Alenna Vasiliev
***
Pagi hari ini aku perlu mengeluhkan satu hal; hujan. Ya, di bulan November seperti ini memang sudah seharusnya musim hujan. Tapi bolehkah aku membenci hujan? Kedengarannya tidak mensyukuri, tapi itulah aku. Benci hujan, benci sepatu basah ketika terkena airnya, benci ketika aku harus memakai payung, dan benci ketika demam setelah hujan-hujanan.
Tapi kali ini mungkin aku perlu bersyukur, karena kemarin sehari penuh aku merasa kegerahan. Mungkin bukan hanya aku, banyak orang juga mengeluhkan hal yang sama. Panas matahari yang naik suhunya itu mau tak mau membuat banyak orang berdecak kesal, dan menginginkan hujan turun untuk menyejukkan tubuh mereka.
Ah, lupakan tentang hujan. Karena sekarang hujannya sudah mereda dan aku bisa sedikit berlari memasuki gedung tinggi dan besar di depanku.
SMA Persada Harapan adalah tempatku menuntut ilmu. Sekolah swasta yang terkenal elite di kota ini. Bukan main-main masalah keindahan bangunannya, aku sendiri bisa mengacungkan empat jempolku. Prestasi yang selalu diraih pun juga tak pernah mengecewakan. Selalu unggul dalam bidang apapun.
Oh ya, namaku Alenna Vasiliev, akrab dipanggil Nana oleh kerabat maupun teman dekatku. Aku kelas XI IPS. Aku anak dari dua bersaudara. Ayahku, Ikhzan Vasiliev berprofesi sebagai pengamat politik. Dulunya beliau bekerja sebagai wartawan, namun memilih pensiun muda karena lebih memilih hobinya yang bisa dikembangkan tersebut.
Ibuku, Nia Vasiliev hanya seorang ibu rumah tangga, dulunya menjadi model. Tapi berhenti karena harus mulai merawat kami –keluarganya. Tapi sesekali kulihat, ibuku menandatangi kontrak untuk pemotretan.
"Alenna!"
"Ya, Miss Ann?" aku berjalan menghampiri wanita yang hampir kepala empat di belakangku. Dia guru Bahasa Jerman yang cantik. Umurnya memang sudah hampir kepala empat, namun siapa sangka wajah awet mudanya itu mampu menipu siapa saja. Bahwa ia terlihat seperti remaja diumur 20 tahun.
"Jangan lupakan lomba nanti siang ya, kamu harus menemuiku di ruang guru. Lalu aku akan mengantarmu ke tempat perlombaan."
"Baik, Miss."
Miss Ann tersenyum sebelum ia melangkah pergi meninggalkanku. Ya, hari ini memang jadwalku mengikuti lomba pidato Bahasa Jerman. Sejak kecil memang aku sudah menyukai bahasa itu, setelah bahasa Rusia. Tentu saja. Entahlah, bahasa kedua negara itu lebih unik bagiku, dibandingkan bahasa lainnya.
"Nana!!!"
"Astagfirullah!" pekikku kaget. Bagaimana aku tidak terkejut, ada seseorang yang memanggil namaku dengan suara cemprengnya, disertai tepukan di bahu. Tanpa kutolehkan kepalaku saja aku sudah tahu siapa yang melakukannya.
"Kamu tau nggak sih kalo pagi ini ada jadwalnya Bu Mella?"
Inilah kebiasaan buruk sahabatku. Suka sekali muncul tiba-tiba dan memberondong dengan perkataan apa saja yang membuatku kesal setengah mati. Sudah sering, sih seperti ini. Tapi jangan salahkan aku juga yang sering kaget. Meskipun begitu, dia tetap sahabat yang kusayangi.
"Kenapa emangnya?"
DUK!
"Aww, apaan sih, Ren? Sakit nih kepalaku," dasar Rena! Nggak pernah tau adat kesopanan dan tingkah laku sebagai cewek. Dia memukul kepalaku yang tak bersalah ini. Dan oh Tuhan! Apa salahku hingga ia terlihat kesal begitu? Harusnya aku yang marah mengenai kebiasaan buruknya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Become WORLD WAR III
Historical Fiction2035. Awal mula kehancuran dunia saat tak ada lagi manusia percaya akan media dan bukan lagi acuan berita, hanya cemooh yang sekedar menjadi topeng dari kelicikan suatu oknum, organisasi bahkan sebuah negara yang ingin melancarkan strategi public mi...