Chapter 2

25 7 1
                                    

Beberapa menit sebelum berangkat....

Dari arah timur, arakan awan mendung beriringan dengan hilangnya raja siang. Tak ada rintik hujan yang jatuh, namun angin berhembus dengan kencang di antara dedaunan kering. Kala menatap langit, Malika mengrenyitkan dahi. Seolah-olah mereka dilarang oleh alam untuk pergi ke Sulawesi. Namun mengapa? Toh, mereka hanya ingin merilekskan pikiran sebelum sibuk dengan dunia perkuliahan atau kerja.

"Ka," panggil Sasa. Gadis berambut lurus itu mencolek pundak gadis di sebelahnya. "Sekarang sudah boleh boarding. Boarding pass-nya di Pandu, kan?"

Malika mengangguk lalu tertawa kecil. "Iya, tadi aku titip tiketnya ke dia. Lagi pula, aku nggak begitu paham cara naik pesawat."

"Ya sudahlah, yuk ikut keluar. Nanti kita ditinggal mereka," balas Sasa sembari menyandang ransel merah mudanya. Mereka bergabung dengan Pandu, Naufal dan Adit yang tengah bergurau dalam antrean.

"Tiketnya, Mas?" tanya seorang petugas di dekat pintu menuju jalan ke pesawat. Pandu segera mengeluarkan 5 boarding pass dan menyerahkannya.

"Untuk 5 orang, ya. Saya dan 4 orang teman di belakang saya," jelas Pandu sambil menunjuk teman-temannya. Petugas itu mengangguk mengerti lalu mengembalikan robekan boarding pass pada Pandu. Tanpa menunggu lagi, mereka berjalan menuju gate.

"Selamat datang pada penerbangan kami," ucap seorang pramugari di dekat kabin pesawat. Mereka berlima segera mencari tempat duduk sesuai nomor yang mereka dapat. Kebetulan, Pandu dan Naufal duduk berdua sedangkan Malika, Sasa dan Adit duduk di belakangnya.

Mereka memasang seatbelt sesuai dengan prosedur yang di buat oleh pihak pesawat terbang. Namun Pandu harus mengajari Naufal terlebih dahulu karena pengalamannya yang minim. Tak lama kemudian pesawat lepas landas. Malika memilih untuk tidur sedangkan Naufal dan Pandu asik bercengkrama.

Adit mulai bosan. Akhirnya ia mengajak bicara Sasa yang melihat-lihat isi majalah. "Eh Sa, tadi kamu lihat pramugarinya, nggak? Cantik banget, ya? Kulitnya putih."

Sasa merengut. "Dasar genit. Terus kenapa kalau Mbak Pramugarinya putih dan cantik? Kamu mau meledekku hitam dan jelek?"

"Nggak begitu maksudnya. Duh, kok kamu malah sewot, sih?" Adit mulai panik ketika Sasa memasang wajah juteknya. Saling mengenal sejak kecil membuatnya paham dengan perubahan mood drastis Sasa.

"Ya jelas sewot, lah!" jawab Sasa semakin sebal. Mampus, batin Adit. Ia mulai membujuk-bujuk Sasa yang masih saja menekuk wajahnya.

"Jangan!"

Sasa dan Adit kompak menoleh ke Malika. Gadis itu mengingau kata 'jangan' berulang-ulang. Wajahnya melukiskan gurat takut bercampur khawatir. Segera Sasa menguncang tubuh Malika, berusaha membangunkannya.

"Malika kamu kenapa?" tanya Sasa ketika Malika membuka matanya.

Malika melengkungkan bibirnya paksa. "Aku nggak kenapa-napa, kok."

Sasa dan Adit hanya berpandang-pandangan lalu mengangkat bahu tak acuh. Mungkin Malika bermimpi buruk, pikir mereka. Malika menatap jendela yang tepat berada di sebelahnya. Langit tampak cerah, namun ia masih saja khawatir akan suatu hal yang bahkan tak ia ketahui.

---

"Akhirnya sampai juga!"

Sasa dan Pandu hanya tersenyum maklum. Bagi mereka, berpergian dengan pesawat merupakan hal lumrah. Namun bagi ketiga temannya yang lain, ini adalah kesempatan yang langka.

Adit mendorong troli yang berisi koper-koper mereka. Untuk perjalanan ini, mereka sengaja menyiapkan baju tak begitu banyak. Pertama, jika membawa terlalu banyak pakaian, orang tua mereka akan curiga. Kedua, mereka tidak ingin kesulitan saat berpergian.

SANROBONEWhere stories live. Discover now