23 Januari 2008

3.7K 491 52
                                    

All of the books and all in a boat and
Nowhere to run 'cause it's out of control
You wait for something to undo these feelings
Waiting and waiting but it's out of control

(Wolf Alice - Moaning Lisa)

***

Sejak kasus Erin, aku tidak menyangka akan memperoleh kisah sinetronis klise lain dalam hidupku seperti hari ini.

Terlambat ke sekolah dan terpaksa melompati pagar, sangat klise bukan? Bedanya, aku tidak bertemu siswa tampan namun nakal yang membantuku naik ke atas pagar. Ini juga bukan kali pertamaku terlambat dan memanjat pagar sekolah. Aku sudah lihai, maaf-maaf saja. Ini adalah kejadian kedua puluh empat kali aku terlambat −dan berhasil lolos dari hukuman− selama satu setengah tahun aku bersekolah di sini. Sayangnya, pada kasus kedua puluh empat ini, aku sedang apes.

Aku sudah berlari sejak turun dari angkot di pinggir jalan raya, bahkan langkahku semakin kencang saat menyusuri ruas jalan kecil berkelok-kelok untuk mencapai sekolah. Melewati sepetak sawah kecil dan kios-kios warung, mengabaikan tatapan beberapa warga sekitar yang menertawai, aku memutari sekolah untuk mencari celah pagar favoritku di bagian belakang tempat parkir. Celah pagar lain yang memungkinkan dilompati −diklasifikasikan atas dasar lokasinya yang terpencil− berada di samping sekolah, belasan meter jaraknya dari posisiku saat itu, tetapi di sana aku harus berebut dengan murid-murid terlambat lain (tidak ada di antara mereka yang sudi membantuku naik, lagi pula aku bisa memanjat pagar tanpa bantuan orang lain).

Seperti sebelum-sebelumnya, aku lemparkan tasku dulu ke balik pagar besi. Setelahnya, aku pijakkan kakiku pada jeruji pagar, memanjat setinggi dua meter, kemudian melompat dan mendarat di kawasan lahan parkir belakang. Di balik rok rempel abu-abu semata kaki, aku selalu mengenakan celana olahraga panjang, sehingga gerakanku bisa leluasa.

Seperti biasa, tidak ada yang memergokiku karena satpam hanya bersiaga di pagar depan sekolah.

Aku pun lekas memungut tas dari atas tanah, lalu berlari ke belokan bangunan terdekat.

Berbelok ke kanan untuk mencapai kawasan kelas, aku tidak bisa berlama-lama mengembuskan napas lega.

Pak Lukman −guru olahraga paling licin seantero sekolah− sedang berdiri di sana, lengan bersidekap di depan perut buntalnya.

Inilah saat di mana aku seharusnya mengatakan: tamatlah aku.

Kenyataannya, aku tidak tamat semudah itu. Pak Lukman lekas menggiringku ke ruangan Bimbingan Konseling dengan tampang seram. "Seharusnya saya melakukan ini sejak lama; mengawasi pagar. Tapi baru semester ini saya tidak mendapat jadwal mengajar pada jam pelajaran pertama," ujarnya gusar.

"Guru di kelas saya sering telat juga kok, Pak, ketika pelajaran pertama. Masa murid saja yang dihukum?" sindirku.

Pak Lukman tidak menjawab, hanya memandangku dengan makin geram. Aku menyembunyikan gerutuanku atas kebungkamannya. Lihat, mana yang namanya keadilan? Atau, kucoba berprasangka positif: seperti kata pepatah lama yang entah kudengar di mana, orang dewasa memang menyimpan hal yang tidak perlu dimengerti remaja dan anak-anak.

Sesampainya di ruangan Bimbingan Konseling, seorang guru BK −Ibu Ani− memberi aku dan empat siswa terlambat lain potongan kertas. Lembar hukuman pasca jam sekolah.

"Kalian datang setelah jam pelajaran terakhir ke kelas Bimbingan Konseling selama tujuh hari. Jangan ada yang kabur atau hukuman kalian diperpanjang!" gertak Ibu Ani.

Aku dan keempat siswa lain mengangguk serempak, lekas kembali ke kelas masing-masing setelah diperintahkan.

Peraturan di sekolahku memang setegas itu (padahal cuma berstatus peringkat kedelapan favorit di kota!), makanya aku berusaha sebaik mungkin untuk tidak ketahuan membuat masalah seperti terlambat. Seperti yang kutulis sebelumnya, aku hanya sedang sial berpapasan dengan Pak Lukman.

Namun, gara-gara hukuman konyol tersebut, aku pun harus merelakan tayangan kartun favoritku.

Kelas Bimbingan Konseling benar-benar bencana. Isinya murid-murid nakal yang cuma mampir ke sekolah untuk unjuk diri dan menumpang bernapas. Dari empat belas siswa yang sedang kebagian jatah detensi, hanya ada dua murid perempuan: aku dan seorang siswi yang tidak bisa melepaskan tangan dari cermin mungilnya.

Segera saja aku memilih tempat duduk paling belakang, dekat dengan beberapa pelanggar hukum lain yang tersisihkan dari geng anak nakal di bangku tengah kelas.

Tidak ada yang bisa kuperbuat selain pasrah. Jelas ini bukan lahanku untuk mencari kawan. Paling parah, aku masih harus merelakan episode-episode serial televisi yang tertinggal karena detensi sialan.

Resilience: Remi's Rebellion (Novel - Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang