Chapter 4

1.8K 269 13
                                    

Tubuhku terjun ke dalam kolam renang. Segera ku rasakan himpitan rasa sakit di dada dan kepalaku. Aku pandai berenang, tapi entah mengapa saat ini semua tubuhku terasa kaku. Aku tak bisa menggerakkan tangan ataupun kakiku.

Ku rasakan air memasuki hidungku hingga menimbulkan rasa sakit. Beberapa detik kemudian aku sempat berpikir bahwa aku akan mati sampai akhirnya aku merasakan sentuhan itu.

Seseorang mendekatiku, merengkuh tubuhku lalu segera menarikku ke permukaan. Lengannya yang kekar dengan cekatan membawaku keluar dari kolam renang, membaringkanku dengan lembut di pinggiran. Aku terbatuk. Air menyembur dari mulutku dan juga hidungku. Pening segera menyerang kepalaku.

“Kau tak apa-apa?”
Suara itu?
Suara itu tak asing bagiku. Timbre suara yang berat, menawan, membuatku tertegun.

Dengan nafas naik turun aku mendongak. Pandangan tatapan kami beradu. Wajah yang rupawan, diselingi dengan tetesan-tetesan air dari rambutnya yang kelam. Mata teduh yang menghanyutkanku. Mata memikat yang membuat dadaku berdebar. Aku ... mengenalnya!

“Kau baik-baik saja?” ia kembali bertanya dengan nada cemas. Kedua tangannya masih melingkari tubuhku dengan sikap melindungi.
Dan tiba-tiba saja aku menggigil. Aku menggigil dengan hebat. Bukan karena kedinginan. Tapi karena ... entahlah. Aku tak bisa menjelaskannya.

Dan sekian detik kemudian, aku merasakan terkulai dalam dekapan lelaki itu.
Tak sadarkan diri.

***

:::::: Aku kabur dari rumah melalui pintu belakang setelah terlebih dahulu loncat dari jendela kamarku.
Well, Sebenarnya tidak loncat, karena kamarku berada di lantai dua.
Aku menguntai beberapa kain hingga menjadi semacam tali lalu melemparkannya ke luar jendela, dan dengan itulah aku bisa memanjat tembok dan turun.
Aku berlari-lari kecil menyusuri jalanan kecil berbatu. Dan aku menyadari bahwa aku bertelanjang kaki ketika aku merasakan perih di kakiku.
Ah, terkena kerikil atau apalah, aku tak peduli.
Aku terus melangkahkan kakiku dengan tergesa-gesa menuju pondok kecil dan reyot, yang berada di pinggir hutan, tepat di sisi desa tempat tinggal kami.
Kami sepakat bertemu disana. Dia tak bisa lagi datang ke rumah setelah apa yang terjadi hingga hanya dengan cara sembunyi-sembunyilah kami bisa bertemu.
Dan malam ini, kami sepakat untuk melarikan diri, kemana saja, asal tidak disini.
Pondok kecil itu mulai terlihat dan aku segera mempercepat langkah kakiku. Aku baru saja memasuki halaman ketika pintu reyot itu terbuka dan sosok itu keluar dari sana.
Dan segera ia menghambur ke arahku, memelukku dengan erat, tanpa membiarkanku menata nafasku yang terengah-engah.
“Hayun,” panggilnya lirih. Ada kelegaan di sana.
“Syukurlah, aku takut aku takkan bisa bertemu denganmu lagi,” ia kembali menggumam.
Aku menarik diri dari dekapannya lalu menatapnya. Bekas luka itu masih ada. Kening tergores dan tulang pipi yang kehitaman karena memar.
Aku mengangkat tanganku dan menyentuhnya dengan perlahan.
“Kau terluka,” desisku. Ia menggeleng seraya meraih dan menggenggam tanganku.
“Tak ada apa-apanya dibandingkan denganmu,” ia menjawab lalu menggandeng tanganku dan mengajakku masuk ke dalam gubuk.
Ia membimbingku duduk di salah satu kursi rotan.
Segera lelaki itu berlutut di hadapanku.
“Kakimu,” ia menggumam miris seraya menyentuh kakiku yang terluka, dengan sentuhan lembut.
“Tak ada apa-apanya dibandingkan dirimu,” jawabku.
Ia mendongak, menatapku dengan tatapan sedih.
“Maafkan aku, ini pasti yang pertama kalinya bagimu berlarian di jalanan berbatu tanpa mengenakan sepatu,” ucapnya. Aku menggeleng. Ku sentuh wajah itu dengan lembut.
“Bukankah kau yang bilang bahwa cinta selalu penuh dengan resiko. Dan aku sudah siap mengambil resiko itu, apapun jadinya,” jawabku.
Lelaki itu berdiri di atas lututnya, menangkup wajahku, lalu mencium bibirku dengan lembut.
“Dan aku juga akan mengambil resiko apapun itu, bahkan jika harus mempertaruhkan nyawaku,” desisnya parau.
Kami berpandangan, tapi sekian detik kemudian kami mendengar suara gaduh. Kami sama-sama terlonjak. Ia berlari menuju depan jendela dan mengintip keluar.
“Mereka mengejar kita,” ia berucap. Aku tersentak.
“Bagaimana mungkin? Aku sudah berhati-hati ketika ke sini dan aku yakin tidak diikuti oleh siapapun,” ucapku bingung.
Lelaki jangkung itu melepas sepatunya dan dengan sigap ia memakaikannya di kakiku.
“Kau harus mengenakan sepatu karena kita akan kembali melalakukan pelarian,” ucapnya.
Dan sebelum aku sempat berkata, ia sudah menarik lengan tanganku, berlari melewati pintu belakang. Kami meninggalkan pondok reyot itu menembus kegelapan malam menuju hutan belantara.
Kami berlari, dan terus berlari.
Tapi, gerombolan orang itu juga tak berhenti mengejar kami.
”Sialan, kenapa mereka bisa begitu cepat mengejar kita,” terdengar ia mengumpat.
Ia mempererat genggaman tanganku dan terus mengajakku berlari. Tapi, selanjutnya yang kami temukan adalah sebuah jurang menganga di depan kami. Kami berpandangan dengan putus asa. Sesekali aku menoleh ke belakang, ke arah gerombolan orang yang berusaha mengejar kami tadi. “Pergilah,” kataku. Dia mengernyit heran.
“Pergilah, tinggalkan aku di sini. Jika mereka menemukanmu, kau tak akan selamat,” ucapku lagi. “Bicara apa kau?” ia protes. Aku mencengkeram lengannya lalu menatapnya dengan lekat.
“Dengar, jika mereka menemukanku, mereka hanya akan membawaku pulang. Mereka tak akan berani menyakitiku. Yang terpenting sekarang adalah kau harus pergi dan menyelamatkan diri. Jika situasi sudah tenang, aku akan berusaha mencari cara untuk menemukanmu kembali,” ucapanku terdengar seperti permohonanan. Ia menggeleng.
“Tidak, aku takkan pernah meninggalkanmu lagi. Aku akan tetap di sini, bersamamu, bahkan jika itu harus membuatku terbunuh,” ia bersikeras.
“Tapi__” kalimatku terhenti dan berubah menjadi sebuah teriakan ketika sebuah anak panah melesat lalu menembus bahu lelaki tersebut. Ia berteriak kesakitan lalu terhuyung.
Aku menjerit. Seseorang yang lain menarik tubuhku. Dan mereka menemukan kami.
Tanpa peringatan apapun, mereka menyerang lelaki tampan yang teramat kucintai tersebut. Ia mencoba melawan, tapi jumlah mereka terlalu banyak.
“Hentikan! Aku akan ikut bersama kalian, tapi biarkan dia pergi,” teriakku. Air mataku meleleh.
Tapi mereka tak menggubris. Mereka terus menyerang dan membabi buta, hingga tubuh jangkung penuh luka tersebut terdesak ke pinggir jurang dan dengan mudahnya, mereka mendorongnya!
Aku menyaksikannya. Aku menyaksikan pria yang teramat kucintai itu terlempar ke dalam jurang dengan kedalaman sekian ratus meter.
Lututku lemas. “Wonwoo!!” aku memanggil. ::::::::

****

Bersambung ............

Note :
Terima kasih buat para reader yang sudah memberi banyak masukan dan juga saran. Entah melalui komen langsung, ataupun PM saya.
Mengenai gaya bahasa, sepertinya gaya penulisan saya memang seperti ini. Agak kaku. Tapi saya harap, dengan bahasa yang kaku seperti ini, cerita saya tetap enak dibaca dan diikuti. Hehehe...

Mengenai jarangnya penggunaan kalimat berbahasa korea pada setiap FF saya, saya memang sengaja tidak menggunakan bahasa korea berlebih. Alasannya, supaya pembaca yang non-kpopers tidak terlalu bingung mengikuti. Iya sih ini FF korea, tapi tanpa banyaknya kalimat dalam bahasa korea yang berseliweran, saya yakin feel-nya sebagai FF dengan setting korea nggak hilang kok...  hehehe...
(Author telalu pede, maaf, author khilaf, hahaha)

Bagaimanapun juga, terima kasih banyak ya atas kritik dan sarannya. Di tunggu masukan yang lain juga..

Annyeong ...
SARANGHAE!!

FATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang