Kimberly baru saja kembali dari studionya. Ia mempercepat langkahnya di lorong rumah sakit. Tidak memedulikan suara hak sepatunya yang membahana di lorong rumah sakit meskipun para suster akan protes karena ulahnya. Yang terpenting saat ini adalah keadaan Regan.
Ia mendapat kabar dari Diego Tristan jika Regan Tristan berada di rumah sakit. Langsung saja Kimberly menuju rumah sakit yang disebutkan Diego Tristan saat di telepon tadi.
Langkahnya terhenti ketika melihat Diego yang sedang duduk dengan bersandar pada bantalnya. Perlahan Kim membuka pintunya dan melangkah masuk ke dalam.
"Hey," sapa Kimberly.
"Kim? Bagaimana bisa kamu tahu aku berada di sini?" tanya Regan terus terang. Ia sedikit tidak menyukai kedatangan perempuan ini. Karena ia tahu nanti hatinya akan mengkhianati dirinya.
"Seharusnya akulah yang bertanya. Mengapa kamu bisa masuk rumah sakit?" kata Kim yang tidak menghiraukan pertanyaan Regan. "Pingsan? Bukan kamu banget kayanya," ledek Kim. Ia meletakkan sekantung buah yang tadi sempat dibelinya disebuah mini market sebelum menuju ke sini.
"Bukan urusanmu dan berhenti meledekku," protes Regan dingin.
"Kamu kekanak-kanakkan sekali. Kamu sudah besar dan kamu bertingkah seperti anak kecil. Kamu keterlaluan karena sudah membuat semua orang khawatir," omel Kim tanpa memedulikan Regan rahangnya yang sudah mengeras.
Kimberly menyodorkan sepiring apel yang telah dikupasnya. Namun Regan tak kunjung mengambilnya.
"Makanlah," bujuk Kim. Ia tahu Regan telah marah.
"Tidak perlu," sahut Regan singkat. Ia kembali fokus memandang televisi seakan acara yang sedang ditayangkan sangat menarik.
Senyum tipis terukir di bibir Kimberly, ia memilih duduk di tepi tempat tidur Regan. Lalu meraih jemari pria itu.
"Kamu benar-benar berhasil membuat aku khawatir jika itu maumu."
Regan memicingkan matanya seketika itu juga menatap wajah cantik dihadapannya dengan pandangan tidak percaya. Bagaimana bisa perempuan ini berpikir seperti itu? Seakan ia memang mencari cara untuk mendapatkan kembali perhatiannya. Pikirannya salah besar! Ia tidak sepicik itu.
"Jika kamu terpaksa ke sini, lebih baik kamu pergi, Kim." Regan memberikan nada dingin disuaranya.
"Bukan maksudku seperti itu, aku hanya..."
"Kepala aku pusing. Lebih baik kamu pergi. Aku akan memanggil perawat," potong Regan sebelum Kimberly menyelesaikan kalimatnya.
Kimberly menggigit bibir bawahnya dan menatap sisi wajah Regan yang sejak tadi tidak menatapnya. Ia tidak tahu jika Regan akan sedingin ini. Perlahan ia meraih tasnya dan ketika ia hendak keluar Regan mengeluarkan suaranya sekali lagi.
"Aku rasa kamu tidak perlu datang lagi Kim. Aku tidak membutuhkan kamu lagi di dalam hidupku."
Kimberly terkejut dengan perkataan Regan kali ini. Air mata telah menggenang di pelupuk matanya. Sebelum air mata itu itu jatuh, Kimberly telah pergi meninggalkan kamar Regan. Menyisakan Regan yang menoleh dan menatap pintu itu dengan mata yang penuh rasa kecewa dan sakit hati dibaliknya.
***
Aura bernyanyi kecil saat merapikan meja kerjanya kecil. Walaupun pekerjaannya menumpuk, ia harus tetap tampak rapi dan bersih. Ciri khas dirinya yang telah ia tanamkan sejak kecil.
Beberapa saat kemudian, Aura dapat menangkap sosok atasannya sedang berjalan. Regan sama sekali tidak terlihat seperti orang yang baru saja keluar dari rumah sakit.
"Tolong bawakan saya semua laporan selama saya sakit," pintanya seperti biasa tanpa ada embel-embel sapaan selamat pagi.
"Baik pak," jawab Aura singkat. Lalu Regan menghilang dibalik pintunya. Meski Regan tampak dingin seperti biasa, tapi ada perasaan lega di dalam hati Aura saat melihat pria itu kembali bekerja.
Siangnya, Aura yang baru saja hendak meraih dompet dan ponselnya untuk keluar makan siang, harus menahan langkahnya ketika mendengar suara Regan yang berasal dari belakang tubuhnya. Aura memutarkan tubuhnya dan mendapati Regan yang tampak tampan hari ini dalam balutan jas abu-abunya dengan kemeja hitam di dalamnya. Tidak lupa dasi berwarna putih yang menghiasinya. Aura harus menahan nafasnya ketika memperhatikan penampilan pria itu yang saat ini sedang berdiri di hadapannya dengan kedua tangan berada di dalam saku celananya.
"Sudah puas kamu memperhatikan saya?"
"Eh?" Pandangan Aura langsung kembali ke wajah pemilik suara itu. "Ada apa, Pak?"
Regan tersenyum tipis melihat Aura yang mendadak kikuk. Aura bahkan harus meyakinkan dirinya jika saat ini ia sedang tidak salah lihat. Karena melihat senyum pria ini seperti bulan purnama yang muncul dalam muncul dalam satu bulan sekali.
"Kamu akan makan siang, kan?"
Aura menggerakkan kepalanya ke atas dan ke bawah. "Ayo kita makan siang bersama," ajaknya. Lalu pria itu berjalan melewati tempat Aura berdiri.
Perempuan itu masih terdiam hingga akhirnya ia memutar tubuhnya dan mencoba menyamai langkah mereka, "Apa maksud anda?"
Tanpa memedulikan Aura, Regan menekan tombol lift. Kemudian menoleh memandang wajah Aura tajam. Sehingga membuat perempuan itu harus menelan salivanya.
"Kamu mendengar apa yang baru saja saya ucapkan tadi, kan?"
Sekali lagi Aura menganggukan kepalanya, "Baguslah. Itu berarti tidak ada yang salah dengan pendengaranmu. Karena saya tidak ingin memiliki sekretaris yang pendengarannya buruk." Regan tersenyum sinis saat mengatakannya.
Kedua mata Aura membesar. Ia harus menahan kesabarannya untuk tidak menonjok wajah atasannya. Bunyi lift membuat Regan langsung melangkah masuk ketika pintu terbuka. Akan tetapi, Aura masih tetap mematung ditempatnya.
"Apakah kamu akan berdiam diri di situ selamanya? Kau mau masuk tidak?" sindir Regan sambil memandang wajah Aura yang sedang memandangnya juga.
"Tentu saja." Ia melangkahkan kakinya dengan mantap ke dalam lift. Hanya saja karena tidak hati-hati Aura tersandung. Tubuhnya terayun ke depan, ia memekik sekerasnya, tidak ingin menabrak dinding lift. Karena ia tahu pasti rasanya sakit. Akhirnya Aura memejamkan mata sambil terus memekik. Tapi dalam hitungan detik, Aura tidak merasakan sakit sama sekali. Perlahan ia membuka matanya dan ia harus terkejut dengan posisinya saat ini. Regan sedang memeluk perutnya dengan sebelah tangannya. Sebenarnya terlalu intim untuk atasan dan sekretarisnya. Aura dapat merasakan pipinya menghangat, ia merasa malu atas kejadian ini.
Regan mengerang, membuat Aura tersadar jika punggung pria itu sepertinya terbentur pada dinding lift.
"Aura," desahnya. "Sudah berapa kali saya peringatkan kamu untuk berhenti memakai sepatu sialan itu!"
"Ma-maaf Pak! Apa bapak baik-baik saja?" tanya Aura sembari memeriksa punggung pria itu.
"Apa saya kelihatan baik-baik saja?" Bukannya menjawab, Regan berbalik bertanya.
Perasaan tidak enak mulai memenuhi hati Aura, sungguh ia tak ada maksud untuk melakukannya. Kecerobohannyalah yang membuatnya tersandung. Aura memaki dalam hati atas kecerobohannya kali ini. Jika Regan terluka, sepertinya Aura harus siap apabila dipecat.
Mereka yang masih dalam posisi intim, dengan sebelah tangan Regan memeluk pinggang Aura dan tubuh mereka yang terjatuh di bawah dalam keadaan sangat dekat. Seakan, belum ada insiatif untuk saling melepas diri. Tanpa mereka sadari, pintu lift terbuka dan di luar beberapa pasang mata sedang memandang pemandangan di dalam lift dengan terpana. Hingga akhirnya seseorang berdeham, membuat Aura dan Regan mengalihkan pandangan mereka satu sama lain dan menoleh ke asal suara. Sedetik kemudian, kedua mata mereka membesar. Terperanjat dengan sosok yang sedang berdiri dan memberikan tatapan tajam kepada mereka.
***
Sampai di sini saja ya. Selanjutnya kalian bisa bertemu Regan dan Aura di seluruh toko buku Gramedia.
Love u all. 😘

KAMU SEDANG MEMBACA
Let Me Love You
RomanceHighest rank #1 in Romance at 2016 Aura Pratiwi perempuan single yang umurnya hampir menginjak kepala tiga masih saja betah dengan status single-nya. Padahal banyak pria yang rela mengantri untuk mendapatkannya. Namun, tak ada yang mengetahui apa al...