4-Dia

76 11 5
                                    

Aku duduk di bangku sebuah taman dekat sekolah yang cukup lengang, kemudian membuka novel milikku yang belum selesai kubaca sampai habis. Rasanya begitu menyenangkan setelah dapat melarikan diri dari Kendrick, satpam menyebalkan yang selalu memasang wajah tegang tanpa senyum. Aku sempat berfikir bahwa mungkin ia kurang liburan dalam hidupnya makanya jadi kurang tersenyum? Entahlah.

Jalan favoritku untuk membolos adalah tembok belakang toilet, karena Kendrick jarang sekali berpatroli hingga kesana. Namun tadi ketika aku hampir saja memanjat, ia sudah ada disana dengan tampangnya yang garang beserta gardu miliknya. Dan dengan segera aku melarikan diri ke gerbang utama yang untungnya tak ada penjaga lain karena Kendrick satu-satunya satpam disini. Aku tetap berlari dengan Kendrick yang setia mengejarku di belakang, namun syukurlah aku berhasil lolos.

Sampai akhirnya disinilah aku. Menikmati keindahan taman yang segar dan sejuk. Tak lupa suasana tenang yang melingkupi sekitarnya.
Aku menghirup udara segar dalam-dalam, lalu melanjutkan kegiatan membacaku. Persetan dengan orang-orang yang menatapku aneh karena memakai seragam namun tidak berada di sekolah.

"Membolos ya?" sapa seseorang yang kini duduk di sampingku. Aku menoleh kearahnya yang kini tersenyum kecil dengan buku-buku tebal di pangkuannya.

"Sedang apa disini?" tanyaku seraya menatapnya heran. Ini baru jam delapan pagi dan apa yang ia lakukan disini? Mustahil kan kalau membolos?

Bukannya menjawab, ia malah tersenyum dan menunjuk buku di tanganku,

"Thriller?"

Aku meliriknya aneh sebelum kemudian mengangguk. Setelah itu mengabaikannya dan kembali membaca buku milikku. Namun sebelum itu kulirik kearahnya yang kini tengah terdiam seraya membenahi kacamatanya, lalu seperti mengabsen buku di tangannya. Atau membaca judulnya? Entahlah.

"Apa kau ini tidak punya teman? Kuamati sejak kita bertemu kau selalu sendiri." tanyaku memecah keheningan. Aku tak mengalihkan pandanganku pada halaman novelku yang kini telah memasuki bagian seru. Namun dapat kurasakan dari sudut mataku ia menoleh kearahku, terdiam cukup lama sembari mengamatiku, dan menjawabnya cepat.

"Apa kau fikir ada yang mau berteman denganku?" tanyanya balik.

Aku menaikkan kedua alisku, lalu menatapnya. "Memangnya kau ini kenapa? Sakit menular? Makhluk buas? Siluman? Vampir? Mengapa tidak ada yang mau berteman denganmu?"

"Mungkin mereka berfikir aku semacam itu." jawabnya dengan nada dingin yang entah mengapa terasa sangat aneh dalam pendengaranku.

Aku memutar bola mataku, lalu mendengus

"Bodoh." gumamku pelan. Ia sempat terkekeh mendengarnya, dan terdiam lagi.

Kemudian, tak ada yang membuka percakapan diantara kami. Aku yang membaca novel--atau lebih tepatnya berpura-pura membaca, karena fikiranku sudah enggan diajak masuk ke dalam cerita. Dan dia yang sibuk berdiam diri.

Dengan hati-hati ku pandang ia dari samping, mengamatinya dengan teliti walau aku sempat khawatir kalau ia menyadarinya.

Rambutnya berwarna cokelat gelap yang berubah terang jika terkena bias matahari seperti kemarin ketika aku berjalan dengannya usai dari toko buku. Rahangnya nampak kokoh dengan sedikit bakal janggut yang tak kentara. Kemudian mataku mulai naik menuju bola matanya yang berwarna biru jernih. Aku merasa tenggelam tiap kali menatap bola matanya, entah mengapa.

Turun ke tubuhnya, ia memiliki tubuh yang tegap dan sangat tinggi. Bahkan aku hanya setinggi lengannya. Aku sempat berfikir bahwa ia sungguh bukan tipe anak nerd. Jika saja ia bisa bergaya seperti James atau Edwin--raja terseksi atau tertampan di sekolah versi cewek di sekolahku (kecuali aku) mungkin ia bisa menjadi raja ketiga. Namun sepertinya itu mustahil mengingat gayanya yang sangat culun dan kutu buku.
Bahkan penampilan dan wajahnya sangat kontras.

EUNOIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang