Passion (part 6)

3.3K 186 26
                                    

Passion Part 5

"Kau ingin aku membelikan seluruh hadiah dipohon itu?"
"bukan, aku ingin kau membelikanku pohon natalnya. Aku rasa aku tidak akan tahan jika tidak melihat pohon natal sampai suasana natal berakhir"
"pohon itu akan terlihat fantastis di Penthouse, bahkan lebih besar dari pohon yang aku hias"
"Tidak!! Aku tidak ingin apapun yang berhubungan dengan natal berada disana"
"kenapa tidak? Aku tahu kau lebih memilih bekerja dibandingkan merayakan Natal. Tapi pekerjaanmu tidak akan berhenti hanya karena ada pohon natal diruangan. Pohon natal itu menceriakan segala hal myungsoo, ayolah.."
"itu tidak membuatku ceria"
"kenapa? Kenapa kau tidak suka dengan segala hal berbau Natal? Kenapa? Padahal pohon natal akan mengingkatkanmu pada kenangan yang menyenangkan, seperti kehangatan keluarga"
Myungsoo melepaskan pegangannya terhadap jiyeon dengan tiba-tiba, sampai wanita itu terhuyung
"Aku..Aku tidak punya sedikitpun kenangan menyenangkan tentang natal, APA KAU MENGERTI???"
************************
aku tidak punya sedikitpun kenangan menyenangkan tentang Natal..
jiyeon duduk ditengah-tengah kasurnya yang besar, kata-kata itu bergemuruh dikepalanya. Dia mencoba memahami, namun tidak membuatnya berhenti berpikir dan mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan tanpa akhir kepada dirinya sendiri. Mengapa myungsoo tidak memiliki kenangan menyenangkan tentang Natal? Dia berpaling dan melihat pada pintu ganda yang memisahkan tempat tidurnya dengan ruang santai. Pintu itu masih tertutup rapat.
Apa yang dilakukan myungsoo? Dimana dia tidur?
Mereka pulang ke hotel tanpa berbicara, jiyeon terdiam tak berani berkutik saat kalimat itu terucap dan myungsoo juga tidak berkata-kata. Sekali itu, ponselnya tak berbunyi dan myungsoo hanya menatap jalanan bersalju diluar jendela, wajahnya yang tampan terlihat seperti topeng tak berekspresi.
Dengan rasa penasaran jiyeon turun dari kasur dan membuka pintu perlahan, takut mengganggu jika ternyata myungsoo sedang tidur. Ruang tamu yang luas dalam keadaan gelap, api diperapian hampir padam dan seluruh lampu dimatikan, myungsoo tidak ada disana. Dia jelas tahu jika myungsoo sudah pasti tidur dikamar lain. Jiyeon baru saja akan berbalik dan kembali masuk saat menyadari ada cahaya redup disudut ruangan dan menyadari jika itu adalah cahaya dari leptop.
Saat matanya perlahan menyesuaikan dengan kegelapan, dia melihat myungsoo duduk di kursi santai menghadap kearah luar jendela
"sudah jam empat pagi" jiyeon bergumam "kau sebaiknya tidur" ucap jiyeon membuat pria itu menoleh kearahnya
"aku tidak lelah" suaranya nyaris tak terdengar "kembalilah tidur jiyeon, tidur sampai mabukmu hilang"
Mengetahui jika dirinya tak diinginkan, jiyeon berniat kembali tidur, namun kakinya terpaku ditempat saat matanya menatap wajah tampan itu, myungsoo terlihat seperti pria rapuh bukan pria sejati yang selama ini diperlihatkannya, pria yang berjuang mengendalikan emosi yang tak sanggup dia tahan.
Myungsoo kembali menatap layar leptopnya, tapi entah bagaimana jiyeon tahu kali ini pria itu tidak membaca angka-angka, matanya muram dan kosong, jiyeon tahu ini pasti tentang ucapannya tadi dipesta itu.
Aku tidak memiliki sedikitpun kenangan menyenangkan tentang natal..
Masa kecil seperti apa yang myungsoo lalui sehingga tidak memiliki satupun kenangan menyenangkn tentang natal? Keheningan mendadak muncul dalam ruangan itu.
Jiyeon berdiri terpaku, menyadari dirinya memasuki saat-saat pribadi pria itu. Dia tahu seharusnya dia menyingkir dan kembali ke tempat persembunyian yang aman dikamar, dia harus menutup pintu besar itu dan meninggalkan pria itu dengan pikiran gelapnya. Mengapa dia mesti peduli jika pria itu ingin menutup diri dan bertingkah seakan dia memiliki kenangan yang buruk.
Tapi ada sesuatu tentang sosok muramnya yang membuat jiyeon tidak mungkin meninggalkannya sendiri, jiyeon tidak pernah bisa berpaling dan meninggalkan manusia lain dalam kepedihan yang teramat sangat dan dia yakin jika pria itu kini sedang merasakan perasaan itu.
Dia menjadi sangat akrab dengan tanda-tanda itu setelah neneknya meninggal, dari malam ke malam dia melihat sorot yang sama diwajah Harabojinya saat lelaki itu duduk dikursi goyang neneknya, hanya menatap foto wanita itu. Dia tetap menemani harabojinya dalam kegelapan, takut meninggalkannya sendirian dengan dukanya, sekarang pertanyaan baru muncul dalam benak jiyeon,
Apa yang telah hilang dari seorang Kim Myungsoo?
Apa yang pria itu pikirkan saat menatap kosong layar leptopnya?
Jiyeon berjalan kearah myungsoo, menyadari dirinya sedang mengambil resiko, dia mendekat saat seharusnya dia menjauh.
Myungsoo mengangkat wajahnya dan menghela napas dalam "aku menyuruhmu untuk kembali tidur"
"kepalaku pusing jika aku kembali tidur" jawab jiyeon
"kau terlalu banyak minum, rasa pusingmu akan hilang. Minumlah banyak air"
"aku tidak mabuk myungsoo" senyum samar terlukis diwajahnya
"apa kau tidak ingat jika kau menari-nari seperti orang tidak waras?"
"Itu bukan karena aku mabuk, itu karena aku kehilangan sedikit kendali diri. Aku hanya merasa bahagia, dan minuman itu hanya membantuku sedikit"
"Terserah apa katamu, yang jelas aku akan ingat untuk tidak akan memberikanmu minuman apapun lagi"
"Myungsoo.." lirih jiyeon menatap lekat pria itu "apakah kau mau bercerita, ada apa denganmu?" amarah melintas kewajah pria itu dan lirikan singkatnya sarat pringatan "kurasa kau harus kembali tidur sekarang juga"
"hanya jika kau ikut tidur juga"
Untuk beberapa saat myungsoo hanya menatap jiyeon, matanya berkilat dalam gelap. Jiyeon punya firasat jika pria itu sedang berperang dalam pertempuran brutal dalam dirinya.
"Pergi" tegas myungsoo "sekarang juga"
"Tidak akan!!"
"Jiyeon..aku mohon, pergi sekarang juga"
Jiyeon terdiam tak bergeming wanita itu menatap dalam pria yang kini menatapnya dengan kilat mata penuh emosi, wanita itu maju selangkah tanpa melepaskan tatapan matanya, entah keberanian dari mana wanita itu mengulurkan tangannya membelai wajah tegas pria itu, tak ada suara hanya terdengar duru napas masing-masing "Aku tidak punya persediaan akhir yang bahagia, jiyeon. Kau tidak akan menemukan akhir yang seperti itu bahkan sampai dunia ini kiamat"
Mulut jiyeon tarasa kering dan jantungnya berdegup dalam dadanya "aku tahu. Kau tidak akan pernah menjadi akhir yang bahagia bagiku"
"myungsoo.." Jiyeon menelan ludahnya sendiri "myungsoo.." bisik jiyeon hampir tak terdengar "apakah rasanya akan seenak seperti saat kau menciumku?"
Myungsoo mengerutkan keningnya dia berpikir jika wanita itu akan kembali bertanya tentang masa lalunya, tapi nyatanya? Kini dia mengerti, wanita itu terlalu polos dan lugu.
"kau ingin tahu bagaimana rasanya?" myungsoo berdiri tiba-tiba, membuat jiyeon secara naluriah bergerak mundur dan dihadiahi senyum mengejek dari pria itu "Baiklah aku akan mengatakannya padamu"
"Rasanya akan sangat enak, kita berdua merasakan getaran gairah. Percintaan kita akan terasa luar biasa, panas dan gila. Untuk masa yang singkat" suaranya penuh emosi "kemudian aku akan mematahkan hatimu, begitu saja.." pria itu menjentikkan jarinya dengan kejam, dengan ekspresi santai yang membuat jiyeon mengernyit ngeri "semudah itu"
Darah berdenyut ditelinga jiyeon, dia mendadak sulit bernapas "ti..tidak masalah"
Myungsoo memberi tatapan mencemooh "maksudmu, kau tidak masalah jika aku menyakiti hatimu?"
"aku tahu kau tidak akan menyakitiku, karena untuk bisa menyakitiku, aku harus jatuh cinta kepadamu sedangkan aku tidak mencintaimu" ucap jiyeon lantang, dia tahu jika ucapannya itu seperti tidak benar, dan dia juga bingung kenapa dia bisa mengatakan itu
Myungsoo menutup matanya dengan tangan terkepal disamping pahanya "tapi aku sedang tidak dalam suasana hati yang baik, bisa saja aku akan berbuat kasar padamu dan aku tidak akan mungkin untuk melepas gairah yang lemah lembut"
Jiyeon merasakan jika kini dirinya bergetar, ketakutan bercampur dengan luapan perasaan yang liar yang belum pernah dia alami 'jika kau mencoba untuk menakut-nakutiku, kau tidak akan berhasil"
"seharusnya kau takut jiyeon, karena aku bukanlah pria yang tepat untukmu" ucapnya melembut namun dengan suara yang sirat dengan ancaman sedingin es
"aku tahu" bisik jiyeon "bukan itu sebabnya"
"jadi karena apa? Apa sekarang kau sedang memerankan gadis baik-baik yang merayu pria nakal, hanya untuk mengetahui bagaimana rasanya?"
"Anniya, aku.." jiyeon putus asa, berjuang untuk bernapas "aku tidak tahu ada apa sebenarnya dengan diriku ini, aku hanya tiba-tiba berpikir kau menginginkannya..karena sebelumnya kau berkata.."
"Aku tahu apa yang kukatakan dan akupun tahu apa yang kuinginkan" potong myungsoo dingin "tapi kau tidak tahu apa yang sebenarnya kau hadapi jiyeon"
Hening
"jika kau bermain api, kau akan terbakar" bisik myungsoo dengan tajam
"kalau begitu maukah kau mengatakan padaku mengapa kau benci natal?"
"tidak!! Kau membuat hubungan kita menjadi personal, dan itu adalah kesalahan wanita yang sangat fatal"
Myungsoo menatapnya untuk beberapa saat, kemudian mengangkat tangan dan mengambil sejumput rambut jiyeon "seharusnya kau lebih berhati-hati, nona park jiyeon. Kau akan tersakiti" punggung jari myungsoo mengelus pipi tirus jiyeon dan membuatnya bergedik kaget dengan letupan listrik yang mengalir dalam tubuhnya.
Dengan jantung berdegup kencang, jiyeon menoleh membalas tatapan tajam pria itu dengan mata sendunya, reaksi myungsoo sangat cepat. Menggeram, pria itu menangkap wajah jiyeon dan memberikannya ciuman posesif. Myungsoo pernah menciumnya, namun ciuman kali ini berbeda. Ciuman ini menuntut segalanya dan jiyeon merasa seluruh indranya lemah dan rapuh.
Menutup matanya mencoba menikamati ciuman itu dan mendesah. Jiyeon menelusurkan tangannya naik didada pria itu, melewati bahunya, merasakan otot kuat pria itu. Myungsoo sudah melepaskan dasi kupu-kupunya dan membuka kancing kemejanya paling atas, jiyeon menyusupkan jemarinya disana, mencari, menyentuh dan menjelajahi. Jiyeon merasakan degup panas tubuh myungsoo diijung jemarinya dan mengeluarkan desahan putus asa dari tenggorokannya, kemudian myungsoo menciumnya kembali dan lidahnya terasa panas, rayuan bertubi-tubinya sangat terlatih, dia benar-benar berpengalaman.
Ciuman itu seakan berlangsung selamanya dan sekarang jiyeon merasakan seluruh tubuhnya terbangkitkan. Saat pria itu menekan bibirnya dilekuk dipangkal lehernya, jiyeon mengerang dan ketika bibir myungsoo semakin kebawah lalu merayu payudaranya, jiyeon melengkungkan tubuhnya dan memanggil nama pria itu, wanita itu seperti menginginkan lebih dan lebih dan saat myungsoo meletakkan tangannya dikeliman baju tidur jiyeon dan wanita itu tidak menghentikannya. Terdengar suara robekan saat pria itu menyobek baju tidurnya dari leher sampai kebawah dan disanalah dia, seluruh tubuhnya jelas terlihat dibawah cahaya hangat api pendiangan.
Jika jiyeon berpikir cahaya temaram akan memberikannya sedikir perlindungan, dia salah. Myungsoo menatap wanita itu tajam terpesona namun dia segera menarik diri dari jiyeon, suara napas beratnya terdengar jelas saat pria itu mengamati tubuh jiyeon, tatapan benar-benar terpaku.
"kau masih bisa mengubah pikiranmu"
"tidak akan" emosi menggumpal ditenggorokannya dan satu-satunya hal yang ada dalam benaknya hanyalah kebutuhan akan pria itu "aku tidak ingin mengubah pikiranku"
Myungsoo kembali mendekat dan menyusupkan jemarinya kerambut jiyeon dan mengepalkan tangan, membuat wanita itu mendongak. Sorot matanya tajam, hitam dan fokus, fokus pada diri jiyeon.
Untuk beberapa saat jiyeon tidak bisa bernapas, kemudian pria itu sepertinya telah membuat keputusan. Tanpa berkata-kata, myungsoo menangkup wajah jiyeon dan menghujaninya dengan ciuman penuh dahaga. Mendesaknya dengan kekuatan penuh, lidah pria itu masuk kedalam mulutnya, ciuman penuh gairah dan menuntut, membuat jiyeon berubah dari beku menjadi mendidih dalam sepersekian detik, tubuhnya terbakar panas di tubuh myungsoo. Jiyeon menarik kemeja myungsoo, menariknya mendekat, tak kuasa menahan keinginan merasakan tubuh pria itu. Bagian depan kemeja myungsoo terbuka dan tangan jiyeon meluncur kebaliknya, menggapai bahunya, tubuh pria itu bak karya seni, ototnya mengambang dan keras serta maskulin. Jiyeon mendorong dada myungsoo dan mareka terjatuh berguling, mata pria itu menyorot tajam dibawah cahaya perapian saat mengamati jiyeon yang menatapnya dengan mata sendu yang indah, kemudian pria itu kembali menciumnya, membuat rambut jiyeon terurai diantara mereka. Jiyeon membalas ciuman panas itu, kedua tangannya menelusuri tubuh pria itu. Untuk beberapa saat mereka berhenti, mata pria itu gelap, sangat gelap dan jiyeon merasakan sesak mendebarkan menguasainya saat merasakan hembusan napas pria itu diwajahnya. Saat itu napasnya tertahan, ini seperti menjapai bagian puncak roller coaster dan menyadari bahwa tidak ada jalan untuk kembali.
"Kau gemetar.." suara pria itu purau dan berat "apa kau ingin aku berhenti?"
Jiyeon menggeleng pelan, jiyeon menunduk kemudian mengecup bibir pria itu sekilas "aku tidak bisa menghentikan ini, ada sesuatu dalam diriku yang menginginkanmu"
"Kenapa?"
Jiyeon merasakan myungsoo berjuang menahan dirinya, tampak jelas dimata pria itu dan tubuhnya yang menegang
"perlukah alasan untuk itu?" jiyeon menunduk "aku hanya ingin merasa seperti wanita sungguhanmu, apa itu tidak cukup?"
Myungsoo tidak menjawab pertanyaannya, sebaliknya pria itu menangkup pinggang jiyeon, mengatur posisi mereka dan menempatkan diri sebagai penyerang. Dunia luar seakan meleleh, semua buram. Samar-sama jiyeon melihat pria itu sudah tidak menggunakan apapun dan dengan melihat sekilas sudah cukup untuk membuat saraf-saraf dalam tubuhnya meluap-luap ketepian batas gairahnya.
Myungsoo menciumnya dan jiyeon membalas, setiap ciuman adalah rasa lapar akan pria itu, seakan-akan pria itu tercipta untuknya.
Panas yang muncul sangatlah mengejutkan, gairah membara akan kebutuhan yang mendasar yang berbahaya dan ketika myungsoo meninggalkan bibir jiyeon menuju leher wanita itu, jiyeon berjuang menarik napas dan mencoba untuk memusatkan perhatian, tapi tidak ada tempat lain untuk bergantung kecuali pria itu. Seluruh dunia jiyeon jungkir balik dan sosok kuat yang ada hanyalah pria itu. Ketika myungsoo menyentuh tubuhnya, jiyeon mengerang sementara pria itu menggumamkan sesuatu dalam bahasa Prancis, jemari lihai pria itu meluncur merayu tubuhnya. Pria itu tahu betul dimana dia harus menyentuhnya dan jiyeon merasakan nyeri ditubuhnya semakin meningkat sampai nyaris terasa menyiksa. Jiyeon bergerak-gerak, merengekkan nama pria itu, tapi myungsoo hanya menatapnya, mulut pria itu hanya sejarak napas dari dirinya saat myungsoo menyiksanya dengan keahlian yang tak kenal ampun.
"jebal.." jiyeon memohon, melengkungkan tubuhnya kearah pria itu "jebal myung.."
Seakan tersentak dalam diri pria itu, dia mendekati jiyeon. Pria itu menyingkirkan rambut jiyeon dari wajahnya yang penuh dengan keringat dan mempelajari raut wajah wanita itu dengan mata gelap penuh rahasia.
Jiyeon merasakan tubuh pria itu ditubuhnya dan diapun mulai menegang "jebal.." putus asa, jiyeon mencengkram bahu pria itu, jantungnya menghentak saat merasakan kekuatan pria itu.
Myungsoo menempelkan keningnya ke kening jiyeon, menahan tatapannya "aku tidak bisa menyakitimu" bisiknya berat dan sesaat dia mengambil jeda memasang pengaman, melindungi jiyeon, kemudian dia menyatukan tubuh mereka, keras dan panas. Jiyeon terkejut dan memaksa diri untuk tenang
"bernapaslah" suara pria itu lembut dan dia mendekatkan bibirnya "bernapaslah sayang.."
"aku tidak bisa.." polos jiyeon yang merasakan tubuhnya terbakar dan pria itu dengan lembut mengelus bibirnya, menelusuri bibir bawah jiyeon dengan lidahnya saat mendesak semakin jauh. Jiyeon merasakan sakit yang menyiksa, yang diikuti dengan kelegaan, kuku panjangnya menancap keras dipunggung myungsoo, merasakan kekuatannya.
Pria itu menahan diri, menahan dirinya untuk jiyeon.
Jantungnya berdetak kencang, pipinya memerah dan darahnya berdesir cepat disetiap gerakan perlahan. Kenikmatan merasuki jiyeon dan dia meneriakkan nama pria itu dan myungsoo hanya menjawab dengan tubuhnya, dengan kekuatan kendalinya, menyerang indra jiyeon dengan sensualitas liar.
Badai dalam dirinya bergerak dengan sangat liar dan cepat, menyapu dirinya seperti binatang buas, siap membakar apapun yang disentuhnya, dan saat ini jiyeon tahu jika hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
____________________________
Saat terbangun, jiyeon berbaring sendiri di kasurnya. Dia terdiam cukup lama dengan pikirannya sendiri dan menerka-nerka jika myungsoo pasti telah memindahkannya ke kamar tidur pagi tadi, menyelimutinya dengan selimut lembut. Samar-samar dia mengingat permohonannya agar pria itu menemaninya dan myungsoo merespons permintaannya dengan melangkah mundur kembali keruang tamu, memastikan kembali apa yang pria itu peringatkan dari awal, bahwa keintiman mereka hanya sebatas fisik bukan emosional. Pria itu akan kembali dengan kesibukannya, masuk kedalam dunia sepinya, dunia yang begitu gelap, keras dan tidak memiliki orang lain didalamnya. Dunia yang tidak menyertakan jiyeon didalamnya.
Wanita itu meneteskan air matanya, ditambah kepalanya yang pusing dan berat akibat kurang tidur dan juga pengaruh alkohol yang diminumnya. Dia mengintip tubuhnya dibalik selimut, merona saat menyadari tubuhnya telanjang dengan banyak bekas merah menempel disetiap kulit putihnya.
Jadi begini rasanya tidur bersama dengan pria yang tidak kau cintai
Jiyeon melilitkan selimut itu disekitar tubuhnya dan berjalan meninggalkan tempat tidur itu dan melangkah melintasi lantai karpet terbal, dia terdiam melihat dirinya dicermin. Dia masih terlihat melibatkan bercinta didalamnya, tanpa akhir yang bahagia. Wanita lain melakukannya setiap saat, mungkin dia pun juga bisa.
Mendengar suara pria itu dari ruang tamu, dia segera mengganti selimut itu dengan kimono handuk miliknya dan segera mengikuti arah suara itu. Pria itu sedang menelepon, jiyeon menatapnya dan berpikir pria itu bercinta hampir sepanjang malam, tapi itu tidak membuatnya berhenti bekerja. Dan sekarang dia juga berpikir apakah pekerjaan hanyalah sebagai pelarian dan bukan tujuan untuknya? Tempat untuk pria itu melarikan diri.
Hal pertama yang jiyeon lihat saat memasuki ruangan itu adalah tumpukan koran dimeja pendek diantara sofa, perutnya seakan mulas dan dia merasa mual hanya dengn melihatnya.
Inilah saatnya. Saat yang dia takutkan. Alasan melakukan sandiwara ini.
Apakah mereka memuat foto setengah telanjangku yang buruk itu?? Apakah karena itu myungsoo menelepon?
Nyaris tak berani melihat, dia duduk disofa dan menatap koran paling atas, mendorong diri sendiri untuk bernapas pelan-pelan. Koran itu salah satu tabloid. Jika ada koran yang memuat foto setengah telanjangnya, sudah pasti dia akan melakukan bunuh diri saat ini juga. Tangannya gemetar, dia meraih tabloid itu dan meletakkannya dipangkuannya. Tajuk utamanya terlihat buram dan tiba-tiba dia tidak ingin melihat, seakan-akan menunda.
"Tenang..tenang..tenang, Gwencana jiyeon, gwencana" bisiknya namun dia belum juga berani membaca tabloid itu
"tenang jiyeon, tidak apa-apa" suara pria itu tiba-tiba terdengar dan lembut "mereka memuat foto cantik dirimu dengan lengan yang melingkar dileherku. Judulnya Sang Jutawan Bertekuk Lutut atau sesuatu yang sama tidak imajinatifnya. Aku rasa kakekmu akan senang melihatnya"
"jadi rencanamu berhasil" jemari jiyeon membuka halaman itu dengan tangan gemetar "karena kita memberikan mereka kesempatan mendapatkan foto lain dengan cerita yang lebih menjual, mereka memilih untuk memuat foto lain. Terima kasih, gomawo" dia begitu lega sampai dia menitikkan air matanya "jongmal gomawo" dia menangis sambil menatap pria itu "aku tidak tahu, apa yang harus aku lakukan jika mereka memuat foto itu. Aku sungguh-sungguh berterima kasih padamu"
Otot rahang myungsoo berkedut "kau tidak perlu berterima kasih padaku, jiyeon" ucapnya menghapus air mata dipipi wanita itu
"ya, aku harus. Kau yang mempunyai ide memberi mereka cerita yang lebih menarik. Sementara aku akan berusaha untuk membayar mereka dan mungkin tidak akan berhasil, sebab aku rasa mereka akan terus merongrong untuk mendapatkan uang lebih"
Myungsoo memegang tengkuknya dan jiyeon melihat otot lengan atasnya yang lentur menunjukkan ketegangan yang tidak dia mengerti "jiyeon.."
"Kau tidak perlu mengatakan apapun" buru-buru jiyeon berkata "aku tahu ini baru hari pertama, dan mereka masih dapat menggunakan foto itu untuk edisi yang entah kapan, tapi aku tidak mau memikirkan itu sekarang. Kita akan menjalani hari per hari. Apa mungkin kita dapat memastikan mereka mengambil foto kita malam ini? Terus memberikan mereka sesuatu untuk dimuat, aku berjanji untuk tidak mabuk lagi, untuk tidak menari dimeja lagi. Apa yang akan kita lakukan sekarang?"
Myungsoo tidak langsung menjawab pertanyaan jiyeon mengalihkan perhatian kembali ke tabloid, membalik halaman sampai menemukan foto itu "aku tidak menyangkan mereka akan setertarik ini, semua halaman hampir memperlihatkan seluruh foto kita" myungsoo tersenyum "kita terlihat bagus. Benar-benar meyakinkan"
"sampanye sepertinya memunculkan sisi menarik lain darimu" myungsoo berkata lamban dan sepelan mungkin. Jiyeon menengadah dan melihat pria itu kini sedang menatapnya.
"aku memang mabuk, tapi tidak terlalu mabuk"
"Tapi kau masih perawan" bisik myungsoo menatap mata jiyeon lekat
Warna merah muncul di pipi wanita itu, kemudian dia duduk terdiam beberapa saat mencoba memikirkan respons yang tepat "lalu kenapa" bisiknya hampir tak terdengar
"mengapa kau tidak mengatakannya padaku?"
Apa itu alasan myungsoo tampak begitu tegang menatapnya?
"hal itu bukan sesuatu yang muncul begitu saja dalam percakapan kita semalam" kata jiyeon berusaha tenang "dan kurasa itu bukan masalah. kau membutuhkan wanita baik-baik. Jika para wartawan mengorek-ngorek masa laluku, mereka tidak akan menemukan apapun. Bukankah itu yang kau inginkan?" jiyeon mulai memperhatikan beberapa hal kecil tentang pria itu, seperti lengkungan tebal alisnya dan rambut gelap yang terlihat sedikit berantakan.
"kau bilang kau pernah bertunangan"
"ya.."
"tapi kau tidak melakukan hubungan fisik dengan Chanyeolmu itu?" nada bicaranya seperti orang yang tak percaya
"tidak!! Jika kau tahu bagaimana aku dibesarkan, aku yakin kau tidak akan sekaget ini" jiyeon menyibak rambutnya dengan tangan gemetar "aku sudah siap masuk universitas, tapi nenekku meninggal, aku tidak pernah tega melihat kakekku sendiri. Aku bekerja didesa dan bersekolah malam untuk belajar bahasa asing. Aku tidak ada waktu untuk melakukan hal semacam itu dan itu pun tidak mungkin aku lakukan dirumah kakekku, jikapun memungkinkan aku merasa itu tidak benar"
"tapi hubungan kalian kan tidak selamanya diawasi, pasti ada saat-saat kalian hanya berdua"
"ya, rasanya memang ada.." jiyeon terdiam "tapi tidak seorangpun dari kami..sejujurnya kupikir selama ini kita hanya berteman. Kami seharusnya jangan melangkah melebihi itu,namun kami seperti terbawa arus orang-orang disekitar kami"
"teman?" alis hitam myungsoo terpaut dalam kerut keheranan, dan jiyeon tersenyum berpikir betapa banyak yang telah dia pelajari tentang myungsoo dalam waktu singkat
"taruhan, kau pasti belum pernah berteman dengan seorang wanita manapun dalam hidupmu?"
"jika yang kau maksud dengan "berteman" berarti tanpa seks, jawabannya adalah memang tidak pernah. Jadi kalian bertunangan namun tidak pernah berhubungan intim."
"Aku rasa kami tidak pernah berpikir dan terburu-buru kearah sana"
"Tapi tadi malam kau sangat terburu-buru" ucap myungsoo lembut "atau kau akan menyalahkan sampanye atas perubahan dirimu dari perawan yang lugu menjadi wanita penggoda?"
Jiyeon menarik napas dalam. Malu atas ingatan tajam pria itu atas keputusasaannya semalam "tidak" jiyeon berkata pelan seperti berbisik "aku rasa itu semua karena kau"
Myungsoo tersenyum "mari kita uji terori itu" myungsoo menarik jiyeon berdiri dan getaran pengharapan melesat dalam diri wanita itu
"mwo?"
"Apa benar gara-gara sampanye, sehingga kau berubah menjadi berani jiyeon?" myungsoo menggumamkan kata-kata itu di bibir jiyeon. Matanya terpejam, detak jantungnya berpacu liar selagi berjinjit dan melingkarkan lengannya dileher pria itu. Tangan myungsoo bergerak turun ke punggung jiyeon dan menarik wanita itu merapat, ciumannya penuh dahaga dan gairah.
Jiyeon membuka mulutnya menyesuikan tuntutan myungsoo dengan tuntutan dirinya sendiri. Samar-sama dia menyadari seharusnya dia tidak merasa seperti itu. Mereka bercinta nyaris sepanjang malam, tapi dahaga yang dasyat didalam dirinya tak terpuaskan, seakan-akan mereka tidak pernah bersentuhan. Dia selalu mengharapkan lebih dari apa yang telah mereka bagi.
Myungsoo melepaskan mantel menuruni lengan jiyeon dengan tangannya yang percaya diri, dan kain handuk itu meluncur turun melewati pinggul jiyeon dan menggunduk dilantai.
"stop myungsoo!! Hari sudah terang" jiyeon dapat merasakan wajahnya memanas dan myungsoo tersenyum pelan saat mempererat pegangannya di bahu jiyeon dan perlahan memberikan jarak dengan wanita itu.
"aku tahu"
"Jangan menatapku terus seperti itu" gumam jiyeon "kau telah bersama banyak wanita yang sangat cantik.."
"dan tak satupun dari mereka dapat membuatku bergairah seperti yang kau lakukan" kata myungsoo dengan suara serak, membopong jiyeon kekamar "kau memilki wajah yang sangat cantik dan juga tubuh yang menakjubkan"
"Kau berpikir seperti itu karena kau dapat menggendong tubuhku yang gendut ini dan juga berat, kau kuat jadi kau tidak perlu membuat punggungmu cedera.."
"Hentikan ucapanmu yang tidak pernah merasakan percaya diri itu, kau sangat ramping jiyeon" myungsoo menurunkannya dikasur "sebagian besar beratmu di dada dan kau memiliki tungkai panjang yang mengagumkan dan aku tidak keberatan dengan kedua hal itu, maka tidak ada alasan bagimu untuk malu" myungsoo melepaskan kemejanya dan dengan gerakan luwes berbaring disebelah jiyeon "asal kau tahu jiyeon, aku belum pernah sekalipun bersama wanita yang belum berpengalaman sepertimu"
Kepercayaan diri jiyeon mulai goyah "apa itu menjadi masalah?"
"Tidak, sebenarnya itu justru membuatku semakin bergairah. Tapi mungkin aku akan mengejutkanmu" mata hitamnya menatap jiyeon cukup lama, kemudian ujung jarinya membelai sejumput rambut dari dahi jiyeon.
"Aku akan mengajari semua yang belum kau tahu, sayangku.."
Keraguan saat itu langsung berubah menjadi gairah tak terbendung ketika myungsoo menelusurkan bibirnya melewati rahang dan terus menurun sampai kepayudara jiyeon yang tak tertutupi apapun. Kenikmatan melejit dari dalam dirinya dan ketika jemari myungsoo yang lihai merayu puncak satunya lagi, siksaan itu meningkat menjadi teriakan.
Tanpa memperdulikan cahaya matahari yang menyinari ruangan, myungsoo menjelajahi tubuh wanita itu dengan segala cara yang dia bisa, memberikan jiyeon siksaan sensual dalam tingkatan yang paling tinggi, sampai akhirnya jiyeon membara, seluruh tubuhnya terbakar api yang myungsoo ciptakan. Tersiksa panas tersebut, jiyeon bermaksud menggeser tubuhnya untuk meredakan nyeri yang tak tertahan, tapi pria itu menahan tubuh jiyeon dengan tangannya yang bebas, menyalurkan seluruh pengalaman menggairahkan itu kebagian tubuh jiyeon yng paling intim sampai tak ada satu hal pun yang tersisa didunia wanita itu selain myungsoo dan perasaan-perasaan yang pria itu timbulkan.
Kewalahan, jiyeon menggeliat dan terisak "Please myungsoo..Oh Tuhan, bagaimana kau melakukan hal itu dalam waktu bersamaan?"
Myungsoo tertawa serak "sudah kubilang, aku mahir melakukan banyak hal pada saat bersamaan"
Dibutakan gairah, jiyeon nyaris tak sadar myungsoo bergerak dan menyatukan tubuh mereka dengan satu hentakan posesif yang memenuhi dirinya dengan sempurna. Kekuatan pria itu membuat jiyeon mencapai puncak dengan begitu instens, kuku jemarinya menghujam diotot bahu myungsoo sedangkan tubuhnya bergerak tak terkendali.
Myungsoo menangkap bibir jiyeon, menciumnya dengan penuh gairah yang perlahan-lahan membuat mereka berdua kearah puncak yang sama. Dan kali ini, ketika jiyeon sampai kesana, dia mengajak myungsoo bersamanya, ciuman mereka tak pernah lepas, berbagi setiap teriakan dan helaan napas, tubuh mereka saling terkunci dalam panas yang tercipta dari intensitas gairah.

PASSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang