10 - With a First Fight

40.6K 5.4K 853
                                    


Chapter 10 – With a First Fight

Luna tahu dia sedikit gila karena menerima tawaran pulang bersama seorang Mika. Hanya saja di saat seperti ini Luna harus bersikap realistis. Mana mungkin Luna ingin menunggu hujan reda, sementara sekarang hujan menyambar-nyambar bumi dengan dahsyatnya. Masih banyak pekerjaan yang harus Luna selesaikan di rumah. Dan membuang waktu di sini adalah hal paling buruk.

"Santai aja sih, mukanya nggak usah tegang kayak gitu. Lebay banget," sahut Mika sembari mengetuk-ngetuk stir mobil di depannya.

Di luar sana hujan menampar kaca mobil Mika, menimbulkan suara yang membuat Luna bergidik takut. Luna selalu takut akan hujan, meskipun berkali-kali dia berpikir bahwa tanpa hujan, dia tidak bisa mandi, minum, dan bahkan makan. Mau seberapa besar Luna memikirkan manfaat hujan, dia tetap saja takut.

Mika melirik ke arah Luna dengan pandangan tanya. Lalu ketika tahu jawabannya, Mika hanya terkekeh geli. "Orang haus tenar kayak lo ternyata takut hujan."

Gigi Luna bergemeletuk saat menjawab. "L-Lo sendiri, bisanya mainin hati cewek aja."

"Gue bukan pihak yang mutusin," timpal Mika langsung. "Sebaiknya lo tanya ke temen lo. Kenapa dia mutusin gue?"

"Udah jelas karena beda agama!" seru Luna. "Pinter banget sih, jadi orang."

"Terus lo mau gue gimana? Pindah agama?"

Mika menatap Luna sekilas dan sejenak, Luna melihat kilat terluka di kedalaman mata Mika. Seolah kata-kata Luna tadi menyakitinya. Dia tidak pernah tahu bahwa laki-laki bisa sangat mencintai perempuan seperti perempuan mencintai laki-laki.

Terjadi hening yang menyesakkan untuk beberapa saat sebelum akhirnya Mika menghela napas dan bersandar. "Kenapa lo sama Juna putus?" tanya Mika kemudian.

Luna terdiam. Jemari tangannya tertaut. Bulir keringat bermunculan di sana menandakan bahwa sekarang dia gugup.

"Gue... gue bohong sama dia. Selama ini, gue cuma jadiin dia bahan taruhan," tangan Luna terkepal. "Tapi bukan gue aja yang main kotor. Dia juga jadiin gue bahan taruhan sama temen-temennya, termasuk lo!" kali ini mata Luna menatapnya ganas. "Tapi pada akhirnya, bukan gue aja yang jatuh cinta. Trus kenapa kita nggak bisa bersama?"

Lagi-lagi suasana hening. Hanya hujan yang masih setia menjadi pengisi suara di antara dua jiwa lemah yang patah hati.

"Juna bukan tipe orang yang bisa bareng sama orang yang dia jadiin target, objek, atau games aja," sahut Mika pelan.

"Brengsek," sergah Luna langsung. Tangannya memukul kedua bahunya sendiri sementara matanya mulai berair. "Brengsek! Brengsek!"

"Sabar, Bos," balas Mika berusaha bercanda, tapi itu tidak berhasil pada kasus Luna sekarang.

"Bilang ke temen lo kalo gue nggak mau ketemu sama dia lagi!"

"Kayak dia mau ketemu sama lo aja."

"Lo juga," cecar Luna sambil menatap Mika sinis. "Brengsek."

Mika meneguk ludah. Luna lebih seram dibanding yang ia pikir. Mika kira, cewek itu hanyalah cewek haus perhatian dan kebelet eksis. Selain tegar, Luna juga sabar menghadapi Juna dan masalah finansialnya. Mika tahu kalau Luna belum lunas membayar SPP dari temannya, Mou, itu pun Mika tidak sengaja dengar.

"Ya, maap," timpal Mika melirik takut-takut ke arah Luna.

Tangan Luna saling menyilang dan pose itu sungguh seperti anak-anak yang merajuk kepada orangtuanya. Mika jadi pengin tertawa. Dia kangen Mama.

"Kalo orang minta maap itu dimaapin dong," Mika mencoel pipi Luna, tapi cewek itu langsung menepisnya lalu menatap Mika dengan melotot.

"Singkirin tangan kotor lo! Penuh bakteri, tau nggak," jerit Luna. "Fokus nyetir, sana."

"Udah untung gue kasih tumpangan," gumam Mika sebal, bibirnya mencebik.

"Udah untung gue jadi pawang setan. Lo sebenernya takut kalo nggak ada gue, 'kan! Sana ditemenin sama setan-setan lo aja."

Skak mat.

"Ye, gitu banget sih Nyai," keluh Mika.

"Gue udah capek didatengin pas orang-orang lagi butuh aja. Rasanya gue pengen sumpelin tai ke mulut mereka."

"Languange, Love."

"Baru ketemu udah bilang love, hah! Lo sama Juna sama aja," kali ini Luna menjewer kuping Mika sampai cowok itu mengaduh kesakitan.

Luna mendengus. Seharusnya dari awal dia tidak perlu menerima tumpangan dari Mika. Luna tahu jadinya akan seperti ini. Dia hanya menghabiskan tenaganya berurusan dengan cowok menyebalkan kayak Mika.

"Gue sama Juna beda. Gue sukanya Ana, dia sukanya lo," kekeh Mika.

Kali ini Luna tidak ingin membalas. Dia menurunkan sandaran kursi dan membalikkan kepalanya. "Kalo udah sampe bilang aja."

"Siap, Bos."

"Eh tapi tunggu," sergah Luna tiba-tiba. Dia menaikkan kembali sandaran kursi dan memandang Mika dengan mata menyipit. "Gue belum bisa percaya sama lo. Nanti gue malah dibawa kemana-mana."

"Apa muka gue keliatan kayak penzina?" tanya Mika sebal.

"Percaya sama gue, Mik, muka lo lebih daripada itu," balas Luna, kemudian menghadap lurus ke depan. "Terus jalan."

"Ya emang dari tadi ini jalan, Nyai."

"Gue turun, nih," ancam Luna. "Gue turun dan lo ketakutan sampe kencing di celana."

"Ampun, DJ."

"Mika!"

"Iya, Sayang!"

Luna menabok dahinya pelan. Ini belum satu jam dan urgensinya untuk menggorok leher Mika sudah muncul. Dia kembali menurunkan sandaran kursi lalu menunjuk leher Mika.

"Kalo lo berani ngapa-ngapain gue, awas aja," dengan kukunya yang lumayan panjang, jari Luna bergerak seolah ingin memotong leher Mika. "Mati."

"Astaghfirullah, tenang aja, gue nggak doyan!" decak Mika. "Udah sono tidur, gue tau lo capek kerja."

Kali ini Luna memonyongkan bibirnya. "Ck, nggak usah sok perhatian."

Luna pun membalikkan badannya dari Mika. Masih bisa terdengar dumalan Mika tentang Luna yang lebih ganas dibanding banteng. Dan entah kenapa, dalam tidurnya, Luna malah tersenyum.

Luna lupa soal dirinya yang takut hujan kemudian terlelap.

A/N

Akhirnya update!!! YEAYYYYYYY.

Started With A Broke(s) UpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang