Chapter 2

2.1K 283 8
                                    

:::: Kami menikmati waktu sore hari itu di sebuah taman di pinggir danau. Aku ingat bahwa aku tidur di pangkuannya. Ia membelai kepala, rambut dan juga tulang pipiku dengan lembut. Dan aku asyik menikmati momen itu dengan tetap memejamkan mata. "Akankah kita bisa menikmati masa-masa indah seperti ini selamanya, Hayun?" ia berbicara padaku. "Tentu," dan aku menjawab cepat.

"Dan kau tahu bahwa aku mencintaimu melebihi apapun," ia kembali berbicara, kali ini setengah berbisik di dekat telingaku.

"Aku tahu," aku menggumam, tapi aku tahu ia mendengarnya dengan jelas. Perlahan mataku terbuka. Aku beringsut dan mendongakkan kepalaku ke arahnya. Aku menatap seraut wajah yang berada di atasku. Tatapan mata kami beradu. Mata yang teduh dan menghanyutkan. Ia tersenyum, begitu menawan.

"Aku mencintaimu," bibirnya kembali berucap. Dan aku tersenyum. Aku juga.

Lalu ia membungkuk, mencium bibirku lembut. Dan perlahan ... menggoda ... ::::

Aku membuka mata. Sentuhan tangan yang mengoyang-goyangkan bahuku membuat kepalaku terangkat dengan tiba-tiba. Dengan mata setengah terpejam, aku menatap sekelilingku. Im Na, ada di sampingku.

"Astaga, apa kau begitu kelelahan berbulan madu hingga kau harus ketiduran di meja kerjamu?" nada kalimatnya terdengar kesal. Aku mengucek-ucek kedua mataku. Aku ketiduran di meja kerjaku?

"Maaf,"ucapku kemudian seraya menata rambutku yang terasa berjuantaian.

"Ada bekas pulpen di pipimu. Sepertinya kau ketiduran cukup lama," Im Na menunjuk pipiku.

"Oh ya?" aku bangkit. "Kalau begitu, aku akan ke kamar mandi dulu," aku melewatinya menuju kamar mandi.

Aku menatap bayanganku di cermin. Ada apa denganku? Sepanjang sejarah,ini pertama kalinya aku tertidur di tempat kerja.

Dan .... aku kembali memimpikannya. Memimpikan sesosok lelaki yang selalu membisikkan kata-kata cinta padaku. Lelaki misterius, berwajah tampan, bermata sipit memikat, dan dengan tatapan setajam mata elang. Namun aku masih ingat tatkala ia menatap dan tersenyum padaku. Lembut, selembut sutera, dan penuh cinta.

Aku menggigit bibir. Ciuman itu hanya terjadi dalam mimpi. Tapi entah mengapa, itu seperti nyata. Aku masih bisa merasakan bibirnya di bibirku. Aku masih bisa merasakan sentuhan di pipiku, di lehernya. Dan aku juga masih bisa merasakan aroma tubuhnya ... di diriku.

Oh, sial.

Perempuan macam apa aku?

Aku sudah menikah, tapi hampir tiap malam aku malah memimpikan lelaki lain? Lelaki yang bahkan tak ku ketahui identitasnya. Lelaki yang bahkan, bisa jadi, belum pernah ku temui sebelumnya.

Oh, ada apa denganku?

Aku pasti sudah gila!

Aku menarik nafas panjang. Kunyalakan kran lalu kubasuh mukaku dengan gemas dan putus asa.

***

Aku sedang menikmati sarapan pagiku di kantin ketika tiba-tiba Im Na nimbrung di mejaku dengan roti lapis di tangannya.

"Apakah ini benar-benar kau, Hayun?" ia bertanya dengan mulut terisi makanan. Aku memandangnya, sekilas, lalu kembali menikmati sarapanku.

"Ada yang aneh?" aku bertanya.

"Ya," ia menjawab cepat. Aku mendongak, menatapnya.

"Bukankah aku terbiasa sarapan di sini? Apanya yang aneh?" jawabku.

"Oke, kau memang selalu makan pagi di sini. Tapi itu dulu, ketika kau masih lajang. Dan sekarang, kau sudah menikah. Tidakkah kau sarapan di rumah bersama suamimu?" ia menyela.

Aku tersenyum, lalu manggut-manggut.

"Oh, jadi itu masalahnya. Tidak, karena suamiku sedang dinas ke luar kota selama 2 hari. Ia berangkat kemarin sore," jawabku. Sekarang, ganti Im Na yang manggut-manggut.

"Wah, kebetulan sekali," ucapnya.

"Apanya yang kebetulan?" aku bertanya.

"Kebetulan sekali suamimu tak ada di rumah karena hari ini aku berencana mengajakmu untuk lembur sampai malam," ia menjawab.

"Lembur lagi?" aku meletakkan sendok makanku.

"Lagi? Tentu saja. Pekerjaan kita terbengkalai karena kau menikah kemudian berbulan madu. Banyak dokumen yang belum selesai. Dan kita msih punya 3 orang klien yang harus kita temui, secepatnya. Aku tak bisa mengerjakan semuanya sendirian, Hayun. Tenagaku terbatas," Ia terdengar lelah.

Aku mendesah. "Oke," jawabku cepat.

Well, lagipula ini juga pekerjaanku 'kan?

"Dan, maafkan aku karena kepergianku berbulan madu, kau harus mengerjakan semuanya sendirian," ucapku kemudian. Im Na menyenggol lenganku dengan sikunya.

"Hei, aku hanya bercanda. Kenapa kau berubah sensitif begini. Percayalah, aku adalah salah satu orang yang paling bahagia dengan pernikahanmu. Dan aku juga bahagia jika kau menjalani bulan madu dan juga pernikahanmu dengan bahagia. Tak jadi soal jika aku harus mengerjakan pekerjaanmu. Percayalah padaku, oke?" Ia kembali menggodaku dengan menyenggol lenganku, kali ini dengan punggung tangannya. Aku tersenyum.

"Mm, boleh kutanyakan sesuatu?" Nada suara Im Na terdengar serius.

"Apa lagi?" desisku.

Perempuan itu menatapku dengan ragu. "Kau baik-baik saja 'kan? Mm, maksudku, kau benar-benar bahagia 'kan?"

Aku mengernyit. "Kenapa?"

Im Na tak segera menjawab.

"Sejak kembali dari bulan madu, kau terlihat aneh, Hayun. Kau tampak lelah dan ... tertekan. Ini pertama kalinya terjadi pada dirimu. Kau tertidur di tempat kerja, kau melamun dan ... kau tampak tak fokus. Aku bahkan sempat memergokimu mengigau di meja kerjamu. Kau seperti sedang bermimpi buruk. Kau baik-baik saja 'kan?"

Aku menatap sahabatku itu dengan takjub. Astaga, dia 'kan Im Na? Sahabat terbaikku selama bertahun-tahun. Akan sangat sulit sekali menyembunyikan sesuatu darinya. Dan selama ini, aku memang tak berhasil menyembunyikan apapun darinya!

"Ceritakanlah padaku jika kau mengalami sesuatu yang buruk. Aku tahu kau sudah menikah. Tapi aku yakin, ada beberapa hal yang tak bisa kau ceritakan pada suamimu," ia menambahkan.

Im Na, hampir setiap malam aku memimpikan sesosok lelaki jangkung bermata teduh dan dia bukanlah suamiku!

Ah, haruskah aku menceritakan hal itu? Pasti akan terdengar konyol.

"Tak ada apa-apa. Aku hanya merasa lelah. Kau tahu pesta pernikahanku dirayakan dengan meriah dan setelah itu aku melakukan perjalanan jauh untuk berbulan madu. Tentu hal itu menguras banyak energi 'kan? Tenanglah, I'm okay," aku cepat-cepat bangkit untuk mengalihkan pembicaraan kami.

"Yuk, kita harus segera kembali bekerja. Kita punya waktu 2 hari untuk menyelesaikan segalanya. Karena setelah suamiku kembali dari luar kota, aku takkan mau lagi ada lembur, titik," aku meraih tasku dan segera beranjak tanpa menunggu komando darinya.

FATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang