PROLOG

31 1 1
                                    

• p r o l o g •


•••••

Puncak, Bogor,
16 Juni 2014.

Semilir angin sedari tadi menerpa wajah gadis itu, membuat rambutnya berterbangan tak tentu arah. Hawa dingin mulai menyelinap masuk dari sela-sela selimut cokelat bludru yang ia lilitkan di tubuhnya. Untuk kesekian kalinya ia mengecek teleskop, berharap awan hitam diatas sana bergeser menjauh sehingga ia bisa memandangi bintang-gemintang. Namun, itu malah tak sesuai yang ia harapkan, awan itu tetap menggantung disana, tak membiarkan gadis itu melihat kemilau bintang-gemintang malam ini.

Ia menjauhkan dirinya dari teleskop dan memandang kesal pada gulungan awan hitam itu. Namun, alih-alih putus asa dengan hal itu, ia malah berjalan mendekati balkon, kedua tangannya memegang birai balkon yang dingin, sedangkan kepalanya mendongak keatas.

"Aku tahu malam ini memang bintang-bintang lagi gak kelihatan," ucapnya, seakan-akan ada seseorang diatas awan sana yang sedang mendengarnya.

"Aku gak nyalahin kamu kok, awan." Lanjutnya sambil tersenyum simpul.

"Walaupun ada gumpalan awan yang ngehalangin aku dari kalian, aku gak bakalan absen curhat kok kali ini," gadis itu menarik tangannya dari birai balkon, lalu ia menyilangkanya didepan dada sambil memegang selimut itu erat. Nampaknya ia baru merasakan dinginnya angin malam ini.

"Aku senang sekali hari ini." Gadis itu tersenyum lebar, rona bahagia di wajahnya sangat nampak.

"Bintang. Aku baru saja berkenalan dengan cowok Prancis, lho," Gadis itu menundukkan wajahnya dan terkekeh kecil, lalu kemudian ia mendongakkan kepalanya kembali.

"Namanya Xanderis Blanc. Dia cowok yang friendly, punya pemikiran yang terbuka, pengetahuannya luas dan dia tidak banyak basa basi seperti cowok kebanyakan. Tau gak, Bin? Tadi aja aku tuh baru selesai diskusi tentang aborsi yang di legalkan di Meksiko! Dan tebak apa? Aku suka opini-opininya, kayak aku bilang tadi, pemikirannya luas." Ucap gadis itu dengan riang dan lalu tersenyum senang. "I adore him so much, little star." Mata hitamnya memandang langit pekat itu penuh arti, pertanda ia sangat serius dengan perkataannya.

"Kamu tahu kan, aku suka sama cowok yang pemikirannya luas, open minded. Bukan sama cowok yang bisanya gaya doang, tapi otaknya kosong dan itu yang buat dia beda, Bintang," mata gadis itu berbinar menatap gumpalan langit hitam dan senyum di wajahnya. Ia menghela nafas sekali lagi.

"I adore him." Lirihnya kali ini, ia menutup mata dengan kepala yang masih mendongak pada awan, membiarkan terpaan angin membuai wajahnya sebagai respon dari bintang-gemintang yang tertutup awan.

     "Sagita!" Langkah kaki di tangga dan seruan seseorang mengagetkan gadis bernama Sagita itu. Kedua orang taunya memang sengaja memberi nama Sagita, kependekkan dari nama rasi bintangnya, Sagittarius.

"Iya ma?" Sagita segera masuk kedalam kamarnya ketika mendengar seruan mamanya--Anindia, memanggil. Ia tidak ingin Anindia tahu bahwa ia sedari tadi berada di balkon menikmati bintang--lagi. Maklum saja, gadis itu sangat rentan sakit. Bahkan, jika ia terlalu lama mengamati bintang-bintang di balkon, bisa di pastikan besoknya ia akan masuk angin.

"Kirain udah tidur," Anindia kini berdiri tepat di pintu kamar anak perempuannya.

"Mama bawa martabak spesial cokelat keju, kalau mau ke bawah aja ya."

"Iya, ma." Jawabnya dengan senyum simpul.

"Ya udah. Eh, tapi itu kenapa pintu balkon kamu ke buka?" Anindia memandang curiga ke pintu balkon itu.

Mampus, batin Sagita.
"Oh, itu tadi panas. Iya, panas. Jadi aku buka deh," Sagita menampilkan cengiran andalannya sambil berharap-harap cemas Anindia tidak akan curiga.

"Oh gitu. Nyalain aja AC nya. Angin malam tuh gak bagus loh, Git." Anindia melirik AC di kamar Sagita yang dalam kondisi mati.

"Ok, ma." Gadis itu mengacungkan jempol tangan kanannya.

"Ya udah, mama ke bawah ya." Anindia pun beranjak dari depan kamar Sagita turun ke bawah.

Fyuh, Sagita mengelus dadanya merasa tenang. Ia beruntung kali ini Anindia tidak memergokinya seperti biasa.

•••••

18 September 2014
Puncak, Bogor.

Sore itu, ditemani hujan rintik dan kabut yang agak tebal, Sagita duduk di halaman belakang rumahnya. Memandang hamparan kebun teh di temani secangkir cokelat panas dan biskuit cokelat buatan eyangnya--Indrawati.

Dalam balutan sweater abu-abu dan sweatpants hitam, ia bergelung diatas single sofa berwarna merah marun, tempat favoritnya saat ia duduk di halaman belakang. Disisi kanannya, terdapat meja kecil yang diatasnya ada secangkir cokelat panas dan sepiring kecil biskuit serta ponsel yang sedari tadi ia pandangi.

Setelah memandangi ponselnya tanpa henti, akhirnya benda pipih itu mengeluarkan suara khas tanda pesan masuk. Tanpa aba-aba, ia segera meraih ponsel itu dan membuka isi pesannya.

Entah ini sudah keberapa kalinya gadis itu tersenyum senang dengan semburat kemerahan di kedua pipinya. Siapa lagi jika bukan Xanderis Blanc? Lelaki asal Prancis yang sudah empat bulan kebelakang ini menemani hari-hari Sagita lewat pesan-pesan yang ia kirimi.

Sagita masih tidak tahu mengapa lelaki ini sangat manis sekali dengan semua pesan-pesan yang ia kirimkan pada dirinya. Pantas saja, setiap hari pasti ia akan tersenyum senang seperti ini.

Tapi sayangnya, walaupun hampir setiap hari Xander mengirimkan pesan-pesan romantis dengan kata-kata yang manis pada Sagita, nyatanya mereka belum berpacaran. Namun, bukan berarti Sagita terlalu berharap akan hal itu, karna dengan hubungannya yang seperti ini pun ia sudah merasa bahagia. Walaupun ia tidak tahu apa nama hubungannya kali ini, karna apa yang selama ini mereka jalani bahkan lebih dari seorang teman. Xander juga mengatakan bahwa Sagita adalah orang yang sangat ia hargai, sama seperti sahabat-sahabatnya disana. Dan bagi Sagita sendiri, mungkin Xander lebih seperti PDKT-an yang belum jadian? Oh ayolah, ini baru empat bulan, tentu saja itu waktu yang terlalu singkat untuk menyatakan perasaan pada seseorang, apalagi jarak kami yang jauh dan tidak bisa bertemu satu sama lain. Setidaknya itu yang ada di dalam pikiran Sagita.

"We'll meet each other, don't worry." Bisiknya seraya menyentuh tombol send di ponselnya.

Walaupun bukan sebagai kekasih, tentu keduanya sangat ingin bertemu satu sama lain. Entah sudah keberapa ratus kalinya mereka selalu berjanji untuk akan bertemu suatu saat nanti. Entah kapan, namun keduanya yakin mereka pasti bertemu.

Dan semoga saja semesta merestui niat mereka berdua.

•••••


16 Juli 2016.

STARGAZETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang