahu, Rose? Kamu mengingatkanku pada seseorang," katanya sambil terkekeh geli. Namun sorot matanya berkata lain. Ada pedih di dalam sana.

Aku hanya mengernyitkan dahi, meminta penjelasan. Namun bukannya memberi penjelasan, ia malah mendekatkan kepalanya, menempelkan bibirnya di atas bibirku. Sedetik kemudian tubuhnya jatuh di atas bahuku, membuatku semakin bertanya-tanya.

***

Peter

Wajah bingung Rose menjadi pemandangan pertama yang ditangkap oleh kedua mata hijauku.

"P-Peter?" tanyanya terbata-bata. Kedua tangan mungilnya mencengkram erat bahuku meski tubuhnya gemetar. 

Aku tidak segera menjawab, karena aku sendiri masih meraba-raba mencari kesadaranku. Kupandang manik abu-abu milik Rose. Bingung. Panik. Dua perasaan yang dapat kuterjemahkan dari sorot matanya terhadapku.

Aku mengerjapkan mataku lagi; berkali-kali. Hingga akhirnya aku yakin sudah benar-benar berada di dunia-ku, aku pun berkata, "Rose, apa yang terjadi?"

Mata abu Rose membulat selama beberapa detik sebelum mulai berkaca-kaca.  Cengkraman tangannya melemah kemudian jatuh ke samping tubuhnya, sebelum akhirnya ia gunakan untuk menyeka air matanya yang jatuh berhamburan tanpa henti.

"R-rose?" ucapku panik, ganti mencengkram bahu gadis itu. Bukannya menjawab, Rose malah menghambur kepadaku, memeluk erat tubuhku.

"Pete... aku takut," katanya di antara isak tangis. Dekapannya semakin kencang, membuatku sedikit sulit bernapas.

Tidak tahu harus membalas apa, aku pun memutuskan untuk menjawabnya dengan belaian di rambut ikalnya. Tanganku yang satu lagi kugunakan untuk mengelus-elus punggung gadis itu, berusaha membuatnya tenang kembali.

Perlahan, tangisnya mulai hilang. 

Aku mendekap Rose lebih erat. Kucium kening gadis itu. Kulepas dekapanku dan sekali lagi aku bertanya padanya, "Apa yang terjadi?"

Ia hanya menggeleng pelan dan kembali menenggelamkan wajahnya ke dadaku. 

Meski sudah bersama dengan gadis bermata abu ini selama kurang lebiih satu minggu, aku hanya mengenal sosoknya yang sedang tersadar bahkan tidak lebih dari setengah hari. Pengetahuanku tentang Rose nihil. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Karena aku tidak mengerti harus berbuat apa.

***

Aku menidurkan Rose di atas sofa yang berada di kamarku. Aku berjongkok di sebelahnya dan kulihati wajah polosnya. Gadis itu mungkin lelah menangis, sampai-sampai ia tertidur di pelukanku. 

The Red MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang