Ini pertama kalinya aku melihat kota ini. Walaupun aku masih berada di halaman rumah mewah keluarga Bolden, tetapi kesan modern-yang tentu saja jauh lebih maju dibandingkan pemukimanku dulu-tampak disetap sudut rumah ini.
Kota ini tak begitu besar, namun terdapat banyak pencakar langit yang ujung atasnya menyentuh atap kota buatan yang transparan.
Kota ini dilindungi oleh bahan kokoh yang 'membungkus' kota ini.
"Ayo, Cath. Kita akan terlambat kalau kau terus melamun seperti itu!" Grey sudah menunggu di kendaraan beroda empat yang baru pertama kali kulihat.
"B... baik, tuan." Jawabku.
Akupun masuk ke kendaraan itu. Menurut buku sejarah milikku, kendaraan ini hanya dimilikki orang-orang golongan atas. Kendaraan yang disebut 'mobil' ini mulai bergerak keluar pagar rumah.
Selama perjalanan, aku hanya memandang isi kota ini. Sampai akhirnya Grey mulai mengajakku bicara.
"Cath, siapa nama lengkapmu?"
"Uhm... Cathlene Johnson." Jawabku malu.
"Nama yang bagus."
"Sebenarnya aku mempunyai nama tengah 'Earth', tetapi aku tak begitu menyukainya." Kataku terus terang.
"Mengapa kau tak menyukainya? Bukankah secara tidak langsung itu harapan orang tuamu?" Tanya Grey sambil menyetir.
"Ya, kau memang benar, tuan Grey."
"Bisakah kau memanggilku Grey saja? Aku tidak suka embel-embel tuan." Katanya sambil memanyunkan bibirnya.
Sebenarnya apa yang diinginkan orang ini?
"Baik, tu... maksudku Grey." kataku kikuk.
Kamipun kembali terdiam untuk beberapa saat.
"Apa kota ini sudah lama dibangun?" Tanyaku sambil memperhatikan sekeliling.
"Ya, sudah sekitar tiga tahun yang lalu saat pemerintah memberitahu akan terjadi bencana besar." Jawabnya santai.
"Jadi, kalian sudah mempersiapkan semuanya?" Tanyaku.
"Maksudnya kalian?"
"Ya, kalian. Para golongan atas."
"Oh, ya. Semua dari kami sudah dipersiapkan segalanya oleh pemerintah, termasuk tempat tinggal di kota ini. Tetapi aku dan keluargaku tidak senang dengan ini, karena kupikir tidak adil bagi golongan bawah."
"Ya, kau benar. Sebenarnya tempat ini lebih dari cukup untuk dapat menampung kami." Balasku sedih. Tanpa sadar aku mulai meneteskan air mata mengingat ayah dan Jon.
"Mengapa kau menangis?" Tanyanya hangat. Ia langsung menepikan mobilnya, lalu mengambil tisu.
"Sini, biar aku usap air matamu." Ia pun tetap memaksa untuk mengusap air mataku walaupun aku sudah menolak.
Apa? Bagaimana mungkin ini... Ahh...
"Ada apa sebenarnya? Ceritakan padaku!" Katanya dengan wajah bagaikan anak kecil yang memohon dibelikan permen.
Aku hanya terdiam. Sekarang apa mungkin aku akan curhat kepada anak majikanku?
"Ayo lah,"
"Maaf, tapi sepertinya tak pantas,"
"Kalau begitu, jangan anggap aku majikanmu,"
Aku salah? Dia tak mungkin kan memecat ibuku?
Dia terus menatap mataku serius. Aku semakin terpaku dengan keadaan ini.
"Kumohon selamatkan hidup kami, jangan pecat ibuku!" kataku memohon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Earth's Destiny
Научная фантастика"Lima..." Memang ini sudah takdirku "Empat..." Sekarang aku harus kukuh menjalani takdirku "Tiga..." Takkan ku kecewakan kepercayaan umat manusia "Dua..." Ibu, jangan sedih kalau aku tak kembali "Satu..." Karena aku akan kembali! Copyright © by Hime...