Sang surya mengintip di ufuk timur, membuat bumi disinari oleh cahaya jingga. Daun-daun meneteskan embun ke tanah, hingga tercium bau khas tanah basah dipagi hari. Malika menggeliat kecil saat seseorang mencubit hidungnya. Dengan terpaksa, Malika membuka matanya perlahan.
"Bangun, Ka." Ternyata Sasa yang mencubit hidungnya, ia enggan melepaskan tangannya dari hidung mancung Malika.
"Hey, lepaskan! Sakit!" Malika menepuk tangan Sasa. Ia menggerutu sembari mengusap-usap hidungnya.
"Kamu nggak pernah gampang bangun, makanya aku mencubit hidungmu." Sasa bergumam, seolah ia bisa membaca pikiran Malika yang masih kesal karena hidungnya dicubit.
"Tapi nggak dicubit juga, Sa. Sakit tahu!" ujar Malika seraya mengambil pakaiannya dari dalam tas.
"Udah, cepetan mandi! Terus bangunin yang cowok," tukas Sasa.
"Tapi, Sa...."
"Apa lagi? Buruan mandi, nanti kesiangan!"
"Kamu yakin mau ke Tongkonan? Perasaanku nggak enak," tutur Malika, ia melemparkan pandangannya pada Sasa yang tengah asyik menulis.
"Kamu kenapa sih, Ka? Dari kemarin takut terus, nggak ada apa-apa di sana." Sasa masih fokus dengan buku kecil yang ada di hadapannya itu.
Malika hanya terdiam dengan wajah sedikit ketakutan. Dengan berat hati, ia melangkahkan kakinya untuk mandi dan segera bersiap.
***
"Pandu! Adit! Naufal! Bangun!" teriak Sasa.
"Apaan sih, Sa. Masih ngantuk nih," gumam Naufal sembari menarik kembali selimutnya yang ditarik Sasa. Sedangkan Pandu dan Adit hanya menggeliat kecil dan menutup kedua telinga mereka dengan bantal.
Sasa menghampiri Adit yang tidur di sisi kiri kasur. Ia menyingkap selimut Adit dan menarik lengan lelaki itu, "Cepat bangun!"
"Sa... aku masih ngantuk." Adit enggan membuka kedua matanya. Walau posisinya sekarang tengah duduk di tepi ranjang.
"Buruan! Ini udah pukul 8!" dengus Sasa.
"Baru pukul del... apa? Pukul 8? Gawat!" Adit segera bangun lalu berlari meraih handuk dan masuk ke kamar mandi.
Sasa masih memutar otaknya untuk membangunkan kedua sahabatnya yang masih tertidur pulas. Ia melirik sebuah gelas berisi air putih di atas nakas. Diraihnya gelas itu lalu ia menyiramkan air itu tepat di depan wajah Pandu dan Naufal.
"Sasa!" teriak mereka bersamaan saat merasakan air membasahi wajah mereka.
"Buruan atau aku ambil air satu ember buat bangunin kalian!"
***
Hening, gambaran yang tepat selama perjalanan mereka menuju desa Sanrobone. Tapi pikiran mereka tertuju pada satu hal yang sama. Kisah rumah adat Tongkonan Sanrobone. Entah mengapa, mereka terus dibayangi keadaan rumah adat itu.
"Pak, apa Bapak tahu tentang rumah Tongkonan Sanrobone?" tanya Pandu membuka pembicaraan.
"Saya tidak tahu tentang rumah adat itu, Nak. Saya bukan orang Takalar. Mungkin, kalian bisa tanya sama orang Takalar."
"Iya, mending kita tanya orang Takalar langsung. Biar lebih jelas," sahut Naufal.
"Pak, apa perjalanan masih jauh?" tanya Adit.
YOU ARE READING
SANROBONE
Short StoryCari tahu hal misterius pada kelima orang sahabat di Tongkonan Sanrobone.