Outro

1.3K 53 8
                                    

Hujan deras mengguyur bumi. Si bayi menangis tanpa henti. Atap seng tipis di atas kepala kami membuat rintik air hujan terdengar seperti letupan granat yang datang bertubi-bertubi.

Aku memelototi bayi yang menjerit seperti kesetanan di sampingku dengan benci. Aku sudah berusaha membekap kedua telingaku tapi bunyi berisik di sekelilingku sama sekali tidak mau diam. Hujan, aku bisa memaklumi. Aku tidak punya kuasa atas hujan. Tapi anak manusia sialan ini! Meskipun masih kecil, seharusnya dia mengerti apa arti api kemarahan didalam sorot mataku. Tapi apa yang dia lakukan? Malah menangis semakin kencang, seolah - olah aku berniat membunuhnya.

"DIAMM!" Aku berteriak kesal. Ingin aku membekap mulut kecilnya yang tidak mau menutup, tapi aku khawatir dia akan mati kehabisan napas. Anak bayi itu terlihat sangat rapuh.

"Dia lapar dan kedinginan...," Gumam sebuah suara parau dari bawah bayang-bayang di sudut ruangan. Jantungku berhenti berdetak. Aku tidak menyadari ada orang lain selain aku dan bayi dari neraka ini disini. Otomatis tubuhku berputar menghadap asal suara itu. Benar saja, ada seorang pria berbaring disitu! Tubuh dan pakaiannya yang kumal hampir tidak bisa dibedakan dengan tumpukan rongsokan yang memenuhi tempat yang kutumpangi untuk berteduh ini. Itulah sebabnya aku tidak menyadari kehadirannya.

Pria itu berbaring di atas sebuah kasur kecil. Sebagian tubuhnya tersembunyi dibalik tumpukan mesin -mesin tak terpakai dan berkarat. Setelah kuperhatikan, hampir keseluruhan wajahnya tertutupi rambut kotor yang awut-awutan.

Panik datang menghampiriku.

Jangan biarkan seorang pun melihatmu....

Pesan Putri Selenia terngiang di dalam benakku.

Aku sudah berusaha menjauhi kerumunan orang ramai. Aku selalu mencari tempat tak berpenghuni untuk bermalam. Tapi apalah daya, dunia dipenuhi dengan manusia. Di setiap sudut bangunan terbengkalai, hutan dan bahkan perahu yang ditambat di pelabuhan, selalu ada manusia berdiam disana, tidak peduli betapapun kerasnya upaya kaum Xenolyth terkutuk itu untuk memusnahkan mereka semua. Ada dimana-mana dan terlalu keras kepala untuk punah, layaknya lipas.

Ditambah lagi, kehadiran bayi dari neraka yang tidak mau berhenti menangis ini sama sekali tidak memperbaiki peluangku untuk menjalankan misi ini dengan selamat.

Tangan kananku turun menuju area pinggang, siap meraih pistol kecil yang kusembunyikan di balik bajuku kalau gelandangan ini berani macam -macam.

"Ck ck ck... buat apa bikin anak kalau tidak mau diurus...." Pria gelandangan itu menggeleng - gelengkan kepala dan menatapku hina-dina.

"Dasar perempuan jaman sekarang...."

Rasa kesalku melesat ke ubun-ubun. Berani benar gelandangan kumal bau ini menuduhku tanpa dasar! Aku bisa membunuhnya dalam waktu kurang dari dua detik. Satu detik untuk menarik pistolku dari sarungnya dan satu detik untuk menarik pelatuk. Satu tembakan di kening dan tamat riwayatnya. Tapi aku tidak mau membuang-buang peluru.

"Beri dia ASI, anak bodoh!" Geram si gelandangan, tak pelaknya terganggu dengan tangis si bayi yang semakin menjadi.

Aku menghiraukannya dan duduk di atas lantai, memutuskan gelandangan ini bukan ancaman. Lagipula, aku tidak mau membuang waktu dan energi untuk meladeni seorang gelandangan idiot. Kalau payudaraku mampu memproduksi ASI, sudah dari tadi kususui bayi ini kalaupun hanya demi membebaskan gendang telingaku dari penderitaan yang mereka alami dibawah tirani makhluk cebol ini. Sayang sekali aku bukan ibunya, ibu tiri pun bukan.

Mataku mengawasi monster kecil di sampingku menggeliat - geliat keluar dari tudungnya yang tebal dan sekaligus berfungsi sebagai selimut dan alas tidur. Lihat, dia bahkan punya selimut dan kasur yang empuk sementara aku harus tidur di lantai dengan baju lembab dan perut keroncongan! Dan bayi kurang ajar ini masih berani protes?! Meskipun begitu, harus kuakui, bayi mungil ini punya semangat. Sudah hampir satu jam dan bukannya kelelahan tangisnya malah makin kencang.

"Demi Tuhan! Kau lebih parah dari ibuku! Perempuan nista itu melahirkanku dan menggebukiku setiap hari, tapi paling tidak dia tidak membiarkanku mati kelaparan...." Si gelandangan masih saja merecokiku. Aku meletakkan kedua lengan diatas lutut dan meletakkan kepalaku disana. Sudah dua hari aku tidak mendapat cukup tidur. Semua bunyi berisik disekelilingku membuatku merasa seperti bom atom yang siap meledak.

Hari ini menginjak malam kedua semenjak hidupku mengalami perubahan drastis. Rasanya tidak percaya tiga hari yang lalu aku masih tinggal bersama teman - temanku di akademi tentara Apollo. Dan sekarang, aku tidak lagi punya tempat untuk kembali. Tanpa rumah, tanpa harta.... Bukannya aku kaya. Satu - satunya rumah yang kukenal hanyalah akademi, dan harta yang kumiliki hanyalah apa yang ada di dalam kamarku disana, benda-benda kecil yang bagi sebagian besar orang mungkin tidak ada harganya; foto kedua orang tuaku yang sudah wafat, medali yang kuperoleh dari lomba menembak ketika aku masih level sembilan.... Benda - benda semacam itu. Semuanya kini lenyap tak bersisa.

Baru dua hari yang lalu Geralt, guruku, aku, dan Putri Selenia beserta pelayan pribadinya bertemu untuk mendiskusikan misi rahasia Geralt. Aku merasa penuh semangat. Geralt telah mempercayai aku, AKU, yang baru level dua belas di akademi untuk menjadi rekannya pada misi kali itu. Dan tiba - tiba, bunyi ledakan berkumandang di udara. Hiruk pikuk memenuhi Apollo. Benteng Apollo yang kokoh telah ditembus musuh di malam buta.

Geralt menyuruhku mengangkat senjata sementara kami mengawal Putri Selenia yang panik menuju kamar putranya yang masih bayi. Aku bahkan tidak bisa ingat detik - detik pertama kalinya aku membunuh. Geralt menyuruhku berjaga - jaga di belakang. Panik, aku menembak apapun yang bergerak. Hanya insting lah yang mencegahku menembak rekan-rekanku sendiri. Aku sendiri heran bagaimana aku bisa selamat. Aku merasa seperti orang mabuk: melihat, mendengar, tapi otak berganti kapas.

Tiba - tiba saja kami sudah tiba di dalam sebuah ruangan gelap, dan Putri Selenia meletakkan seorang bayi ke dalam pelukanku.

"Jaga anakku, Reiss...." Katanya sambil berlinang air mata. "Jangan sampai seorang pun tahu dia masih hidup...."  

Aku hanya mengangguk bak robot. Kami meluncur keluar dari Apollo dengan pesawat infiltrasi. Mendarat di tempat yang seratus tahun lalu dinamakan Kanada. Kini hanya berupa puing-puing sisa kebengisan Xenolyth. Terbang menempuh jarak lebih dari tiga belas ribu kilometer hanya dalam waktu satu jam. Pertama kalinya aku mengendarai pesawat infiltrasi dan aku bahkan tidak merasakan apa-apa. Hanya syok. Sementara bayi di dalam pelukanku mulai rewel.

Beberapa jam kemudian, kudengar melalui siaran radio bahwa Benteng Apollo sudah rata dengan tanah.

The TravelersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang