Bargain

131 10 1
                                    

Di dalam bayang kegelapan aku bersembunyi. Pegal mulai merayapi lenganku yang dibebani sekelumit bayi tidur, hingga kakiku bergerak ke kanan dan ke kiri untuk mengusir kebas.

Setengah jam sudah aku berada di sini, mengawasi semua aktivitas yang terjadi di depan pintu besi tebal yang baru dua hari lalu kulalui bersama Kaizer dan Klaus. Dua orang penjaga bersenjata lengkap berdiri disana sambil mengobrol.

Tak lama kemudian, serombongan kecil orang mengenakan parka datang. Pasti ini grup yang dimaksud oleh Arenei. Ia memberitahu bahwa setiap dua minggu sekali Orion mengirimkan beberapa orang keluar untuk mengambil jatah suplai makanan dan amunisi dari Aquila, yang ia sebut sebagai pos terdekat. Kedua penjaga itu memberikan ketiga orang itu senjata dan amunisi, yang mereka ambil dari dalam brankas yang terletak di dalam tembok, sebelum mengirimkan mereka keluar.

"Reiss!"

Panggil suara bariton yang familiar. Celaka! Andre! Setelah berduel dengan Kaizer kemarin, aku telah meninggalkannya tanpa penjelasan. Parahnya lagi, aku berlari meninggalkan tempat itu layaknya kriminal, mengira seisi tempat ini akan memburuku saat itu juga. Tindakan bodoh, aku tahu. Tapi saat itu aku terlalu syok untuk berpikir panjang.

Aku yakin Andre akan mempertanyakan keidiotanku kemarin. Bagaimana ia bisa menemukanku di bawah bayangan tumpukan peti kerat terbengkalai ini aku tak tahu. Aku yakin sudah menyembunyikan diriku dengan sebaik-baiknya.

Andre melangkahkan kakinya yang panjang dengan pasti ke arahku. Senyum miring tersungging di bibirnya saat mata kami bertemu.

"Apa yang kau lakukan disitu, Reiss?"

"Uh.... Mencari ikat rambut. Kayaknya tadi menggelinding ke sekitar sini...".

Andre menatap bingung. Tentu saja, sialnya, ikat rambutku masih bertengger manis di belakang tengkukku.

"Maksudku.... ikat rambut cadangan! Aku selalu menyimpan ikat rambut cadangan. Supaya.... Supaya aku punya gantinya kalau yang ini terjatuh. Karena.... Karena aku tak suka kalau rambutku tidak diikat.... "  Kusadari aku bertingkah seperti orang idiot. "Kau mencariku?" Tanyaku berdehem.

"Ah, ya.... Sebenarnya Arenei mencarimu. Ia mau bermain dengan Rio, katanya. Aku hanya menawarkan diri untuk membantu."

"Oh, oke. Dimana Arenei?"

Gadis itu senang bermain dengan Rio dan aku memanfaatkan waktu itu untuk mandi. Aku tahu tak seharusnya meninggalkan Rio dengan begitu mudah pada orang asing, tapi Arenei kelihatan sangat keibuan dan ia selalu membuat Rio tertawa. Lagipula, aku tak meninggalkan mereka lama.

"Dia menunggu di depan kamarmu. Ngomong-ngomong, kamu kenapa kemarin, Reiss?" Tanya Andre.

Oh, sial! Ini dia pertanyaan yang kutakutkan. Pikir! Sebuah suara di balik otakku yang blank berseru.

"Sakit perut.... " Bibirku bergerak sendiri tanpa diperintah.

Mata cowok itu menyipit tanda tidak percaya. Tapi aku menatapnya lurus, menantangnya untuk mengomentariku, meskipun aku yakin pipiku merah padam. Sakit perut?! Apa kau tidak bisa memikirkan alasan yang lebih bagus??

Andre tersenyum kecil, nampaknya sadar ia tak bisa mengorek apa-apa lagi dariku dan memutuskan untuk membiarkan topik itu berlalu. Syukurlah. Aku selamat, untuk sementara. Anehnya, yang paling membuatku lega adalah karena ia tidak menertawaiku. Aku tak tahu mengapa aku sangat mengkhawatirkan apa yang ia pikirkan tentangku.

Setelah meninggalkan Rio di dalam pelukan Arenei, aku berjalan menuju bilik mandi. Udara di bawah sini kian hari terasa semakin dingin. Orang-orang yang berlalu lalang mulai mengenakan jaket tebal. Apakah musim dingin akan segera tiba? Pikirku cemas. Berasal dari daerah beriklim tropis, aku tak biasa dengan udara dingin menusuk tulang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 09, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The TravelersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang