5-Monster

57 8 4
                                    

Dean tengah berdiri di depanku dengan senyum anehnya yang memuakkan, membuatku bergidik dan benakku di penuhi tanda tanya. Bagaimana ia bisa berada di sini sementara terakhir kali aku melihatnya ia sedang duduk di kursi menyesap cappuchino.?

"Mau pulang sendirian?" tanyanya.

Suaranya terdengar berbahaya dan firasatku benar-benar buruk saat ini. Sialan. Aku mulai menyesal meninggalkan Gwen.

"Ya. Minggirlah aku ingin lewat." jawabku cepat.

Bukannya memberi jalan untukku, ia malah melangkah mendekatiku. Membuatku refleks melangkah mundur dengan gemetar.

"Mau apa kau?!"

"Kau tahu? Rasanya sudah lama aku tidak bertemu yang seperti ini." ujarnya dengan suara yang menggema. Aku semakin dibuat bingung dengan omong kosongnya.

"Bicara apa kau ini. Menyingkirlah." teriakku. Tanganku mulai bergetar ketika ia semakin mendekat memojokkanku. Aku sebenarnya benci menampakkan ketakutanku, namun justru suaraku yang bergetar jelas menunjukkan jika aku sedang ketakutan. 

Ia tetap mengabaikanku dan melangkah maju, membuatku tehimpit ke tembok di belakangku. Kepalaku mencari-cari ke segala arah untuk menemukan sesuatu yang bisa kugunakan sebagai senjata, namun sialnya tak ada yang bisa ku temukan. Aku ingin menjerit sekarang.

"Kau mau apa hah?!" teriakku

Tangannya terulur ke atas, tepat di depan wajahku yang kuyakini sekarang sudah sangat pucat. Dan sedetik kemudian, tangannya berubah menjadi bersisik hijau dengan kuku yang memanjang menjadi cakar-cakar yang sangat tajam.

Mulutku membuka, siap untuk menjerit dan secepat itu juga tangan monsternya membekap mulutku. Keringat mulai turun dari pelipisku saat cakarnya menancap di kulit wajahku dan aku bersumpah tubuhku sangat bergetar ketakutan. Siapapun tolong aku!

"Ssh.. Akan lebih baik jika kau diam sayang. Aku hanya perlu menyobek tubuhmu dan mengambil jantungmu." bisiknya lirih namun mampu membuat mataku mendelik ketakutan.

Kulihat matanya kini membesar dan berubah warna menjadi hitam pekat seluruhnya. Separuh wajahnya mulai bersisik hijau mirip seperti telapak tangannya yang kini tengah mencengkeramku. Mulutnya membentuk seringai yang sangat lebar sampai rasanya aku mengira mulutnya akan robek.  Ya Tuhan makhluk apa dia ini?

Aku merasakan air mataku menetes dan bercampur menjadi satu dengan keringatku. Ia tersenyum jahat menampilkan gigi-giginya yang berubah menjadi taring yang tajam.
Aku akan mati!

"Ini akan cepat. Kujamin kau tidak akan merasakan sakit." bisiknya sekali lagi.

 Tangannya yang membekapku turun membelai bibirku dengan cakarnya, lalu merambat naik menuju dahiku dan menekan cakarnya disana. Mebuatku mendesis kesakitan. Aku memejamkan mataku dengan air mata yang terus mengalir, berkali-kali berdoa dalam hatiku supaya makhluk itu menyingkir, namun nampaknya sia-sia karena sebentar lagi aku akan mati.

Mataku masih kupejamkan dengan erat, menunggu saat-saat menyakitkan ia akan mengoyak tubuhku seperti apa yang ia katakan. Namun ketika tubuhku dilanda rasa yang mencekam, aku tidak merasakan sakit. Sama sekali.

Lalu, lambat laun kurasakan tekanan cakarnya di dahiku mengendur. Kutunggu beberapa menit dalam ketakuan yang mencengkeramku ketika dia akan membunuhku, namun tak terasa apapun pada tubuhku. Aku sempat berfikir bahwa aku sudah mati, namun nyatanya aku masih memejamkan mata dan merasakan degupan jantungku yang begitu tak terkontrol.

Ada apa ini?

Dengan perlahan, kuberanikan diri untuk membuka kedua mataku. Aku mengerjap beberapa kali sebelum benar-benar membukanya, dan apa yang terpampang di depanku benar-benar membuatku hampir pingsan.

Dean dengan mulut terbuka dan tubuh membeku tengah berdiri mematung di hadapanku. Wajahnya sangat mengerikan dengan sisik yang sudah membungkusnya. Matanya mendelik hampir keluar seolah menahan kesakitan yang teramat dalam, dan mulutnya mengeluarkan cairan hitam yang aku yakini adalah darah.

Aku membekap mulutku dengan tangan yang masih bergetar untuk tidak berteriak. Ku edarkan pandanganku ke segala arah dan menemukan satu lagi seseorang yang berada di sini. 

Sosok itu berdiri agak jauh di sebelah kiri dari tempatku bediri dan wajahnya tak begitu jelas karena kegelapan di sekitarnya. Namun yang pasti dapat kulihat dengan jelas adalah matanya yang menyala berwana biru keunguan dan seluruh tubuhnya dipenuhi sulur bermotif cantik yang memancarkan sinar mirip dengan matanya, menutupi seluruh tubuhnya yang tak nampak di telan kegelapan.

Aku mendesah ketakutan. Apa lagi ini?

Tatapanku berubah menjadi kengerian ketika aku kembali beralih menatap ke Dean yang kini tubuhnya melengkung tak karuan seraya mengeluarkan suara gemeretak tulang yang patah dimana-mana. Mulutku masih kubungkam dan keringat tak henti-hentinya mengalir dari seluruh tubuhku. 

Dan sedetik kemudian, tubuh Dean yang mengerikan itu meledak dengan lendir yang bercampur darah menciprat kemana-mana dan cipratannya mengeni kakiku.

Aku berdiri terpaku menatap sisa-sisa cairan di tanah, tanganku masih bergetar dan pikiranku sulit untuk mencerna apa yang baru saja kualami ini. Kurasakan lututku menjadi lemas seperti jeli dan kemudian tubuhku yang lunglai jatuh terduduk ke tanah.

Tangisku pecah seketika. Suaraku menjadi sangat serak setelah ditahan sangat lama dan rasanya aku ingin segera pulang dan tidur. Ini semua membuat kepalaku terasa sakit dan dadaku mulai sesak. Kutekuk lututku dan mulai menangis sejadi-jadinya. Aku ketakutan. Aku butuh ayah untuk melindungiku. Kuremas cardigan ku erat dengan tangan yang masih bergetar.

Dan tiba-tiba saja  tubuhku masuk ke dalam rengkuhan lengan seseorang. Aku terkejut dan meronta untuk melihat siapa yang dengan kurang ajarnya memelukku, namun tangannya yang kuat menahanku dan menenggelamkan kepalaku ke dadanya terasa hangat. Mengelus rambutku dengan gerakan pelan yang amat sangat menenangkan. Mungkin ini terlihat sama saja aku seperti wanita murahan. Namun aku bersumpah tubuhku serasa tenang dalam rengkuhan lengan-lengan itu.

Tubuhku yang meronta mulai tenang dan aku masih menangis di dadanya. Entah mengapa aromanya sangat familiar dalam penciumanku. Ini semua seperti deja vu. Aku pernah merasakan pelukan ini, namun entah dimana.

Dan dalam buaian tangannya di rambutku, mataku yang mengeluarkan air mata mulai terasa berat karena lelah. Sebelum mataku benar-benar terpejam, aku mendengar bisikannya yang tajam namun terasa lembut di telingaku.

"Dan aku bersumpah tidak akan membiarkan siapapun menyentuhmu. Bahkan melukaimu barang kali satu goresan kecil."

Aku berusaha mencerna perkataannya walau penglihatanku mulai mengabur, dan suaranya sangat familiar di telingaku. Rasanya aku tahu suara milik siapa ini. Suara bariton yang sangat dikenali telingaku. Namun sayangnya mataku benar-benar lelah dan akhirnya aku terlelap dalam pelukannya.

Ini seperti suara ayah.

Ya, milik ayah.

Namun semakin lama aku memasuki alam tidur, suara itu berubah perlahan di otakku. Bukan lagi suara ayah,



Ya. bukan.



Ini suara Gideon.





EUNOIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang