Passion part 4
"aku benar-benar tak yakin bisa menjalankan rencana ini"
Myungsoo menatap jiyeon, matanya memancarkan kilat yang menyeramkan "kita sudah sepakat"
"ya" jiyeon menjawab purau, tahu jika dirinya kini telah terperangkap. Jika ini satu-satunya cara untuk mencegah foto tersebut dipublikasi, berarti dia tidak punya pilihan lain.
Perjanjian..perjanjian..perjanjian..
Dia membuat perjanjian dengan iblis, dan sekatang dia harus menerima resikonya.
**********************
Jiyeon melepaskan sepatunya menggunakan ujung jempol kakinya dengan perasaan lega, lalu ambruk dikarpet berbulu halus didalam Penthouse "Bagaimana bisa wanita-wanita itu berjalan dengan benda itu?" menatap langit-langit, dia mencoba menggerakkan jemari kakinya yang terasa sakit dengan hati-hati "Kakiku rasanya habis dimakan hiu"
"Jika kau lelah berbaringlah di sofa" myungsoo berhenti mengetik smsnya, matanya cemerlang meyorot keheranan
"aku tidak bisa bergerak sejauh itu, aku sudah tak bisa berjalan lagi" jiyeon mengerang panjang dan meregangkan kakinya yang sakit "kau tidak akan bisa merasakannya, karena kau belum pernah memakai alat penyiksa itu"
Myungsoo memutar bola matanya jengah, memasukkan ponselnya dan seketika membopong jiyeon yang ternga-nga "apa yang kau lakukan?"
"memindahkanmu ketempat yang lebih layak" ucapnya kemudian membaringkan tubuh jiyeon keatas sofa yang besar
"oh..ini lebih baik, terima kasih myungsoo" jiyeon berguling menyamping dan memejamkan matanya, berusaha tidak memikirkan bagaimana rasa tangan pria itu menyentuh kulitnya dan berpikir betapa kuatnya pria itu.
"Kebanyakan wanita menganggap belanja sebagai pengisi waktu yang menyenangkan" ucap myungsoo mencoba memulai percakapan
"ya bisa dibilang seperti itu, tapi bagiku itu hanya pemborosan dengan menghambur-hamburkan uangmu yang telah dengan susah payah kau dapatkan kemudian kau melemparnya hanya demi barang-barang yang tidak perlu, itu sangat konyol" menguap, jiyeon bergelung ketumpukan bantal-bantal sofa yang lembut dan empuk, mengatur posisi tubunya sampai dia mendapatkan tempat yang nyaman
"Aku hanya heran denganmu, dengan segala banyak model dan jenis pakaian yang ditawarkan berbagai butik yang telah kita masuki tadi, kau sering sekali mengatakan tidak. Aku pikir rencanamu kita pergi berbelanja itu supaya bisa dilihat orang-orang, bukannya malah membuatku mengalami gangguan saraf"
Myungsoo terkekeh kecil "aku hanya mencoba mencari pakaian yang membuatmu berpenampilan antara "baik-baik" dan "seksi"
"kenapa aku harus terlihat seksi?"
"karena kau harus terlihat seperti wanita yang biasa aku kencani"
Tertohok komentar tersebut, jiyeon terdiam seperti patung "kau sadar tidak, betapa melecehkannya dirimu? Sesekali memikirkan perasaanku kan tidak apa-apa, jika tidak, mungkin aku akan mencampakkanmu jauh sebelum drama ini seharusnya berakhir. Dan sebenarnya berpakaian seperti apapun aku tak masalah kan? Memangnya kita mau kemana, sampai kau pusing harus mencarikan aku pakaian seperti yang kau inginkan?"
"Kau bahkan tak mengijinkan aku melihat keluar jendela, karena takut jika ada yang memotretku"
"ya kau benar, kita akan pergi" pria itu berkata dengan santainya "Malam ini kau akan berjalan diatas karpet merah bersama sejumlah selebriti dan orang-orang penting lainnya dan aku ingin kau merasa nyaman dan tidak risih nantinya"
"Karpert merah? Karpet merah apa?" jiyeon melonjak terduduk "kau pikir kita tidak akan keluar dan sedang bersembunyi"
"secara tidak langsung drama kita ini akan menimbulkan spekulasi dan juga gosip, maka dari itu untuk melancarkan rencana, kita harus datang keacara itu. Sehingga ketika foto kita dalam acara nanti malam dimuat, bisa dipastikan foto tersebut akan dianggap sebagai konfirmasi bahwa kita menjalin hubungan yang serius tanpa harus ada jumpa pers" myungsoo berjalan kearah meja dan menyalakan leptopnya "dan sayangnya, kita harus terlihat keluar bersama, yang berarti malam ini kita harus menghadiri premier film dan pesta dansa amal"
Jiyeon terdiam, mencoba mencerna ucapan myungsoo dan seketika menganggap pria itu sedang melakukan candaan, jiyeon mulai tertawa, kemudian dia melihat ketegangan dari wajah myungsoo, serta ekspresi suram dari wajahnya yang tampan dan jiyeon tahu jika pria itu tidak sedang bercanda dan dia tahu jika sebenarnya myungsoo tidak ingin pergi, karena menurut jiyeon, myungsoo adalah pria anti media dan sudah pasti dia benci dengan hal-hal berbau publisitas dan pesta.
"kau bilang sayangnya? Kau menyebut sayangnya? Apa kau ingin pergi bersamaku?"
"Aku jelas-jelas mengatakan jika aku harus pergi bersamamu" geram myungsoo "mengingat itu adalah tujuan kita"
Jiyeon duduk dengan punggung kaku, mencoba untuk bersikap tenang "aku paham kau harus melakukan ini, tapi aku yakin alasan kau sebenarnya tidak ingin pergi denganku karena kau malu terlihat berjalan bersamaku"
"aku tidak ingin pergi karena sekarang aku sedang banyak pekerjaan"
Sesuatu tentang bagaimana pria itu membentengi diri menunjukkan kepada jiyeon bawa dia sekarang sedang berbohong "Baiklah apapun alasanmu"
Jiyeon terdiam, dia seharusnya merasa senang, tapi kenyataannya..ada yang mengganjal dalam dirinya, dan lagi-lagi dia harus sadar jika semua ini adalah sandiwara
"Kita hanya akan menyetor muka, lalu pergi"
"Hah?"
Ada ketegangan dalam ruangan itu, sesuatu yang tak jiyeon pahami "jika kita hanya pergi menampakkan muka saja, seharusnya kau tidak perlu repot-repot mendandaniku kan?"
"tidak ada gunanya menghabiskan seluruh malam ketika tujuan kita bisa tercapai dalam waktu singkat" ucap myungsoo serius
"bagaimana jika tujuanmu adalah menikmati acara tersebut?"
Myungsoo mengerutkan dahinya kearah layar leptop "aku tidak mempunyai ketertarikan dengan kerumunan-kerumunan orang yang tidak penting, lagi pula aku hanya ingin berbicara dengan Yamashita"
"Yamashita? Siapa dia?"
"Apa kau tidak pernah membaca surat kabar dan menonton tv?"
Jiyeon tersenyum kaku "aku tidak punya waktu luang kau tahu, waktuku hanya habis untuk bekerja"
"Yamashita adalah orang penting dibidang elektronik di Jepang, dia adalah pria yang berkuasa"
"tapi tidak sebesar kuasamu" bantah jiyeon enteng, senyum samar terlihat diwajah pria itu "kekuasaan yang berbeda"
"Jadi pria itu akan duduk bersama kita? Jadi aku harus melakukan apa padanya?"
"dia tidak bisa berbicara korea dan bahasa inggrisnya juga tidak lancar dan aku juga tak yakin jika dia akan membawa penerjemahnya"
"baiklah, itu tidak masalah..aku akan mencoba bersikap seramah mungkin padanya dan asal kau tahu aku tidak butuh penerjemah"
Myungsoo menyernyitkan dahinya "aku baik dalam berkomunikasi dengan orang-orang, itu kenapa aku bekerja dibagian resepsionis"
"Baiklah, apapun katamu aku tak peduli.."
Jiyeon tersenyum kecut "jadi kau hadir keacara itu hanya ingin bertemu dengan Yamashita itu? Kau tidak ingin bersenang-senang?"
"Tidak, asal kau tahu saja mereka pergi ketempat amal hanya untuk bertemu dan melihat orang yang mereka kenal memberikan donasi, ini seperti permainan. Aku pergi karena ada beberapa orang yang harus kutemui, dan aku yakin acara seperti itu akan membosankan"
"Ya tentu saja, karena menurutmu berpesta di club malamlah yang lebh menyenangkan" sindir jiyeon sembari mengedarkan pandangannya mengelilingi penthouse itu dan tiba-tiba dia menyadari ada yang berbeda dengan ruangan itu
"seseorang menyingkirkan semua dekorasi natal yang aku buat!!" tercengang, dia melompat dari sofa dan mengelilingi ruangan itu dengan wajah tak percaya
"kemana pohon natal dan dekorasi kenapa tidak ada hah? Kenapa mereka melakukan ini?"
"Karena aku meminta mereka untuk mengeluarkannya"
Sudah merasa sakit hati dengan komentar, paksaan dan kelakukan paksa yang dipikir jiyeon semena-mena terhadapnya karena pria itu dan sekarang dekorasi yang dibuatnya dengan susah payah dibuang begitu saja? CUKUP SUDAH!!
Myungsoo mendongak "selagi tinggal disini, aku tidak ingin melihat segala sesuatu tentang natal dan mengingatkanku dengan perayaan bodoh itu" matanya menggelap pekat dan mengancam "aku tidak ingin melihat satu hiasan pun, jelas?!"
"ya, jelas sekali" suara jiyeon melengking tinggi, dia merasa tersinggung pria itu seperti mengkritik hasil karyanya, jiyeon sangat merasa jengkel, menghentak-hentakkan kakinya kekamar tidur dan membanting pintunya sangat keras.
Dengan kekesalan yang membeludak, dia bersandar di pintu
Pria menyedihkan, jahat dan kejam. Getaran perasaan? Ya, ada getaran perasaan, tapi dia berharap getaran itu jenis reaksi yang berujung pada reaksi ledakan yang akan melontarkan pria itu keluar dari hidupnya. Myungsoo membuatnya merasa kecil, pria itu membuatnya merasa tak berguna dan tidak penting. Jiyeon menarik napas dalam-dalam, benar-benar sakit hati mengingat semua kejadian yang dialaminya hari ini terlebih komentar-komentar yang meremehkannya, walaupun dengan beberapa kaliamat namun pria itu berhasil mencabik-cabik kepercayaan dirinya yang rapuh.
***************************
Myungsoo mengancingkan ujung lengan kemejanya dengan wajah kaku terpampang jelas diwahanya yang tempan, dia berpikir jika dia akan masuk kedalam tantangan yang paling sulit, yaitu masuk kedalam pesta yang paling dibencinya seumur hidup yakni perayaan natal, membuatnya merasa tertekan
"Ayo kita selesaikan semua secepatnya" bisiknya
Tak terdengar ada aktivitas dari dalam kamar tidur dan myungsoo bertanya-tanya, apakah sebaiknya dia mngecek jiyeon. Wanita itu ada diruangan tersebut seharian, sementara sebentar lagi mereka harus menghadiri pesta-pesta itu, apakah dia masih tertidur? Ataukah dia masih kesal soal masalah hiasan natal tadi? Pikir myungsoo, dia baru saja akan melangkah kearah kamar tidurnya, saat pintunya tiba-tiba terbuka
"Jangan mengomentari apapun!!" muncul kilat berbahaya dari mata jiyeon, dia menghentak-hentakkan kakinya melintasi karpet, sepasang sepatu merah terjuntai dijemarinya
"setiap membuka mulut kau mengatakan sesuatu yang menyebalkan dan menyakitkan hatiku, jadi lebih aman jika kau tidak mengtakan apapun"
Myungsoo senang, wanita itu menyuruhnya diam karena sekali ini, dia tidak mampu mengucapkan apapun. Dia melihat jiyeon ketika melihat gaun itu tadi dibutik dan hanya memberikan persetujuannya namun dia tidak memberikan perhatian penuh saat itu, karena sungguh dia tidak ingat gaun itu akan terlihat sebagus ini, atau mungkin saat dia melihat gaun itu tadi disaat matahari masih terik, sementara gaun itu memang harus dilihat dan dibuat untuk malam hari.
Bahan gaun itu menyatu dengan tubuh jiyeon dan efeknya sungguh luar biasa, seakan wanita itu bersinar, dia benar-benar terlihat luar biasa, dengan gaun minim berwarna merah menyala dengan rambut yang digelung berantakan membuatnya tampak eksentrik sekaligus seksi "Kau terlihat menakjubkan"
"apakah juga terlihat baik-baik?" sindir jiyeon kesal
Myungsoo mengabaikan sarkasme dinada bicara wanita itu "seksi dan baik-baik, kombinasi yang menarik. Dan akan terlihat lebih efektif jika kau berhenti merenggut kearahku"
"Aku akan lebih berhati-hati menjaga sikapku jika sudah didepan umum" myungsoo melihat jiyeon kini seperti landak dengan duri-durinya yang sedang mencuat tajam "Perjanjian kita tidak termasuk harus menyukai satu sama lain, bukan begitu?"
Myungsoo mengencangkan rahangnya "jika aku menyinggungmu, aku minta maaf"
"jika? Bukan jika tuan kim. Kau menyinggungku!! Kau mengkritik pekerjaanku, kemudian kau senang sekali mengkritikku. Ku mengubahku menjadi golongan wanita-wanita yang kau kencani, lalu kau akan marah-marah ketika aku tidak melakukan hal-hal dengan benar"
"Andwe!! Jangan berkata apapun lagi, kau tidak pernah mampu berbicara tanpa menyerangku" cegah jiyeon saat melihat mulut myungsoo terbuka hendak mengeluarkan suaranya, membuat pria itu menarik napasnya panjang dengan perlahan.
"Diluar turun salju, sementara gaunmu minim dan terbuka, kau membutuhkan sesuatu untuk membuatmu tetap merasa hangat.." dia mengulurkan kotak besar dan jiyeon menatapnya dengan curiga sebelum mengambilnya
"sekarang apa lagi? Jubah bertudung supaya kau bisa menutup wajahku?" tanya jiyeon emosi dan sesaat dia terkesiap, kemudian wajahnya memucat melihat mantel berbulu halus seputih salju "Aku tidak bisa menggunakan ini. Ini terlalu bagus dan ku tidak suka menggunakan bulu-bulu"
"itu bukan bulu sungguhan, itu tiruan"
"Apa kau yakin? aku tidak ingin memakai apapun yang berasal dari binatang, itu sama saja dengan tidak mempunyai hati nurani, membunuh binatang lucu hanya untuk kesenangan semata, itu sungguh kejam"
"Ya, tentu saja aku yakin..itu hanya tiruan" dia menyampirkan mantel bulu itu dibahu jiyeon. Kulit wanita itu hangat dn lembut dipunggung jemarinya dan dia langsung merasakan getaran itu. Napas jiyeon terengah dan selama beberapa saat dia berdiri kaku, rona merah mewarnai pipinya yang putih
"apakah ini yang kau lakukan setiap menyinggung seseorang? Membelikan mereka hadiah yang mahal untuk meminta maaf? Apa itu akan selalu berhasil?"
"asal kau tahu, leher jenjangmu terlihat lebih indah diantara bulu-bulu itu" ucap myungsoo berbisik disertai senyum samar "jangan berpikir hanya karena aku mengenakan ini, aku telah memaafkanmu. Aku tidak bisa dibeli!!"
Wanita yang tak bisa dibeli
Myungsoo tersenyum samar atas ucapan jiyeon, membuat jiyeon mengernyitkan dahinya menyelidik
Myungsoo menatapnya lekat, pria itu merasakan jika dia seperti kehilangan kendalinya, benar-benar bergairah, dia menarik jiyeon mendekat
"kau bisa melepaskan gaun itu" bisiknya lembut "dan hanya menggunakan bulunya" sontak membuatnya jiyeon menegang dan myungsoo melihat sorotan mata tajam yang menambah gairahnya dan pria itu bermaksud mengatakan bahwa mantel bulu itu akan lebih nyaman digunakan untuk alas berbaringnya, ketika jiyeon mnginjak kakinya keras
"oouucch.."
"Kya!! Kau memang tidak bisa menahan diri ya? Ingat, kita harus mencegah foto itu tampak hina, sementara kau hanya ingin tinggal dirumah dan membuat seluruh situasi ini semakin memburuk, ataukan tiba-tiba perjanjian itu tidak penting bagimu? Jangan bermain-main kim myungsoo!!"
Myungsoo terdiam membeku, takut pada kenyataan habwa untuk beberapa detik yang berharga dia benar-benar tergoda akan kecantikan jiyeon "baiklah, cukup untuk perdebatan yang tidak penting ini..ayo pergi" benar-benar malu dengan kenyataan bahwa wanita didepannya itu bisa bersikap tenang sementara dia berada dalam cengkraman nafsu yang meluap-luap, dia menghadapi kenyataan bahwa, seandainya jiyeon tidak mencegahnya dia pasti sudah membaringkan tubuh eksotis wanita itu diatas kasur dan mengikuti nalurinya tanpa memikirkan hal lain kecuali tuntutan tubuhnya yang luar biasa besar.
Jengkel dengan dirinya sendiri dan sangat tidak tenang, myungsoo menyambar jas dari punggung kursi dan membimbing jiyeon yang telah memasang sepatunya kearah pintu "primier filmnya dimulai lima belas menit lagi"
"Bagus, jadi kita adalah tamu yang datang paling akhir"
"memang itu rencananya" ucap myungsoo malas "kita memamerkan diri kita dihadapan publik saat orang-orang sudah ramai berdatangan"
"terserah apa katamu, karena sebentar lagi aku harus siap menutup mukaku karena kalian semua sudah pasti akan mempermalukanku nanti"
________________________
Jiyeon melangkah hati-hati diatas karpet merah, lega sepatu merah yang digunakannya sekarang lebih nnyaman dari pada sepatu yang digunakannya tadi, jemarinya mencengkram erat lengan myungsoo. Walaupun salju sedang turun, ada kerumunan besar menunggu dengan penuh harap bisa melihat para bintang, sementara jiyeon seperti seorang penipu diantara sorakan tersebut.
"mereka akan merasa tertipu saat melihatku, bukannya bintang terkenal yang mereka harapkan. Apa yang harus aku lakukan?" jiyeon mendesiskan kata-kata itu lewat giginya, senyumannya tak pernah surut selagi lensa kamera diarahkan kepadanya
"bersikaplah biasa saja, aku akan ada disisimu, kau tak perlu takut" jiyeon merasakan gelombang kegugupan dalam dirinya, dia tidak pernah berjalan diatas karpet merah mengenakan sepatu hak tinggi, pakaian indah yang terbuka serta berpura-pura bertunangan dengan pria yang sangat kaya yang baru dikenalnya.
Myungsoo dan jiyeon berhanti untuk berbincang dengan pasangan yang sepertinya familiar bagi jiyeon, mengingat-ingat dimana dia pernah mengenal dua orang baik itu. Dia yakin ia mengenal mereka disuatu tempat.
Selagi myungsoo membimbing jiyeon kedalam ruangan, wanita itu masih tersenyum. "mereka baik sekali, aku seperti pernah melihat mereka disuatu tempat tapi aku tak ingat dimana, aku tidak pernah bisa mengingat jelas orang-orang yang pernah kutemui. Siapa nama mereka?"
Ketika myungsoo menyebutkan nama mereka, jyeon menatapnya tak percaya, tak mengatakan apapun lagi, sungguh dia benar-benar merasa malu sekarang.
"Benar. Mereka adalah actor dan actris dan aku mengenal mereka karena pernah melihat cuplikan dramanya di tv, Oh aku sungguh malu sekarang..ya Tuhan mereka pasti kebingungan kenapa aku tersenyum dan berbicara kepada mereka seperti orang bodoh"
"kau mempeson dan sama sekali tidak bersikap berlebihan dan yang terpenting adalah kau tidak meminta tanda tangan ataupun berfoto dengan mereka"
Jiyeon menggerutu kesal "itu karena aku benar-benar tidak mengingat mereka" jiyeon mengencangkan genggamannya dilengan myungsoo "aku hanya khawatir jika aku berbicara yang tidak-tidak dan menyinggung mereka"
"mereka menikmati mengobrol denganmu dan kenyataan bahwa kau bersikap alami bersama mereka menunjukkan bahwa hubungan kita sudah menjadi kenyataan yang diterima beberapa lingkaran pergaulanku. Kau melakukannya dengan baik, aku senang dengan kenyataan itu"
Jiyeon mengendurkan genggamannya, dia bertekad tidak membuat kesalahan yang sama lagi, dia menoleh kesana kemari meihat orang-orang yang dilihatnya dan memberikan nama saat dia mengenal mereka. Ruangan itu disesaki orang-orang glamor, semuanya tampak sangat nyaman dilingkungan yang sama glamornya. Mereka seperti angsa-angsa elegan pikir jiyeon murung. Sementara dirinya? Dia merasa seperti itik buruk rupa, benar-benar tak pantas berada dintara burung-burung cantik dan lembut.
Selagi memperhatikan wajah jiyeon, myungsoo mendesah "kau terlihat seperti akan mengunjungi dokter gigi, cobalah untuk santai dan tersenyum, ingat aku ada disini bersamamu, kau tak perlu mengkhawatirkan apapun"
Menyadari bahwa berbaur diruangan itu sangat membuatnya tertekan, jiyeon lega saat mereka pindah kesinema untuk pertunjukan film. Semangatnya memuncak saat mengetahui bahwa filmnya bertema Natal.
Merasa lebih nyaman dalam kegelapan, dia melepaskan sepatunya dan bersender nyaman dikursi, siap menikmati dua jam lebih menonton peri-peri elf berdansa melewati layar besar, dia mulai merasakan suasana natal ketika menyadari myungsoo sedang mengirim pesan kepada seseorang lewat ponselnya.
"Kau seharusnya mematikan ponselmu" seru jiyeon, namun dia baru menyadari jika tamu-tamu lain sedang berlomba-lomba berusaha mengobrol dengan pria disebelahnya, jelas saja jika pria menyebalkan itu adalah tamu paling berkuasa dan berpengaruh disini, siapa yang berani memprotesnya? Cibir jiyeon dalam hati, dia tidak mau ambil pusing dan sekarang dia harus memerhatikan film favoritenya
"ini cerita yang menyenangkan, kau harus menontonnya. Mungkin bisa membuat suasana hatimu semeriah Natal"
Seketika itu juga terasa ada perubahan dalam diri myungsoo, pria itu menyelipkan ponselnya kedalam saku jasnya lalu bangkit dengan gerakan tegas, tidak peduli kepada orang-orang yang kini sedang menikmati filmnya "pakai sepatumu, kita akan pergi!!" nyaris tidak memberi jiyeon waktu untuk memasukkan jemari kakinya kesepatu merah itu, myungsoo menggenggam tangannya dan membimbingnya keluar lewat pintu samping sinema.
"semua orang memperhatikan kita, ini sungguh memalukan" terengah-engah, jiyeon berusaha mengikuti langkah pria itu tanpa membuat pergelangan kakinya terkilir "kenapa kita pergi? Aku sedang bersenang-senang menonton film favoriteku"
"Aku tidak!!" berbicara dengan ketusnya, myungsoo membuka pintu darurat dan jiyeon melihat limusinnya sudah terpakir didepan mereka
"Tapi filmnya baru dimulai"
"Aku tidak suka menonton filmnya yang terlalu melankolis dan cengeng"
"Aiiiisss, kau ini bagimana sih? Gara-gara kau aku tidak pernah tahu akhirnya seperti apa!!" kesal jiyeon
"memangnya kau pikir akhirnya akan seperti apa?" wajah myungsoo menegang
"tentu saja bahagia, itu film natal. Film-film seperti itu akan selalu berakhir bahagia" jawab jiyeon frustasi
"aku tahu akhirnya akan bahagia, tapi aku ingin tahu bagaimana cara film itu bisa berakhir bahagia, ada lebih dari satu cara menuju akhir yang bahagia, aku tahu itu. Bagimana mereka membuat ceritanya berakhir bahagia sehingga layak ditonton"
Myungsoo menusuknya dengan tatapan tajam penuh kekesalan dan penekanan sebelum mengalihkan perhatiannya kelayar ponsel miliknya "kupikir kau sudah terlalu tua untuk meyakini ada akhir yang bahagia didalam sebuah cerita" ucap pria itu tajam "terutama setelah pengalaman lalumu itu"
"hanya karena kau belum pernah mengalami sendiri akhir yang bahagia bukan berarti kau harus berhenti meyakini akhir yang bahagia itu pasti ada kan?"
"jika kau menjalani hidup sambil menunggu-nunggu akhir yang bahagia, sama saja kau mengatur hidupmu untuk terus-menerus mendapatkan kekecewaan. Kalau kau suka berdelusi seperti itu, tak heran jika sekarang kau masih saja melajang, tidak akan ada pria yang akan tahan menghadapi idealisme tingkat tinggi menggelikanmu itu, aku jadi agak kasihan dengan si Chanyeolmu itu"
Mencerna kesinisan terhadap bagaimana dia menjalani kehidupannya, jiyeon menegang "aku mengerti kau tidak percaya pada akhir yang bahagia, hanya saja kau benar-benar merusak malamku dengan ucapanmu yang tajam itu" jiyeon membalas tatapan sinis pria itu "kau tidak percaya pada akhir yang bahagia? Berhati-hatilah bicara, bisa saja kebahagian itu tidak akan pernah mampir kedalam kehidupanmu"
Myungsoo menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya "aku yakin, tidak ada wanita diluar sana yang masih mempunyai pemikiran seperti dirimu itu, itu adalah pemikiran gadis jaman dulu"
"cih, pria sepertimu tahu apa? Kau tidak bisa menyamakan setiap wanita, sama seperti wanita-wanita yang pernah kau temui"
"memang apa yang kau harapkan?"
Jiyeon memejamkan matanya, "ini dan itu..hanya hal-hal yang biasa"
Myungsoo tertawa mengejek "hal-hal yang biasa? Berarti hal yang biasa itu adalah cinta, pernikahan dan anak"
"tertawalah semaumu. Hanya karena aku punya prioritas yang benar sementara yang kau pikirkan hanyalah perjanjian dan kesepakatan, setidaknya aku masih menjadi manusia normal dengan keinginan sederhana yang wajar, tidak sepertimu"
"Percayalah, tak akan ada hal mengenai cinta, pernikahan dan anak-anak yang ingin membuatku tertawa"
"memang setengah isi dunia merasakan hal yang sama denganmu myungsoo, tidak mempercayai hal-hal yang menurutmu itu konyol" jiyeon membuka matanya dan menoleh menatap myungsoo "tapi tidak denganku"
"kenapa tidak? Kau dicampakkan belum lama ini"
"Aku tahu"
"seharusnya kau bisa belajar dari pengalamanmu, yang aku tahu jika ada wanita sepertimu dia akan menjadi sinis dan getir"
"kenapa menjadi sinis dan getir bisa menolong segala bebanku?
"Itu akan membuatmu berhenti memiliki pengharapan yang tidak realistis"
Jiyeon mendesah pelan "kakek dan nenekku menjalani kehidupan bersama-sama selama enam puluh tahun. Aku menolak untuk percaya hal semacam itu mustahil, menemukan seseorang yang bisa kau cintai dan balas mencintaimu memang jarang, tapi bukan tidak mungkin"
Wajah tampan myungsoo tak berekspresi, saat menatap mata gelap pria itu, jiyeon merasakan panas menumpuk dalam dirinya "mungkin berbeda denganmu"
"Kau kaya, menjalin hubungan pasti lebih rumit jika kau luar biasa berada"
"kau seperti mengatakan jika tak ada seorang wanitapun yang mau berkencan denganku jika aku tidak kaya"
"bukan itu maksudku, kau harus tahu jika masih banyak wanita diluar sana yang berbeda seperti apa yang kau pikirkan..masih banyak wanita yang mencintai dengan tulus"
Myungsoo menggeretak dibalik rahangnya "apa kau sengaja memancing amarahku?"
"hahahaha, begitulah, berhasil tidak?" tawa jiyeon mengejek
"ya!!" senyuman samar tersungging disudut bibir pria itu dan jiyeon merasa lemas karena dia baru menyadari jika pria egois itu sangatlah tampan saat tersenyum.
"jika aku terus mengikuti rencanamu ini" ujar jiyeon cepat-cepat "ada satu hal lain yang kuinginkan diakhirnya"
"kau tidak bisa bernegosiasi ulang kesepakatan yang telah kita lakukan" ujar myungsoo dengan nada manis tapi jiyeon tak mau kalah, dia mengangkat dagunya menolak diintimidasi oleh pria itu
"aku ingin pekerjaan saat semua ini berakhir,dan sejujurnya itu juga akan membuatnya terlihat lebih baik. Jika aku akan memutuskan hubungan dan orang-orang tahu aku kehilangan pekerjaan, mereka akan berasumsi bahwa kau adalah pria kejam, picik dan aku rasa kau tidak ingin itu terjadi"
"terima kasih sudah melindungi pandangan orang terhadap diriku" mata myungsoo berkilat mencemooh "apa kau punya bayangan pekerjaan seperti apa yang kau inginkan?"
"aku diterima bekerja dihotelmu sebagai resepsionis" jiyeon berkata tegas "hanya itu yang aku inginkan"
"Jadi, jika kau diterima sebagai resepsionis, kenapa kau melakukan pekerjaan sebagai housekeeping saat aku datang?"
"itu karena Bongsun menurunkn posisiku!! Dia bilang aku terlalu banyak omong" jiyeon menyiratkan pembelaan diri "tapi aku tidak habis pikir, bagaimana dia berpikir jika aku banyak omong, bukankah resepsionis harus banyak bicara dan membuat para tamu merasa kerasan dan itu adalah pekerjaan yang kakekku pikirkan aku kerjakan, dan itulah pekerjaan yang kuinginkan ketika akhirnya aku memutuskanmu nanti"
"baiklah"
Jiyeon tersenyum sumbringah "benarkah? Kau mau memberikan aku pekerjaan itu? Ya Tuhan, myungsoo..kau baik sekali" myungsoo tersenyum malas 'kita sudah sampai"
"OH MY GOD Myungsoo!! Kita berada di Museum nasional?" bangunan terkenal itu memandikan cahaya dimalam musim dingin ini dan ribuan lampu berkelap-kelip dijalin melewati batang-batang pohon, disamping tempat itu ada dibuat tempat untuk seluncur es dan sekuruh tempat itu diubah menjadi surga musim dingin "aku tak tahu, mereka menyelenggarakan acara ditempat ini"
"ini adalah tempat mengumpulkan dana yang sangat prestisius"
"bolehkah kita berseluncur es nanti?"
"Tidak boleh!!"
"Tapi aku ingin, apa lagi sekarang salju sudah turun" jawab jiyeon sembari terpukau suasana tempat itu
"Aku tidak peduli!!"
"Kau tidak suka salju? Apa kau serius?" tanya jiyeon dan pria itu sama sekali tak menjawab
"Kapan terakhir kali kau membuat orang-orangan salju atau melempar bola salju?"
Myungsoo menghela napasnya, mencoba bersabar menghadapi wanita dengan banyak pertanyaan itu
"aku mohon kepadamu, jangan banyak bertanya hal-hal aneh padaku"
"ampun, myungsoo.. kau tidak suka film natal, kau tidak suka salju, kau tidak bermain seluncur es..tapi pasti ada yang kau sukai dari natal, apa ayam panggang? Bertemu teman-teman? Apa yang menyenangkan bagimu dari natal?"
Supir myungsoo membuka pintu mobilnya dan seketika hembusan angin dingin masuk kedalam mobil, myungsoo menatap jiyeon, wajahnya tak tersenyum "jika kau bertanya, apa yang menyenangkan dari natal bagiku? Jawabannya adalah ketika natal itu berakhir" dia menggertakkan giginya "sekarang keluar dari mobil dan senyum"
KAMU SEDANG MEMBACA
PASSION
FanfictionCast : Myungyeon Genre : Romance Rate : 17 FF ini pernah di publish di salah satu WP myungyeon