History Drowned

149 34 26
                                    

Alenna Vasiliev

***

          Orang-tua memang seharusnya cerewet untuk kebaikan anak-anaknya. Iya, kan? Aku menyetujui hal itu. Tapi di sisi lain aku sangat kesal karena sedari tadi ibuku tidak berhenti mengomel. Alasan klise; aku tidak bisa memasak.

          "Nggak bisa, Bu. Aku aja takut sama kompor," sungutku ketika tangan ibu terus menarikku ke dapur. Tapi aku berkali-kali menolak, meronta tak ingin ikut dengannya.

          Bagiku, kompor itu jauh lebih buruk dari tulisan tanganku yang jelek. Aku tak suka api! Tak suka terkena percikan minyak ketika memasak. Huh, menyebalkan!

          "Sayang, mau sampai kapan kamu nggak mau berlatih? Kamu ini udah dewasa, udah sepantasnya kamu memasak. Itu kodrat wanita, Lenna!" ucap ibuku gemas. Sedangkan aku hanya menurutinya dengan bibir mengerucut.

          Dengan ketidak relaan hatiku, tanganku tak henti-hentinya memotong wortel dengan kasar, menimbulkan bunyi nyaring yang membuat ibu menghadapku geram. "... Kalo kamu masih cemberut gitu, Ibu bilangin ke Ayahmu. Biar nggak dibeliin miniatur kapal perang."

          Setelah berkata begitu beliau segera membalikkan badan, berjalan menjauh tapi tangannya segera kuraih. Menatapnya dengan pandangan memohon. Mungkin aku akan menahan kekesalanku sepanjang memasak, supaya ibu tak jadi lapor pada ayah kalau aku tidak mau memasak.

          "Janji, deh Nana nggak kesel lagi. Tapi jangan lapor Ayah ya, Bu. Ya ...," aku mengedip-ngedipkan kedua mataku, berharap ibu luluh.

          "Bener?"

          "Iya!"

          "Oke. Tapi Ibu bakalan awasin kamu di sini. Kalo kamu cemberut lagi, Ibu nggak akan main-main buat bilang sama Ayahmu."

          "Hm."

          Aku pasrah. Mau bagaimana pun caranya aku tetap akan melaksanakan pelatihan sial ini, karena ibuku adalah orang yang suka menghalalkan berbagai macam cara.

***

          "Hahhh!!!"

          Aku menghembuskan napas keras saking leganya. Akhirnya aku terbebas dari neraka dunia yang paling menakutkan itu. Bayangkan saja! Apron baby blue yang menjadi apron favoritku ini, kini berubah jelek ketika minyak goreng mencipratinya saat aku menggoreng telur. Dasar telur sialan! Jika saja aku tak ingat janjiku pada ibu, aku mungkin tidak akan menahan dumelanku.

          "Assalamu'alaikum."

          "Wa'alaikumsalam."

          Aku menjawabnya dengan lirih. Bahkan tak berniat mengucap salam dari ayah. Mulutku sudah gatal ingin sekali mengumpat masalah kompor, jadilah aku hanya komat-kamit tanpa mengeluarkan omelanku. Hal itu membuat ayah terkekeh geli.

          "Apa yang putri kita lakukan, dear?"

          "Biarin aja. Dia lagi tumbuh dewasa."

          Kulihat ibu menggamit lengan ayah, dan membawa pria paruh baya itu keluar dari dapur. Hah, syukurlah! Sekarang aku bisa mengomel bahkan mengamuk sepuasku. Karena kau pasti tahu kalau ibuku sedang bersama ayahku, dan sudah dipastikan bahwa mereka tidak ada di sini.

          PRANG!

          BRAK!

          DUKK!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 16, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Become WORLD WAR IIITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang