1-Jengah

130 12 1
                                    

"Mau sampai kapan kamu begini terus? Sampai kami mati jantungan karena ulahmu itu hm?"

Aku memutar bola mataku, pria ini mulai lagi. Mengomel, lalu berceramah tentang betapa berharganya hidup ini jika di sia-siakan dengan kegiatan anak remaja yang-blablabla. Aku sudah terlalu hafal dengan perkataannya yang membuatku jengah.

"Sudah ayah bilang--"

"Berhentilah bicara seolah kau ini benar-benar ayahku. Aku benci omong kosongmu."

Aku berdiri dari kursi dudukku, kemudian melangkah lebar meninggalkannya sendiri -yang aku yakin kini tengah memijit pelipisnya-. 

Aku lelah. Dan aku membencinya. Sungguh-sungguh membencinya. Semua omong kosong ini cukup untuk membuatku muak hidup di dunia ini.

Aku menutup pintu kamarku dengan dorongan keras hingga menimbulkan suara gaduh yang cukup untuk mengganggu pendengaran. Ku lempar tasku ke kasur, kemudian mulai menanggalkan seragam bodohku untuk menuju bathtub yang menggiurkan tempat pelampiasan stressku.

Robbers milik the1975 mengalun di tape dengan volume yang kubuat keras. Biar saja mereka mengeluh. Apa peduliku?

Setelah bathtub terisi dengan gumpalan busa, kucelupkan tubuhku kedalamnya hingga tersisa setengah dari kepalaku menyembul keluar. Kupejamkan mataku, dan semua masalah ini mulai terurai satu per satu di dalam kepalaku.

Siapa yang menginginkan semua ini terjadi? Tidak ada. Bahkan aku tak pernah membayangkannya.
Ayah tiri yang otoriter, ibu yang tak acuh, dan bahkan saudara tiri yang jauh menyebalkan dari asuhan Nanny McPhee. Sialan. Aku benci mereka.

Ayahku meninggal dalam kecelakan sehari setelah ia mendapati fakta bahwa ibuku berselingkuh dengan Gerald, yang kini menjadi ayah tiriku. Ayah sangat tertekan, apalagi ia sedang ada masalah dengan atasannya yang mengancam akan memutus hubungan kerja apabila tugas-tugas tak segera tepat deadline. Usiaku baru sebelas saat itu, dan pekerjaan ayah terbengkalai karena aku.

Saat itu wabah flu sedang menyerang kotaku dan aku pun terkena imbasnya. Aku demam tinggi hingga hampir seminggu hanya berbaring di kasur. Ayah sudah berkali-kali membawaku ke dokter, dan demamnya hanya turun sebentar, kemudian akan menyerang lagi jika imunku lemah. Dan ibu yang tak becus pergi tanpa ada kabar.

Dan benar saja. Ketika keadaanku sudah membaik, ayah hanya berhasil menyelesaikan separuh tugasnya saat deadline, dan seketika itu juga ia mendapat surat pemutusan hubungan kerja pegawai besar-besaran. Ayah sangat tertekan. Aku tahu itu walau ia tetap bertingkah baik-baik saja di depanku. Dan ibuku? Benar-benar menghilang tanpa ada kabar. Sejak saat itu aku sangat membencinya yang tidak ada di sisi ayah.

Ayah pria yang baik. Dan aku sangat mencintainya. Ia tetap bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sekolahku. Aku bersyukur bahwa aku adalah anak tunggal hingga tak begitu membebani ayah. Ia akan berada di rumah ketika aku pulang sekolah dengan beberapa masakan yang aku yakin sangat asin, namun tetap terasa enak ketika kumakan. Dan aku sangat tidak peduli dengan bagaimana kabar ibuku. Aku sudah cukup bahagia dengan ayah.

Hingga suatu hari ayah nampak sangat murung dan terbebani. Entah mengapa. Ketika kutanya, ia hanya menjawab kelelahan, dan beberapa alasan untuk membuatku tak khawatir. Aku tetap bertanya padanya apa yang ia sembunyikan, hingga jawabannya hanyalah sebuah senyuman dan kata 'ayah baik-baik saja' terlontar dari mulutnya.

Sehari setelahnya, adalah hari minggu dimana ayah berpamitan untuk pergi beberapa hari. Ia bilang telah diterima di sebuah perusahaan kelapa sawit di luar kota, dan itu membuatnya tak ada dirumah untuk beberapa waktu. Aku mengiyakan. Aku juga sudah cukup dewasa untuk bisa merawat diriku tanpa ayah dan berpikir ayah juga pasti akan pulang.

Namun itu semua salah. Hanya pemikiran bodoh seorang bocah berusia sebelas yang tidak tahu apapun. Dan tanpa kusadari, itu adalah ucapan selamat tinggal ayah untuk terakhir kalinya. Ia mengalami kecelakaan beruntun akibat rem blong dari sebuah kontainer. Ayah meninggal ditempat setelah mobil terlempar beberapa meter dari tempat kecelakaan. Dan ketika berita itu sampai ke telingaku, aku seperti orang gila. Bukan seperti, aku memang sudah gila.

Semuanya hancur. Kemarahan dimana-mana. Kebencian meliputi diriku. Kebencian bahwa mengapa aku tak ikut saja dengannya? Biar tak usah aku hidup dalam kesakitan. Dan merasa benar-benar ditinggalkan.

Hari itu, usai pemakaman, satu lagi fakta yang kutemukan ketika membersihkan kamar ayah. Fakta pahit yang membuatnya menjadi murung adalah beberapa lembar foto tentang istrinya-aku benci menyebutnya ibu- dan seorang lelaki bernama Gerald. Atasannya. Tengah saling merangkul, bercumbu, dan hal menjijikkan lainnya. Ditambah sebuah undangan pernikahan dan sepucuk surat kusut yang kurasa telah di remas oleh ayah. Dengan enggan aku membuka surat itu terlebih dahulu,

Aku sudah muak. Kini aku bahagia dengannya. Kami serasi kan? Undangan sudah ada ditanganmu. Dengan berat hati kuharap kau mau datang. Oh ya. Lisa akan kuambil.

Tertanda,

Meggy.

Aku membuka undangan berwarna marun itu dengan tangan bergetar, lalu melihat nama wanita itu bersanding dengan nama pria asing yang tak kukenal sebelumnya. Gerald Anthony Jefferson. Pria yang membuat keluargaku kacau.

Kulempar undangan itu kearah tembok, lalu mulai berteriak histeris memanggil ayah. Aku takut. Aku merasa marah. Mengapa ayah harus mengalaminya? Mengapa keluargaku? Kutarik rambutku dan menangis sekencangnya diikuti teriakan yang terus terlontar dari mulutku.
Kurasakan bibi Mery memelukku erat sambil membisikkan kata-kata untuk menenangkanku, namun aku terus meronta dan berteriak. Meluapkan amarah yang tersisa hingga aku tertidur dalam pelukan bibi Mery karena kelelahan menangis.

Esoknya, sebuah cerita mengalir dari bibir Mery ketika aku bangun dan memaksanya bercerita mengenai ayah ibuku. Biby Mery adalah adik ayah satu-satunya, dan mungkin hanya ia yang masih peduli padaku. Saat itu, ia mengatakan bahwa sebenarnya ayah dan ibuku telah bercerai. Dan mereka sama sekali tak memberitahuku akan hal itu. Membuatku berfikir bahwa ibu benar-benar tega meninggalkanku walau nyatanya memang ia tega. Bibi bilang bahwa ibu sudah muak dengan ayah. Entah karena apa. Dan itu membuatku sedikit mengerti akan keadaan mereka.

Lalu ia bilang ia tak bisa mengasuhku, karena ibuku akan segera menjemputku. Aku marah padanya. Mengapa tak ia beri alasan saja bahwa aku sudah mati bersama ayah? Karena kufikir lebih baik begitu daripada harus tinggal dengan wanita yang paling kubenci. Namun bibi menolaknya. Ia bilang menyayangiku dan ingin aku hidup dengan baik ketimbang tinggal dengannya dan suaminya yang hanya sebatas peternak. Dan aku tak bisa mengelaknya lagi hingga kini aku terkurung di tempat terkutuk ini.

Aku membuka mata, merasakan keheningan yang mengerikan hingga menusuk rongga dadaku. Tape ku sudah mati entah beberapa menit yang lalu. Kurasakan pipiku lembab, dan segera kubasuh air asin itu dengan air busa di bathtub. Aku sedang enggan menangis, namun tanpa kusadari aku telah menangis.

Aku segera membasuh tubuhku dan mengeringkannya, lalu kembali berpakaian dan ingin cepat-cepat tidur. Kepalaku mulai terasa sakit akibat mengingat itu semua.

Ketika piyama sudah menempel ditubuhku, kurebahkan tubuhku di kasur, kemudian menarik selimut hingga menutup tubuhku dan mulai terlelap dalam keheningan malam yang menyiksa.

EUNOIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang