Greensleeves

99 1 3
                                    

     Hari itu mentari bersinar cerah, menembus rerimbunan daun yang mulai menghijau satu-satu. Angin bertiup sepoi-sepoi dan udara terasa sejuk. Tidak ada mendung bahkan hujan sekalipun. Ramalan cuaca mengatakan bahwa hari itu akan menjadi hari yang cerah sampai akhir.

     Hari itu, di bawah kilauan matahari di atas bumi, aku menjumpainya. Dia berdiri di seberang zebra-cross menunggu lampu isyarat pejalan kaki berwarna hijau. Sebuah headset melintang menyambungkan ponsel di sakunya dengan kedua telinganya yang hampir tertutup rambut-rambut halus. Sebuah lagu klasik mengalun dari dalam sana, kurasa. Aku tak mampu mendengarnya bahkan mengetahuinya walau sedikit. Aku hanya menyimpulkan atas observasi singkat yang baru saja kulakukan.

     Bola matanya berwarna senada dengan batu onyx yang pernah kuketahui informasinya lewat internet. Kelopak matanya terbuka dan tertutup dengan teratur. Pandangannya sayu dan menenangkan. Nafasnya ringan dan langkahnya santai. Bukankah orang-orang demikian tidak mungkin sedang mendengarkan musik rock?

     Aku memang tidak pernah mengenalnya. Tidak tahu siapa namanya, dari mana datangnya dan akan kemana perginya sosok itu. Itu adalah kali pertama aku melihatnya. Tapi, aku merasa seperti sudah mengenalnya cukup lama. Entahlah.

     Di seberang zebra-cross dia menunggu untuk waktu yang lama. Detik jam berjalan sangat lambat dari biasanya. Aku juga menunggu di seberang sini. Bukan menunggu lampu isyarat sepertinya. Aku hanya sedang menunggu dia.

     Aku keluar dari rumah dengan tanpa tujuan. Kemudian aku menemukan tujuanku meski sekelumit. Aku ingin melihatnya lebih dekat. Boleh?

     Masih di seberang sana, dia membenarkan letak headsetnya yang mulai miring. Setelah itu dia merapatkan sedikit resleting jaket hijau yang sedang dikenakannya. Mungkin suhu mulai turun beberapa derajat, aku tidak tahu pasti. Yang kutahu ini masih awal pergantian musim dingin ke musim semi.

     Lampu lalu lintas berganti merah dan lampu isyarat pejalan kaki menyala dengan warna sebaliknya. Kaki kirinya melangkah lebih dulu sebelum kaki kanannya. Langkahnya mantap, tapi tetap ringan. Kedua kakinya menapaki satu-satu garis putih di atas aspal. Dia tidak terlihat terburu-buru.

     Aku melangkah tiga kali dari tempatku semula. Dia tampak semakin dekat, hampir mencapai pertengahan zebra-cross. Aku kembali menepis jarak di antara kami berdua. Dia masih melangkah, mengabaikan keberadaanku yang semakin mendekat.

     Sejenak dia berhenti untuk menyingkap sedikit lengan hijau jaketnya. Mungkin tangannya terasa panas. Aku kadang melakukannya juga, tapi tidak sering.

     Dia kembali melangkah. Jarak kami semakin dekat. Aku hampir sampai di dekatnya. Ya, sedikit lagi.

     Aroma olive fragrance menyeruak ketika kami bersimpangan. Aku melihat kedua matanya melirik padaku meski sebentar. Musik klasik dari Mozart berjudul Greensleeves terdengar samar-samar ketika aku mempertajam pendengaranku. Aku benar. Dia memang sedang mendengarkan musik klasik dan aku mengenali musiknya. Kadang aku merasa bahwa memperhatikan orang lain terlalu lama seperti ini akan sedikit mengganggu. Tapi, aku tidak peduli. Karena kurasa aku mulai menyukainya.

     Brakh!

     Aku tidak tahu apa yang salah denganku atau apa yang salah dengannya. Ketika aku menengok ke belakang dimana ia baru saja melewatiku, aku tak menjumpai sosoknya berdiri di sana lagi. Langkahnya yang mantap tak terlihat sama sekali. Aku hanya melihat sebuah mobil berhenti di tengah-tengah zebra-cross dan seonggok manusia di atas trotoar jalan dengan darah meluber dari puncak kepalanya yang bocor.

     Matanya menatap kuat ke arahku tanpa berkedip meskipun sedikit. Dadanya tidak lagi naik turun untuk bernafas. Headset di telinganya sudah berpindah di sisi kanan trotoar dan jaket hijau miliknya sudah tak hijau lagi bersimbah darah. Olive fragrance yang baru saja terkuar dari tubuhnya melenyap pelan-pelan berganti aroma anyir dari darah yang enggan berhenti meluber.

     Apa yang salah, haruskah aku bertanya pada Tuhan?

     Aku hanya menebak-nebak tentang dirinya. Ya, baru saja sebelum mobil itu merampas nyawa manusia yang begitu berharga tersebut. Ketika aku ingin tahu tanpa menebak-nebak lagi, kenapa Tuhan mengambilnya di depan mataku?

     Lututku gemetar, tidak tahu rasa sakit apa yang kini tengah merayapi tubuhku. Klakson-klakson kendaraan bermotor menghujani indra pendengaranku. Tapi, yang jauh lebih kuat terdengar dalam telingaku adalah suaranya yang pertama dan terakhir kali kudengar.

     “Greensleeves...”

     Tubuhku terus melemas hingga kedua kakiku tak lagi mampu menopang tubuhku. Aku terhuyung ke atas aspal jalan yang kasar. Terasa panas pada tubuh dan wajahku. Aku masih terpaku di atas bumi. Kedua mataku terus menyelami kedua matanya yang masih menatapku tajam. Sambil berlinang air mata, aku hanya sanggup mengungkap satu kalimat padanya.

     “Selamat jalan...”

     Pandanganku meremang dan menggelap. Hanya hitam yang kulihat setelah itu.

The End

GreensleevesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang