Chapter 5

20 6 0
                                    

Malam gelap gulita menemani kesendirian Malika di penginapan. Ia benar-benar syok atas semua kejadian yang menimpanya selama kurang dari satu hari ini.

Entah sudah gelas keberapa yang ia teguk setelah dua kali kembali dari toilet. Membuat semua yang terjadi seharian ini terus terputar di otaknya.

Mulai dari ia pertama kali masuk. Adit yang sedang ditolong Sasa. Jasad Adit ditemukan di peti mati. Sasa yang Mati entah kenapa. Naufal yang mati karena buang air kecil sembarangan dan tidak memercayai mitos yang beredar. Dan juga, Pandu yang mati ngak jelas sama seperti Sasa.

Yang ia bingungkan, kenapa hanya ia yang tidak terbunuh? Ia lebih memilih mati, dibandingkan sakit mental yang tak ada hentinya.

Sembari meminum air, ia terus berucap Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa?

Penjaga penginapan yang menemani Malika--karena Malika sendiri yang minta--pun merasa kasihan. Ia hanya bisa mengintip dari balik gorden coklat tua berpadu coklat bunga dengan motif yang senada.

Malam semakin larut, mata Malika sama sekali tak ingin terpejam. Setiap ia ingin tertidur, ia selalu dibanyangi oleh semua temannya yang telah mati.

Ia membulatkan keputusannya untuk ke kamar sebelah yang ditiduri oleh sang penjaga penginapan milik Pandu ini. Malika berjalan gontai. Ia benar-benar seperti mayat hidup. Dengan mata yang bengkak habis menangis sewaktu pulang dari rumah sialan itu. Kulit putih pucatnya menampakkan urat-urat kehijauan.

Tok tok tok

Seorang wanita berumur 40-an, muncul dari balik pintu kayu yang dicat coklat gelap. "Kenapa, nak? Kamu baik-baik saja?"

Malika menunduk. Ia bahkan tak kuasa untuk berucap. Mata sembab, dan hidung merahnya, serta baju acak-acakan telah terlihat jelas bahwa Malika tidak sedang baik-baik saja.

"Masuklah," ucap wanita itu sambil menggiring Malika masuk.

"Sudahlah, ini semua sudah terjadi. Ini semua sudah takdir, mereka ditakdirkan mati di sana. Itu sudah ketentuan dan perjanjiannya dengan Tuhan mereka. Jadi apa yang mau disalahkan?" ucap wanita itu dengan lembut. Ia juga menuntun Malika naik ke tempat tidur dan menyelimutinya bak ibu sendiri.

Malika merenung. Ia menatap langit kamar dengan pandangan kosong. "Lalu, apa yang harus kukatakan saat aku pulang nanti? Kami ke sini secara sembunyi-sembunyi. Saat aku pulang nanti, pasti aku yang disalahkan."

Wanita paruh baya yang biasa dipanggil Dg. Sambara, itu tersenyum. "Kudengar, Kepala Desa di sini sudah berulang kali mengajukan surat permohonan penghancuran terhadap rumah itu, tapi selalu ditolak. Pemerintah setempat tidak setuju, karena memurut orang-oramg pemerintahan, alasan yang kami masukkan sangat tidak masuk akal."

Malika lalu menatap Dg. Sambara. "Lalu apa yang harus kulakukan?"

Masih dengan senyumnya yang lembut dan menenangkan. "Bisa tidak, kamu memanggil semua orang tua teman-temanmu, juga termasuk orang tuamu. Lalu menyuruhnya ke kantor Bupati untuk mendampingimu menjadi saksi. Supaya nanti tak ada lagi korban yang berjatuhan. Jika kamu setuju, nanti aku akan menceritakan semuanya dengan kepala Desa agar kita semua dapat bekerja sama."

Malika menunduk. "Apakah dengan begitu, mayat semua temanku bisa ditemukan?"

"Kita berdoa saja."

* * *

Air dingin, udara dingin, badan dingin. Dedaunan yang berembun menyambut pagi Malika. Matahari seolah tersenyum menyambut bangunnya Malika, tapi Malika sama sekali tak bersemangat. Ia cenderung sedih.

SANROBONEWhere stories live. Discover now