"Eureka!" Teriak seorang wanita yang terlihat girang dan berlari kecil seraya menghamburkan kertas.
Semua orang yang sedang duduk di depan layar digital menoleh kearah teriakan itu. Wanita itu berekspresi seolah-olah melihat surga yang sangat indah, walaupun sebenarnya tidak ada lagi tempat seperti itu di bumi.
--
Bumi hanyalah planet tua yang dipenuhi karbon dan metana. Kandungan oksigen dan hidrogen semakin menipis seiring berjalannya waktu. Manusia yang tersisa hanyalah manusia yang "berduit" dan "beruntung". Mereka hidup dengan dihantui bencana alam yang datang tak kenal waktu dan tempat. Kadang terjadi tsunami raksasa dan seketika berubah menjadi kemarau mematikan dengan suhu hampir seperti di planet merkurius yang sekarang sudah hancur.
--Kini wanita itu sudah sampai di depan pintu sebuah ruangan yang terdapat tulisan yang berlogo angkasa dan garis merah. Wanita itu tak peduli dengan itu karena ia sedang kegirangan.
Pintu otomatis itu bergeser menyamping dan ia berjalan sambil menari-nari dan terkekeh. Lalu mendekati meja persegi panjang yang dikelilingi beberapa orang yang berekspresi bingung.
"Eureka!" Teriak wanita itu lagi.
Kini seorang pria tegap bertuxedo hitam berdiri dan menurunkan kacamata agar melihat jelas siapa wanita itu.
Belum sempat berbicara, dua orang pria kekar berseragam hitam menggiring wanita itu keluar ruangan itu.
"Tunggu! Kau Cathlene? Apa yang kau temukan?" Tanya pria itu.
"A... aku..." belum sempat menjawab, pria yang Cathlene ketahui sebagai cicit dari Charles Bolden, pemimpin NASA ke-12 itu memotong perkataannya.
"Ehm... jelaskan nanti saja di ruanganku. Sekarang kami sedang rapat penting!"
"Baiklah, tuan Fredrick Bolden." Kata Cathlene menunduk malu dan sadar akan sikap berlebihannya. Ia bersama dua pria kekar pergi keluar ruangan rapat itu.
Cathlene POV
Huh... mengapa aku berlebihan seperti ini? Ah, sudahlah. Yang terpenting penemuanku ini bisa membantu umat manusia!
Aku adalah seorang peneliti NASA. Betapa beruntungnya aku bisa bekerja disini, padahal aku berasal dari golongan keluarga "beruntung" karena ibuku bekerja di rumah seorang bangsawan di Veliocity, kota buatan ini. Walaupun begitu, aku kehilangan ayah dan adikku saat perekrutan.
Tiap tahunnya NASA merekrut pekerja baru yang persyaratannya hanya memiliki IQ di atas 200. Memang mungkin terdengar susah untuk memenuhinya, tetapi aku terkejut karena banyak juga manusia ber-IQ di atas 200. Teknologi berkembang lamban saat ini karena ketiadaan bahan baku, kecuali di Veliocity. Saat masuk darurat disini 7 tahun lalu, aku bertemu dengan Wrie, wanita seusiaku yang kini menjadi sahabatku serta rekan kerjaku satu divisi.
Fokus kerja kami adalah meneliti bumi dan planet luar. Bumi memang sudah tidak layak dihuni. Tidak perlu kujelaskan, karena kondisinya memang sudah parah. Keserakahan manusia dalam mengeksploitasi alam di masa lalu membuat hidup manusia sekarang menjadi menderita seperti ini.
Manusia sekarang? Lebih tepatnya kami, kami dari golongan "beruntung" dan mereka yang "tidak beruntung" untuk dapat tinggal di kota yang sebenarnya cukup untuk menampung mereka. Tetapi sifat keserakahan tetap saja melekat pada manusia. Entah bagaimana kondisi mereka, tetapi pastinya mereka sudah 'punah' diterjang tsunami dahsyat ataupun kemarau mematikan itu.
BRUKK
"Aww..." sahutku yang beriringan dengan wanita di depanku, Wrie. Aku terlalu larut dalam lamunan sehingga kami bertabrakan dan dahi kami bertabrakan pula.
Setelah ia menyadari kalau ternyata kami yang bertabrakan, kamipun tertawa terbahak-bahak karena hal konyol ini.
Kamipun bangkit dan berjalan bersama. Kami masih terkekeh mengingat kejadian tadi. Ia bertanya kepadaku,
"Apa yang kau pikirkan sampai-sampai kau tidak melihatku?"
"Uhm... ya, hal yang biasa aku ceritakan padamu." Balasku.
"Ah, tak usah mengingat itu. Fokuslah pada pekerjaanmu, pandanganmu, dan juga... ehem!" Katanya menyindirku.
"Ah, dasar kau! Tak usah membicarakan Grey disaat ini!" Ia tertawa melihat wajahku memerah.
"Lantas, apa yang kau pikirkan sampai-sampai kau juga tidak melihat manusia sebesar ini?" Tanyaku mengalihkan fokus bicara.
"Uhm... bukan apa-apa!" Katanya berlagak aneh dan berjalan lebih cepat.
"Ha? Sebenarnya ada apa?" Tanyaku menyusul langkahnya.
"Ti... tidak. Bukan apa-apa!"
Ada apa dengannya? Ah biarkan saja, mungkin ada hal yang dirahasiakannya.
"Cath, bukankah kau akan bertemu tuan Fredrick? Untuk memberitahu penemuanmu?" Katanya mengingatku.
"Ups! Aku lupa! Sebaiknya aku cepat pergi ke ruangannya! Sampai jumpa di asrama!" Kataku langsung berlari meninggalkan Wrie.
Wrie POV
"Oke!" Balasku padanya yang mengulang kebiasaan buruknya; mudah melupakan hal penting. Akupun teringat penyebab aku melamun dan menabraknya.
Maafkan aku, Cath.
KAMU SEDANG MEMBACA
Earth's Destiny
Ciencia Ficción"Lima..." Memang ini sudah takdirku "Empat..." Sekarang aku harus kukuh menjalani takdirku "Tiga..." Takkan ku kecewakan kepercayaan umat manusia "Dua..." Ibu, jangan sedih kalau aku tak kembali "Satu..." Karena aku akan kembali! Copyright © by Hime...