Bab 2. Bingung

5.5K 339 19
                                    

Saya kaget lihat notifikasi, tau-tau sudah ada 1k lebih vote. Yasudah karena itu saya putuskan untuk melanjutkan cerita ini.. hehe.. maafkan saya yang nggak konsisten ya T-T~
(Vote kalian menyelamatkan cerita ini :"D)

******************************

"Terus gimana, Nin? Gimana reaksi Pak Afian?" tanya Fanda sambil mengunyah kentang gorengnya.

Aku, Fanda, Rina, dan Dian tengah bersantai di kamar asrama, memperbincangkan kejadian kemarin yang cukup membuatku malu. Ditemani dengan dua piring kentang goreng yang kami beli di kantin kampus, aku menceritakan semuanya dari awal sampai di mana aku bertemu bertemu Pak Afian.

Aku mengangkat kedua bahuku, layaknya orang yang tak peduli. "Dia cuma minta maaf, terus pergi." Kemudian hening. Aku tak tahu apa yang teman-temanku pikirkan.

"Si Fira?" tanya Dian yang terlihat tidak puas dengan jawabanku.

Aku terdiam sejenak, memandang ketiga temanku yang tengah menunggu kalimat dariku. "Nangis," kataku singkat.

"Argh! GIMANA?!!!"

Tersenyum kikuk, itu yang kulakukan saat melihat reaksi lebay ketiga temanku. Dian berguling di lantai, Fanda menggigit bantal dengan kesal, sementara Rina berpura-pura membenturkan kepalanya ke sisi ranjang.

Yang aku katakan pada ketiga temanku itu benar adanya, hanya saja dengan bahasa yang lebih singkat. Panjangnya?

Setelah bertemu dengan Pak Afian, aku jatuh terduduk. Aku tak peduli lagi dengan Fira yang mengatakan kalau aku mamanya. Di sela tarikan napasku, aku melihat wajah Pak Afian yang memerah. Mungkin ia malu.

Samar-samar pula aku mendengar Pak Afian yang menjelaskan sesuatu pada Fira, aku yakin beliau membicarakan soal kejadian ini, dilihat dari reaksi Fira yang tiba-tiba terdiam. Tarikan napasku makin teratur, kini aku bisa melihat sosok Pak Afian yang berdiri tepat di hadapanku. Dengan gaya gentle-nya, ia mengulurkan tangan. Aku menerimanya dan segera berdiri serta menepuk-nepuk celanaku yang berdebu.

"Maaf atas kelakuan Fira," kata Pak Afian.

Aku melongo, hanya bisa mengangguk singkat sebelum Pak Afian berjalan cepat keluar pintu. Dari tempatku, aku bisa mendengar Fira yang berteriak dan menangis sesenggukan begitu mereka meninggalkanku. Anak yang malang. Aku kembali menghela napas dan berjalan dengan lemas keluar fakultas teknik.

"Yah, nggak seru nih," ucap Fanda setelah selesai dengan acara gigit menggigitnya.

"Ya emang nggak seru, lu pikir gimana?"

"Nggak ada adegan romantis-romantis gitu? Kayak misalnya tiba-tiba Pak Afian nyatain cinta ke lu, bo?" Kini Rina yang telah selesai dengan urusan membenturkan-kepalanya-di-meja, bertanya.

"Ngimpi kali, nggak mungkin lah. Dosen macem gitu mana mau sama kebo mini size kayak gue," jawabku sembari melahap kentang dengan rakus.

Malam itu pun kami habiskan dengan berbincang-bincang mengenai hal lain, termasuk dengan gebetan Dian yang merupakan kakak tingkat di fakultasku.

***

Pagi itu lagi-lagi aku menemui sosok Pak Afian. Bukan ketika sesi kuliah berlangsung, melainkan aku tak sengaja menemuinya di taman fakultas. Ia termenung, duduk di salah satu bangku taman dengan air muka serius. Aku memerhatikannya sesaat, sebelum ia menghela napas dan matanya menangkap sosokku.

 Aku memerhatikannya sesaat, sebelum ia menghela napas dan matanya menangkap sosokku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Single Father and MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang