Going Under

106 16 4
                                    

Bayi itu menangis.

Satu - satunya suara di dalam kegelapan yang sunyi dan pekat.

Telingaku berdenging, kakiku goyah, tubuhku masih beradaptasi dengan rasa melayang sehabis terguling begitu lama. Aku tahu bayi dalam pelukanku sedang menangis sekencang - kencangnya. Aku dapat merasakan tubuh mungilnya mengujur dan mengejang dalam upaya menghabiskan seluruh udara yang ada di dalam paru - parunya untuk mengungkapkan trauma yang ia alami. Tapi bagiku, suara itu seperti sebuah film bisu.

Reiss, fokus! Kutegur diriku sendiri.

Ugh. Otakku tidak mau diajak kerja sama, terbuai dalam nyamannya kegelapan dan kesempatan untuk mengistirahatkan otot - otot yang babak-belur. Selain itu, kurasa, sebelah kakiku mati rasa. Aku tidak mampu memerintahkan syarafku untuk bekerja, untuk bangun dan melanjutkan misiku. Misi? Apa itu?

Sumpah serapah yang familiar menghampiri telingaku. Tak berapa lama kemudian, sebuah lampu senter dinyalakan.

"Dimana lampu tempat ini? Dasar anak - anak pemalas! Mengurus lampu saja tidak becus," Ia mengomel. "Sudah kubilang untuk menaruh kasur dibawah terowongan. Mana kasurnya?! Lihat saja kalau ketemu. Akan kubuat mereka menyesal telah dilahirkan...."

Gerutuan itu terus berlanjut hingga lampu senter yang ia pegang jatuh di atas wajahku. Otomatis tanganku terangkat berusaha menutupi mata yang silau. Ocehannya terhenti, digantikan oleh kesunyian yang abnormal. Terlalu sunyi.

Terdengar desahan panjang dari dalam kegelapan.

"Sial!" Akhirnya ia mengumpat. Aku hampir yakin ia menyesal telah menyelamatkanku.

"Buat anak itu diam, bisa tidak?!"

Perkataannya itu memicu amarahku. Dia bukan anakku! Hampir saja kuteriakkan hal itu. Tapi, rasa kesal itu menyulut otakku untuk kembali bekerja. Dan aku menahan lidahku, teringat oleh pesan Putri Selenia.

Tidak boleh ada yang tahu identitas kami. Kalau ia pikir bayi ini adalah anakku, biarkan saja. Semakin sedikit informasi yang ia ketahui tentang kami, semakin aman bagi kami.

Kupaksa tubuhku untuk bangun. Tulangku berderak - derak, aku yakin tengah mendengar mereka menjerit. Semua ini mengingatkanku pada latihan militer di Apollo. Tapi, tidak pernah sebrutal ini. Paling tidak, di Apollo, aku tidak pernah kelaparan atau kedinginan dalam waktu yang lama. Dua hari? Tiga hari? Seminggu? Kehidupanku di Benteng Apollo terasa seperti memori usang.

"Tidak bisa!" jawabku tanpa menyembunyikan kekesalan.

"Ibu macam apa kau?!" Lagi - lagi ia mencemooh.

Maaf, mengecewakanmu, tapi aku bukan seorang ibu. Tidak pernah merencanakannya, bahkan memikirkannya pun tidak. Tujuan hidupku hanyalah bertahan hidup hingga besok, dan bila mungkin, menyelesaikan misi ini. Selain itu, apa kau tahu sudah berapa hari bayi ini menjerit di depan kupingku?! Tidak terima kasih. Aku tidak akan pernah menjadi ibu bagi siapapun. Batinku pahit.

Ia menyorotkan senternya seperti mencari sesuatu, memberiku kesempatan untuk mengamati tempat ini. Sebuah ruangan kosong. Tiga hal yang ada disini hanyalah hilir lubang menganga tempat kami terperosok tadi, sebuah bola lampu mati di atas kepala kami, dan sebuah pintu besi. Di bawah sepatuku adalah lantai cor. Aku tidak bisa melihat warna. Mungkin tidak ada warna di sini.

"Ikut aku!" perintahnya dengan masam.

"Kemana?"

Ia tidak menjawab. Ia menghampiri pintu itu dan memasukkan sebuah kode ke dalam kotak kecil di sampingnya sambil memunggungiku. Aku memutar bola mata. Sok misterius sekali. Memangnya ini tempat apa sih? Persembunyian rahasia gelandangan?

The TravelersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang