Busted!

99 11 2
                                    

Revforce. Jam tangan yang dilengkapi radar. Beberapa balok gandum. Botol berisi air minum. Remote control pesawat. Aku tak membutuhkan benda itu lagi, mengingat pesawatku sudah ringsek....

Aku duduk merenung sambil mengamati benda-benda yang terhampar di atas tempat tidurku itu. Tinggal peluru yang kubutuhkan untuk melanjutkan perjalananku. Aku telah menghabiskan sebagian besar peluru yang kumiliki untuk melindungi Putri Selenia di Apollo.

Dan sebuah jaket tebal. Koreksi, sebuah jaket tebal ukuran dewasa dan satu lagi ukuran mini.

Hanya ada satu lagi masalah kecil. Aku tak punya kode yang dibutuhkan untuk membuka berlapis-lapis pintu keluar yang melindungi tempat ini....

Aku mulai melangkah mondar-mandir di dalam kamarku yang sempit. Roda otakku berputar mencari cara untuk mendapatkan itu semua. Aku tak ingin mencuri dari orang-orang ini. Mereka sudah menolongku dan mereka juga nampaknya tak mempunyai banyak harta. Lalu bagaimana dengan kode itu? Apakah aku bisa memintanya dari Arenei? Bagaimana kalau dia curiga?

Sambil mendesah berat, kukumpulkan kembali semua benda itu ke dalam buntalan kain yang kusembunyikan di bawah ranjang. Kuharap ada cara lain untuk mendapatkan semua kebutuhanku tanpa mencuri atau mengkhianati kepercayaan mereka semua.

Apa sih masalahnya? Bukannya kau sudah membohongi mereka sejak awal. Hati kecilku berkata.

Tidak. Aku tak akan mencuri atau berbohong kalau benar-benar terpaksa!

Suara langkah kaki dan percakapan terdengar dari balik tirai seadanya yang membatasi kamarku dengan area publik. Aku telah menutup rapat tirai itu, namun kekhawatiran bahwa seseorang akan menerobos masuk membuatku harus waspada setiap saat. Insiden di kamar mandi kemarin sampai kini masih membuatku ingin menggali lubang dan bersembunyi disana selamanya.

Rio berbaring di sebelahku sambil bermain dengan sepotong balok gandum. Ia menggigiti makanan yang keras itu dengan penuh semangat. Air liur membanjiri dagunya. Menjijikkan, pikirku sambil meringis.

Disinilah aku, baru 17 tahun tapi sudah bisa mengganti popok dan membuat bubur bayi dengan lihai. Ironis. Aku tak pernah menyangka hidupku akan jadi begini. Sebagai seorang prajurit, seharusnya pekerjaanku adalah membunuh musuh, bukan menjaga bayi. Misi ini adalah misi paling menyedihkan di dunia.

Berhenti mengasihani dirimu sendiri, Reiss!

Tapi aku tetap merasa gelisah. Kalau di Apollo, pada jam segini biasanya aku sedang berlatih. Tubuhku membutuhkan sarana untuk melampiaskan seluruh energi berlebihan dan kekhawatiran yang kupendam.

Kuraih Rio beserta tudungnya dari atas tempat tidur dan melangkah keluar. Udara dingin menyergap kulitku setelah meninggalkan kamar berpemanas ruangan. Beberapa orang nampak berlalu-lalang, tapi mereka menghiraukanku. Meski demikian, aku yakin mereka telah mendengarkan desas-desus tentang diriku.

Tak banyak orang tinggal disini. Mungkin hanya sekitar seratus jiwa. Tapi tak pelak hal itu membuatku bertanya-tanya apakah hanya segelintir orang ini yang tersisa dari Archos ataukah ada lebih banyak lagi di antara mereka yang tinggal di bawah tanah? Aku yakin masih banyak lorong di luar sana yang tidak kuketahui. Kemana mereka semua menuju?

Aku berbelok dan tiba-tiba menabrak sesuatu yang keras. Tanganku otomatis berusaha melindungi Rio dari benturan. Tapi terlambat. Bayi itu sudah menangis.

"Maaf!" Kata suara bariton yang familiar. Aku menengadah dan mendapati semburat hangat menaiki kedua pipiku.

"Biasanya aku tak seceroboh ini. Aku juga heran mengapa aku jadi begini tiap kali bertemu denganmu," Ujarnya sambil tersenyum menggoda, membuat jantungku berdebar.

The TravelersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang